[caption id="attachment_90821" align="alignleft" width="300" caption="Mie lidi yang sudah dilembutkan dengan menyeduhnya dengan air panas"][/caption] Baru-baru ini saya mendapat perintah gawat. Sumbernya tak tanggung-tanggung: istri sendiri. Perintahnya: tolong cari mie lidi di Pasar Senen. Dan, saya menerimanya tanpa membantah.
Bukan apa-apa. Kalau sudah menyangkut urusan masak-memasak dan urusan dapur, sebaiknya para istri tak usah dilawan. Bisa repot urusannya. Saya punya pengalaman pahit dalam hal ini. Akibat kelalaian yang sebenarnya sepele menurut ukuran kita para lelaki, eh, rasa tak enaknya bertele-tele sampai berbulan-bulan. Kapok dah.
Misalnya, kejadian pada beberapa bulan lalu. Ceritanya, pada suatu hari Sabtu saya ingin melampiaskan kreatifitas terpendam dalam bidang kuliner. Memasak mi instan ala Sarimatondang dengan resep yang saya sendiri yang tahu. Mie instan dicampur macam-macam: suwiran telor dadar, irisan kol, toge, tomat, bawang, cabai rawit, kembang kol, daun seledri, margarine secukupnya dan petai sebanyak-banyaknya. Tetapi karena begitu asyiknya, seusai mendaulat diri sendiri serasa chef paling top seantero rumah, saya lupa meletakkan pisau dapur entah dimana. Pokoknya pisau itu lenyap, mungkin terselip di balik potongan-potongan sisa sayur dan kulit bawang lantas terbuang ke tempat sampah.
Ketika sore harinya istri saya tahu pisau dapurnya raib, wah, alangkah dahsyat kemarahannya. Berminggu-minggu bahkan sampai lebih dari sebulan, ia selalu tampak kesal bila ingat pada pisau dapurnya. Kalau di televisi ada siaran masak-memasak dan layar monitor mempertunjukkan orang sedang memotong-motong brokoli, teringat lah dia pada pisau dapurnya. Saya kena damprat. “Kamu sih….sok tau aja ingin masak. Jadinya pisau dapur saya hilang…..”
Setiap pagi manakala tukang sayur keliling berhenti di depan rumah dan memotong-motong ikan pesanan pembelinya, istri saya kembali terkenang pada pisau dapurnya. Dilihatnya betapa lajunya pisau Pak Sayur menyayat daging ikan, kelalaian saya kena sentil lagi. “Ah….mangkanya, lain kali kalau pakai pisau, letakkan baik-baik. Jangan asal …..”
Lain waktu, kami melintas di lapak penjual buah dan menyaksikan buah apel besar yang ranum-ranum. Agaknya tergerak hatinya ingin membeli. Tetapi, niatnya seolah terhenti karena ingat sesuatu. “Ah….pisau dapur gue kemana ya? Paling mantap ngupas apel pake pisau itu. Lu sih…. Sok sibuk pengen bikin masakan ini lah…. itu lah…. Pisau dapur gue jadi melayang entah kemana….”
Begitu lah. Masih banyak lagi kejadian-kejadian yang mengingatkannya pada pisau dapurnya. Dan pada saat semacam itu, terpaksa telinga harus dibiarkan menebal karena mendengar nada ketus kekesalannya bertubi-tubi.
Kalau melihat tampang pisau dapur ‘jahanam’ itu, mungkin banyak orang yang bakal terpingkal-pingkal. Sungguh tak ada istimewanya, sebenarnya. Kayu kecil yang jadi pegangannya, hampir pecah dan terpaksa diikat memakai karet gelang. Bagian tengah pisau yang biasa digunakan untuk memotong dan mengupas, bentuknya sudah cekung, karena terlalu sering diasah. Pisau dapur itu sungguh-sungguh sudah tua. Tapi memang saya harus mengakui, ia jadi pisau favorit kami sekeluarga. Memotong sayuran, mengupas buah, bahkan memotong tali rapia manakala susah mencari gunting, pisau dapur itu sangat serbabisa. Kami punya beberapa pisau dapur. Model kampung mau pun yang rada kota. Anehnya, pisau dapur yang hilang itu tetap jadi idola. Tak tergantikan.
()()()
Tragedi pisau dapur itu tak bisa saya lupakan. Itu sebabnya, ketika perintah mencari mie lidi itu disampaikan, saya menerimanya dengan takzim. Tak ingin melalaikannya. Lagipula tidak ada ruginya menjalankannya. Apalagi soal urusan mie lidi saya anggap cetek lah. Dimana-mana pasti ada.
Istri saya sebenarnya tidak terlalu akrab dengan mie lidi. Ia baru mengenalnya setelah menjadi istri seorang Batak norak seperti saya. Beberapa kali kami berkunjung ke rumah kerabat, ia selalu diceritai tentang Mie Gomak, masakan mie khas pelosok Sumatera Utara. Bahan utamanya adalah mie lidi. Sesekali ada juga yang menyuguhkan masakan Mie Gomak itu.
Tapi yang agaknya makin membuat dia desperate menginginkan mie lidi adalah kejadian belum lama ini. Seorang tetangga yang orang Batak memberinya seikat mie lidi. Lama sekali kami memandanginya ketika teronggok di dapur. Saya sudah lama tidak pernah melihat mie lidi dalam bentuknya yang mentah. Dan menyaksikannya lagi saat ini, terkenang juga saya pada lontong sayur semasa Sekolah Dasar dulu. Selain dibubuhi irisan-irisan labu siam berkuah, lontong sayur tempo dulu selalu mantap dengan topping secuil mie lidi. Sangat sporadis sesungguhnya. Kadang-kadang bisa dihitung: antara lima sampai delapan helai. Maklumlah, harganya pun cuma limper (lima perak). Tak disuguhkan di piring, melainkan pada sehelai daun berpincuk. Kalau selagi istirahat (keluar main-main, istilahnya di SD kami dulu), segera kami berlari ke si mbok penjualnya yang duduk menggelesot di belakang tampi tempat dirinya membeberkan jualannya. Kami pun berebut meminta pesanan kami. Lontong sayur itu kami nikmati sampai titik kuahnya yang penghabisan.
Istri saya tentu tak punya nostalgia yang demikian. Ia lahir dan besar di Jakarta. Jajanan masa kecilnya lebih banyak diwarnai oleh nasi uduk, mie ayam dan selendang mayang (hati-hati, ini bukan nama kain, lho…). Yang justru terpikir dalam benaknya dari melihat mie lidi itu adalah ingin mencoba-coba berkreasi membuat Mie Aceh. Naluri memasaknya plus pelajarannya semasa di NHI dulu rupanya memberi keyakinan kepadanya bahwa mie lidi yang besar-besar dan kenyal itu mungkin cocok dimasak ala Mie Aceh. Ketika niat itu ia sampaikan kepada saya, saya sedikit kaget, tapi 100% mendukung. Mie Aceh juga bukan pilihan jelek, karena kami juga penggemar berat Mie Aceh sejak di rumah kontrakan dulu dan diperkenalkan oleh adik yang 'Anak Medan' jebolan USU. Konon jajannya tiap pagi dulu adalam Mie Aceh.
Sayangnya, segera istri saya tersadar bahwa tidak diketahuinya samasekali resep memasak Mie Aceh. Benar-benar tumpul otaknya dalam hal ini. Dulu ketika ibu mertuanya memasak dayok nabinatur, ayam panggang khas Simalungun, ia dengan segera mendapat gambaran tentang resepnya. Dengan tanya sedikit-sedikit, akhirnya jadi juga ayam panggang itu. Tidak beda jauh dari rasa yang asli. Tatkala ia diperkenalkan dengan berbagai masakan Batak pakai kecombrang (sirias, kata orang Batak) –sambel, daun singkong tumbuk, dll—ia juga bisa dengan cepat mencontek resep-resepnya. Tapi Mie Aceh? Ia samasekali tak punya ide.
“Jangan-jangan ada ganja-nya ya…Kok bisa enak dan gurih,” tutur dia, suatu kali. Setiap kami ke lepau Mie Aceh, kami memang melihat adonan khusus yang selalu jadi inti dari bumbu Mie Aceh tersebut. Istri saya pernah bertanya apa saja isi bumbu itu, penjaga lepau hanya tertawa belaka.
Tapi dugaannya tentang adanya kandungan daun berbahaya itu pada Mie Aceh, tentu saya tolak mentah-mentah. Secara logika, kata saya, itu sudah tak mungkin. “Kalau mereka punya ganja, sudah jelas mereka tak mau berdagang mie. Dagang ganja jelas lebih banyak duitnya,” kata saya.
Setelah memutar otak ke sana kemari, akhirnya istri saya punya ide. Ia ingat pada adik sepupunya yang menikah dengan orang Aceh kelahiran Bireun. Dulu keluarga itu tinggal di Jakarta. Tapi untuk penghidupan yang lebih baik, mereka telah pulang kampung ke tanah kelahiran sang suami. Istri saya tak mau menyerah. Ia menelepon adik sepupunya dan bertanya ini-itu tentang bumbu Mie Aceh. Saya mendengar sang adik sepupu dengan tergagap-gagap menjawab dari seberang sana. Dialek bahasa Jakartanya sudah sedikit-sedikit tercampur dengan dialek Bireun. Tapi tak apa. Akhirnya istri saya mendapatkan juga resep Mie Aceh. "Wah, perlu banyak rempah. Soalnya, dia pake kapulaga dan jinten segala," kata istri mengomentari bumbu yang dicatatnya.
Maka pada suatu pagi di hari Minggu tanggung bulan, mie lidi itu menjelma jadi sesuatu yang mirip-mirip Mie Aceh. Degdegan juga saya ketika istri saya meletakkannya di atas meja. “Ayo makan….Cobain deh,” katanya. Saya agak ragu. “Kamu udah nyoba?” saya bertanya. Ia tak menjawab. “Coba dulu deh……” kata dia.
Eh, ternyata tak mengecewakan. Walau belum begitu persis dengan yang asli, mie lidi yang disulap jadi Mie Aceh itu sedap juga. Gurih dan legit. Kenyal dan tebal. Sepiring besar ludes. Putri saya juga menikmatinya walau mengeluh pada panas dan pedasnya.
()()()
Kata orang-orang pintar di bidang konseling masalah-masalah keluarga, jika seorang suami memuji masakan jenis tertentu bikinan istrinya, maka bersiap-siap lah untuk mendapatkan bertubi-tubi kejutan yang sesungguhnya tak mengejutkan lagi, yakni suguhan masakan yang pernah dipujinya itu secara terus-menerus. Ini saya alami. Sejak pengalaman ‘menyulap’ mie lidi jadi Mie Aceh itu, istri saya seakan terobsesi dengan mie lidi. Mie lidi yang tempo hari boleh dapat dari tetangga, sampai berhari-hari dicicil-cicil menjadi hidangan rutin di rumah kami. Sampai-sampai kami absen berhari-hari dari membeli Mie Aceh lepau langganan.
Tampaknya obsesi semacam itu lah yang mendorong dia memberi perintah kepada saya untuk mencari mie lidi. “Kata orang, di Pasar Senen banyak yang jual. Singgahkan lah ke sana sepulang kerja,” kata dia. Saya diam saja. Tapi dalam hati saya berpikir, kok kenapa harus ke Pasar Senen. Dimana-mana pasti dengan mudah mencarinya. Ini Pulau Jawa, Mak. Segala apa juga pasti ada.
Pada langkah pertama, pencarian mie lidi membawa saya ke Pasar Modern di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD). Hanya 10 menit perjalanan dari rumah kami. Hari Sabtu pagi-pagi sekali kami berangkat. Kebetulan, Amartya, putri saya, juga tengah kebagian amanah dari sekolahnya untuk menyediakan karangan bunga buat hiasan di meja Bu Guru. Sebagai bendahara kelas (sampai sekarang, saya tertawa geli tapi juga bangga bila mengingat jabatan putri saya itu. Jabatan itu pasti lah bukan titisan dari ayahnya, yang samasekali suka teledor dan tak punya bakat soal urus-mengurus uang), ia bertanggung jawab untuk menyediakan beberapa kebutuhan kelas menggunakan uang kas hasil swadaya siswa. Dan kali ini ia meminta saya menemaninya mencari karangan bunga yang pas dengan budget mereka. Tiap kali ketemu dengan karangan bunga yang saya anggap bagus, selalu ia pertimbangkan dulu harganya dengan uang yang tersedia di kantongnya. Saya sudah berkeras untuk menambahi kekurangannya, ia bergeming. Ia tetap keukeuh, akan mencari bunga yang sesuai dengan kekuatan keuangan mereka. Good, pikir saya. Semoga saja ia bisa mempertahankan sikap yang begitu hingga nanti dia dewasa.
Kami berkeliling Pasar Modern yang luas itu. Tersedia banyak karangan bunga yang bisa dipilih oleh putri saya, tapi anehnya, yang menjual mie lidi samasekali tak ada. Beberapa pedagang yang kami tanya, ada yang merasa tak pernah dengar apa itu mie lidi. Ah. Maccam mana pula’ ini. Bukan hanya minyak tanah dan air minum dalam galon yang mulai langka. Mie lidi pun ikut raib.
Lebih dari satu jam kami berkeliling, tak ketemu pedagang mie lidi.
Di rumah ketika saya melaporkan kegagalan perburuan ini, saya mendapati wajah istri yang sedikit kesal, seolah memancarkan pesan, “I told you so…..Apa kubilang…..”
Tak terima akan situasi ini, saya segera melarikan motor ke Pasar Jombang, tak jauh dari rumah. Ini adalah pasar tradisional yang sudah tua tetapi hidup, satu kelas di atas pasar di kampung kami Sarimatondang. Hati saya bersorak gembira ketika menyaksikan banyak kios yang menjajakan beraneka jenis mie. Yang kiloan, yang dibungkus dalam plastik, yang bihun dan sebagainya. Tapi semangat saya segera meredup tatkala menyadari bahwa tak satu pun yang menyediakan mie lidi. Seperti di Pasar Modern, bahkan ada juga pedagang ya
Pencarian terakhir di kawasan tempat kami tinggal saya tujukan ke Pasar Ciputat. Cukup 20 menit mencapainya dari rumah. Becek, bau, ramai, macet dan hiruk-pikuk, tetapi tetap saja ada rasa bergairah memandangi onggokan sayur-mayur, petai bertandan-tandan tergantung seperti mengimbau, rombongan ikan lele berenang-renang di ember besar berair mancur, buah dengan susunan menggunung, arang kayu berkarung-karung, kelapa kupas yang siap diparut dan aneka komoditas tradisionil lainnya. Saya menelusup mencari kios yang konon selalu menyediakan bumbu dan rempah khas kebutuhan orang Batak. Dari seorang teman, kami pernah diberitahu bahwa di Pasar Ciputat ada kios yang demikian. Tapi setengah jam saya habiskan, tak jua bertemu. Tiap kios yang menjual mie, saya bertanya apakah mereka menjual mie lidi. Hasilnya nihil. Pencarian terpaksa saya hentikan.
Kini tidak ada pilihan. Saya harus menuruti petunjuk si pemberi perintah, bahwa mendapatkan mie lidi hanya bisa dilakukan di Pasar Senen. Sebetulnya ada rasa dongkol. Kenapa sih komoditas tradisional sejenis mie lidi, yang sudah ada sejak seporsi mie harganya cuma limper, harus bersusah-payah mencarinya? Kenapa saya yang tinggal di Propinsi Banten, harus menyeberang propinsi dulu untuk mendapatkannya?
()()()
Maka beberapa hari lalu pada suatu siang, saya telah menemukan diri berdiri di lorong sempit kios-kios di Pasar Senen. Dari seorang ibu empunya toko kelontong yang besar, saya mendapat informasi bahwa pedagang mie lidi ada di deretan pinggir, di dekat-dekat pedagang ole-ole Medan dan pedagang ulos. Saya segera bergegas ke sana. Di atas lapak-lapak telah berjejer bungkusan mie lidi ukuran satu kilo-an. Seorang anak muda menyapa saya.
“Cari apa Pak?”
“Cari mie lidi.”
“Ini dia.”
“Berapa ini?”
“Sekilo, Rp11 ribu.”
“Ah yang benar. Jangan mahal-mahal lah…”
“Tidak mahal kok Pak. Dari pabriknya aja Rp10 ribu sekilo…..”
Saya tersenyum. Jelas sudah, dari logat bicaranya anak muda di hadapan saya pasti dari bona pasogit sana. Karena itu –biasa lah—pendekatan kultural harus dicoba dalam situasi seperti ini. Saya melancarkan diplomasi gombal ala Sarimatondang.
“Ah, di kampung kami mie lidi nggak semahal itu…..”
“Jangan dibandingkan dengan di kampung lah Pak. Di sana kita nggak perlu naik bis kemana-mana. Jalan kaki juga bisa.”
Saya terdiam. Boleh juga jawabannya.
“Marga apa rupanya lae,” tanya saya, mencoba mencari celah untuk mencari tali-temali kekerabatan atau lazim disebut partuturan.
“Gurning,” jawabnya.
“Ah, kalau begitu aku harus panggil Amangboru. Jangan mahal-mahal lah bikin harganya,” kata saya. Ketika mendengar marga yang disebutkannya, saya langsung ingat pada amangboru saya bermarga sama. Itu lah sebabnya saya merayu dia dengan memanggilnya Amangboru.
“Bapak rupanya marga apa?” tanya dia.
“Siadari.”
“Wah, baru dengar. Masuk ke mana marga itu?”
“Oh, itu serumpun dengan Sidabutar, Sijabat, Sidabalok. Juga masuk Parna,” kata saya.
“Wah, kalau begitu saya harus panggil Tulang. Ibu saya boru Simbolon. Horas ma di tulang i,” kata dia sambil menyalami saya.
“Maka itu, jangan kau bikin mahal-mahal sama Tulang mu ini,”kata saya.
“Tidak dibikin mahal Tulang. Sudah murah itu…” kata dia.
“Sudah, Rp10 ribu aja sekilo ya? Itung-itung harga perkenalan sama Tulang kau ini,” kata saya.
Ia terdiam, tetapi kemudian bertanya kepada si Bapak yang duduk di belakang meja kasir. Harga Rp10 ribu sekilo itu akhirnya deal. Dalam hati saya berpikir, ternyata tak terlalu banyak hasil dari ‘pendekatan kultural’ ini, cuma bisa menurunkan harga Rp1000. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, menurunkan harga Rp1000 per kilo sudah lumayan kan? Coba kalau beli 1000 kilo, sudah berapa banyak tuh?
()()()
Kini di dapur sudah ada teronggok satu kilogram mie lidi. Selama sepekan ini mungkin tak kan ada lagi satu hari pun yang terlewat di rumah kami tanpa sarapan mie lidi. Untuk sementara, libur dulu mengunjungi lepau Mie Aceh di Ariaputra.
(selesai) Ciputat, 16 November 2008
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI