Prosesi pemakaman telah dilaksanakan dalam suasana keharuan diiringi rinai gerimis kecil di tempat pemakaman umum itu. Masyarakat sekitar yang agak jauh dan mendengar adanya musibah tersebut pun ikut berduyun  untuk membantu mengantarkan para jenazah korban lalu lintas ke peristirahatan terakhirnya.
Keharuan semakin tak terkira dan isak tangis mewarnai pemakaman saat ketiga jenazah korban kecelakaan dimasukkan ke liang lahat dengan saling berjejer. Pak Kadirin berdiri diam mematung tanpa ekspresi hanya dengan tatapan kosong saat melihat urugan tanah yang semakin tinggi pada jenazah istri dan kedua anaknya tersebut.
Baca Juga : Penjual Nasi Pecel dan Tukang Pijat yang Kupanggil "Ibu" itu Adalah Seorang Pembohong
Para tetangga Pak Kadirin mengetahui kehidupan sehari-harinya. Rumah kecil semi permanen di ujung jalan dengan lantai rabatan semen adalah rumah yang dihuni bersama kedua anak gadisnya yang cantik dan mulai menjelang remaja.
Sehari-harinya, Pak Kadirin bekerja sebagai buruh tani di sawah di pinggiran desa yang membutuhkan tenaganya. Bila tidak ada pekerjaan, terkadang dia ikut bekerja menjadi kuli bangunan di beberapa proyek dengan upah yang sangat kecil dan sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya.
Bu Tumirah, istri pak Kadirin, semenjak datangnya bulan Ramadan, dia meminta izin suaminya untuk pergi ke Surabaya dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk mencari tambahan penghasilan agar bisa membantu memenuhi kebutuhan menjelang lebaran dan juga demi kebutuhan hidup serta untuk menyenangkan kedua buah hatinya di hari lebaran.
Sabela dan Nabela, begitu ada waktu sepekan liburan menjelang lebaran tiba, mereka berdua segera menyusul ibunya ke Surabaya. Pak Kadirin juga mengizinkan karena sudah diberitahu istrinya, bahwa majikannya adalah orang yang sangat baik dan mengundang anak-anak untuk datang berkunjung dan menginap di rumahnya di Surabaya.
Dua hari sebelum lebaran, Ibu Tumirah dan kedua anaknya pun segera bersiap kembali ke kotanya di Lereng Gunung Lawu. Hanya saja, semua tiket kereta api atau pun bus sudah terpesan habis. Jalan satu-satunya dan meskipun agak mahal bagi Bu Tumirah, adalah naik mobil travel rental atau mobil carteran bersama dengan penumpang lain yang tidak dikenalnya.
Rencananya, Pak Kadirin akan menemui mereka di Pasar Baru dan bertemu dengan istri serta kedua anaknya saat tiba. Sebelumnya, uang tabungan selama menjadi kuli bangunan dan juga uang gaji kerja sebulan dari istrinya selama menjadi pembantu rumah tangga akan digabung dan dipakai untuk membeli baju baru kedua anaknya.
Membayangkan hal itu saja, wajah Pak Kadirin sudah sangat bahagia. Namun, setelah sekian lama menunggu di pasar baru, ternyata belum juga ada mobil travel yang datang. Dengan gontai, akhirnya dia pun segera pulang rumahnya dan berharap istri dan kedua anaknya sudah tiba di sana.
Alangkah terkejutnya pak Kadirin saat melihat banyaknya warga yang berkerumun dan juga adanya mobil ambulans di depan rumahnya. Beberapa orang merangkulnya dan memegang bahunya sambil berbisik lirih,"...yang sabar, pak!" Ada yang berkata ,"..yang ikhlas, pak!".