“Tidak mahal kok Pak. Dari pabriknya aja Rp10 ribu sekilo…..”
Saya tersenyum. Jelas sudah, dari logat bicaranya anak muda di hadapan saya pasti dari bona pasogit sana. Karena itu –biasa lah—pendekatan kultural harus dicoba dalam situasi seperti ini. Saya melancarkan diplomasi gombal ala Sarimatondang.
“Ah, di kampung kami mie lidi nggak semahal itu…..”
“Jangan dibandingkan dengan di kampung lah Pak. Di sana kita nggak perlu naik bis kemana-mana. Jalan kaki juga bisa.”
Saya terdiam. Boleh juga jawabannya.
“Marga apa rupanya lae,” tanya saya, mencoba mencari celah untuk mencari tali-temali kekerabatan atau lazim disebut partuturan.
“Gurning,” jawabnya.
“Ah, kalau begitu aku harus panggil Amangboru. Jangan mahal-mahal lah bikin harganya,” kata saya. Ketika mendengar marga yang disebutkannya, saya langsung ingat pada amangboru saya bermarga sama. Itu lah sebabnya saya merayu dia dengan memanggilnya Amangboru.
“Bapak rupanya marga apa?” tanya dia.
“Siadari.”
“Wah, baru dengar. Masuk ke mana marga itu?”