Gusti Kanjeng Ratu Azijah Khoirun Niza yang saat itu masih berstatus lajang dan berkuliah di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada harus menjadi pelindung bagi adiknya, Gusti Raden Ajeng Kamelia Fadila yang dianggap telah menjadi aib keluarga Istana Keraton di Kasunan.
Kanjeng Gusti Pangeran Harya Ramdhanu Adi Wasana, ayahanda mereka sangat murka terhadap Gusti Raden Ajeng Kamelia yang akibat perilaku bebasnya hingga dirinya hamil di luar nikah. Padahal, saat itu G.R.A. Kamelia masih berstatus pelajar SMA dan duduk di tahun terakhir sebelum mengikuti Ujian Nasional.
Malam kelam 23 tahun yang lalu itu masih lekat dalam ingatan G.K.R Azijah. Kemarahan KGPH Ramdhanu membuat badan semua anggota keluarga dan hanya abdi dalem Keparak, yaitu mereka yang dipercaya untuk melayani keluarga kerajaan secara dekat yang diperbolehkan hadir di pertemuan di ruangan tertutup di dalam Istana Keraton menjadi menggigil bukan karena udara dingin melainkan karena penuh ketakutan.
Suasananya seperti sidang pengadilan untuk menghukum mati seseorang yang bersalah dan rasanya, semua yang hadir di dalam ruang pertemuan tertutup malam itu, masing-masing telah mempunyai andil kesalahan yang sangat besar karena lalai menjaga G.R.A Kamelia.
Baca Juga  :  Rahasia Gusti Raden Ayu Kamelia Fadila dan Gadis Penari Nasyabilla (Bagian 1)
KGPH Ramdhanu selaku Susuhunan Istana Keraton atau Raja sekaligus ayah, merasa sangat kecewa dengan perilaku putrinya, G.R.A. Kamelia yang tidak mencerminkan perilaku seorang putri ningrat dari kaum para bangsawan Jawa.
Beliau duduk dengan penuh wibawa di kursi beludru yang besar di dalam ruangan dengan penerangan yang remang-remang. Sedangkan semua anggota keluarga dan juga para abdi dalem keparak duduk bersimpuh di sisi kanan dan kiri. Semua menundukkan kepalanya tanpa mengeluarkan suara karena suasananya sangat mencekam.
Sedangkan G.R.A. Kamelia duduk bersimpuh setengah bersujud di depan ayahandanya, KGPH Ramdhanu yang menatapnya dengan wajah memerah menahan amarah yang dipendamnya. Meskipun, lampu ruangan tidak begitu terang, namun Gusti Raden Ajeng Azijah yang saat itu belum menikah bisa melihatnya dengan jelas.
Bersimpuh dengan gemetar, Kusworo Adi Pranoto dengan kedua orang tuanya yang merupakan abdi dalem keraton yang diberi tugas untuk merawat dan menjaga anak raja, terlihat duduk di belakang G.R.A. Kamelia yang masih menangis terisak-isak dengan penuh ketakutan pada sosok ayahandanya.
Ibunda Kanjeng Gusti Ratu Deshinta Putri yang duduk bersimpuh di samping kursi suaminya, KGPH Ramdhanu Adi Wasana juga hanya bisa menangis dan sesekali mengusap air matanya dengan saputangan. Beliau sama sekali sudah tidak bisa lagi membantu menyelamatkan putrinya, G.R.A Kamelia yang telah membuat aib di keluarga keraton.
Semua keputusan KGPH Ramdhanu sebagai Raja Istana Keraton sekaligus suaminya adalah titah rahasia dan maklumat yang harus dipatuhi serta dilaksanakan oleh semua anggota keluarga dan abdi dalem beserta seluruh pengawal kerajaan pada malam kelam itu.
"Sungguh! Ini adalah aib besar dan sangat memalukan bagi keluarga Istana Keraton!" Suara KGPH Ramdhanu dengan suara bergetar menahan marah, sedih, kecewa dan juga perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri yang lalai pada pengawasan putrinya terdengar jelas oleh semua yang hadir di dalam ruangan pertemuan itu.
"Kamu! ...Abdi dalem keraton dan juga sebagai kedua orang tua dari Kusworo Adi Pranoto, Saya sangat menyayangkan dan kecewa dengan perilaku putramu pada putriku Gusti Raden Ayu Kamelia sehingga anakku sekarang hamil sudah enam bulan! Hal ini sangat menyakitkan hatiku!"
Nada suara dari KGPH Ramdhanu seakan menggema di dalam telinga semua yang hadir di dalam ruangan tertutup itu. Tidak ada satu pun orang yang berani bicara. Rasanya, setiap orang hanya mampu mendengar desah napas dirinya sendiri dan juga orang lain saking mencekamnya suasana di keheningan malam itu.
Semua orang sebetulnya menyadari bahwa hubungan cinta antara dua insan yang dimabuk asmara adalah hak mereka, namun juga harus memperhatikan status sosial masing-masing. Di dalam adat keraton yang terkenal ketat, seorang putri raja tidak boleh berhubungan atau menikah dengan orang biasa.
Bila hal itu dilakukan, maka dengan resmi, status putri raja yang ningrat dengan hak-hak istimewa beserta gelar kerajaannya akan dicabut. Dia harus menjadi rakyat jelata dan keluar dari istana. Setelah itu, seumur hidupnya tidak boleh menginjakkan kakinya di istana keraton lagi.
Namun akan berbeda perlakuannya bila ada seorang Pangeran atau putra raja yang menikah dengan gadis dari kaum rakyat biasa. Sesuai adat, gadis tersebut akan diberi gelar ningrat dan dinaikkan statusnya menjadi putri ningrat serta mendapatkan gelar kebangsawanan. Setelah menikah, mereka akan tinggal di Istana Keraton.
"Sebagai hukumanmu, kamu sebagai kedua orang tua dari Kusworo Adi Pranoto, akan mengabdi di istana Keraton sebagai abdi dalem Jajar, yaitu abdi dalem tingkat terendah seumur hidupmu. Selanjutnya, kamu berdua tidak akan dinaikkan pangkatmu serta tidak menerima gaji kecuali tunjangan makan!"
Semua yang hadir di dalam ruangan menjadi begitu terkejut namun mereka semua tetap patuh dan masing-masing bertanya-tanya dalam hatinya, hukuman apa yang bakal ditimpakan pada diri mereka sendiri.
"Sendiko dawuh, Kanjeng Gusti Pangeran!" (Siap melaksanakan dan menerima tugas, Kanjeng Gusti Pangeran) Jawab ayah Kusworo dengan nada tegas dan pasrah menerima hukuman dari Raja karena memang perilaku dari anaknya yang melebihi batas dan telah berani berpacaran dengan Gusti Raden Ayu Kamelia Fadila.
"Kamu!....Kusworo!" Bentak KGPH Ramdhanu dengan suara bernada marah dengan tatapan tajam.
"Dengar baik-baik!.... Sebagai hukumanmu! Minggu depan, kamu harus menikah dengan abdi dalem Mataya, Nurul Puspita Rawadanti!" titah selanjutnya dari KGPH Ramdhanu pada Kusworo.
Sontak semua yang mendengar titah Raja tersebut sangat lebih kaget dan langsung melirik ke abdi dalem Mataya, Nurul dan juga pada Kusworo dengan ekspresi penuh kekagetan di wajahnya. Tampak Kusworo menundukkan kepalanya sambil memejamkan matanya. Badan dan tangannya terlihat gemetar.
Sementara itu, abdi dalem Mataya, Nurul Puspita Rawadanti yang diberi tugas untuk menjaga dan melatih seni tari keraton, khususnya Tari Bedhaya pada Gusti Raden Ajeng Kamelia tampak diam mematung sejenak. Namun, segera bersujud dan merapatkan kedua telapak tangan di atas kepalanya dan menjawab titah raja tanpa ragu.
"Sendiko dawuh, Kanjeng Gusti Pangeran!"
Meskipun mengabdi sebagai abdi dalem Mataya di Istana Keraton, sebenarnya Pendidikan Nurul juga tidak rendah. Bahkan dia sudah menyelesaikan gelar sarjananya di jurusan seni tari Institut Seni Tari Yogyakarta. Menjadi abdi dalem mataya istana adalah pilihan hidupnya dan dianggap sebagai sebuah kehormatan baginya.
Sebagai sosok lajang yang selalu menjaga penampilannya, Nurul dikenal sebagai abdi dalem mataya yang cantik, langsing dan terampil dalam menari. Namun, dia juga berasa bersalah dan secara tidak langsung mempunyai andil kesalahan sampai putri kerajaan, G.R.A Kamelia menjadi hamil adalah akibat kelalaian dalam pengawasan dirinya. Oleh karena itu, dia harus ikhlas dan rela menerima hukuman yang dijatuhkan raja padanya.
Baca Juga  :  Rahasia Gusti Raden Ayu Kamelia Fadila dan Gadis Penari Nasyabilla (Bagian 2)
"Dan sebagai hukumanmu! Kamu!....Kamelia!" Setengah berteriak sambil mengacungkan jari telujuknya pada G.R.A Kamelia.
Semua menjadi terkejut karena baru kali KGPH Ramdhanu memanggil anak perempuan yang yang nomor dua tanpa menyebutkan gelar ningrat di depan namanya.
Mereka mengetahui bahwa sebelumnya Raja sangat memanjakan G.R.A. Kamelia dan memberikan kebebasan padanya untuk mengikuti berbagai kegiatan baik di sekolah atau pun di lingkungan Istana Keraton.
" Terhitung malam ini, Kamu!.....Kamelia! .....Putri yang telah membawa aib bagi Istana, kamu harus......!"
Semua anggota keluarga masih tetap menunduk sambil menunggu KGPH Ramdhanu menyelesaikan titahnya, namun ditunggu sekian lama tidak ada suara yang keluar dari bibir beliau.
Akhirnya, masing-masing mencoba mendongakkan kepalanya dan betapa terkejutnya saat mereka melihat raja yang menjadi junjungannya tertunduk dan terisak lirih sambil memukul-mukul dadanya. Mereka paham bahwa mungkin itu adalah kesedihan beliau dan masih belum menerima kenyataan buruk yang terjadi pada putri keduanya.
Melihat hal itu, Gusti Raden Ajeng Azijah sebagai anak tertua segera mendekat pada ayahandanya dan langsung bersimpuh di sebelah kursi besar itu sambil memegang tangannya. Setelah itu, dia pun segera memerintahkan salah satu abdi dalem keparak untuk membawakan segelas minuman bagi Raja.
"Kamu!...kamu sungguh keterlaluan!...Kamelia!, maka kamu harus.....!" Kali ini kalimat kemarahan dari KGPH Ramdhanu terputus lagi dan beliau menyeringai kesakitan sambil memegangi dadanya.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H