Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ludah

19 Oktober 2023   13:04 Diperbarui: 24 Oktober 2023   11:14 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Guru Sutrisno dengan setengah agak ragu mengetuk pintu sebuah rumah sederhana berdinding batu bata yang tampak belum dipoles pasir halus dan diaci semen. Sungguh terkesan kumuh dengan halaman yang dipenuhi tumpukan botol sampah plastik bila dibandingkan rumah tetangga di kanan kirinya.

Sebelum tengah hari, setelah bertanya beberapa kali pada orang yang yang berjualan di pinggir pojok jalan dengan kondisi berlubang di sana-sini seperti tipikal jalan desa pada umumnya, Pak Sutrisno, guru Bimbingan Konseling dari sebuah SMA swasta di pinggiran kota sedang melakukan tugas home visit ke salah satu muridnya yang sudah sepekan tidak masuk sekolah.

Dengan ditemani dan berboncengan dengan seorang kolega guru yaitu pak Didik, guru seni budaya yang disegani, Pak Sutrisno segera menghentikan sepeda motor butut jenis matic yang dikendarainya di halaman rumah murid tersebut serta bergegas untuk bertamu.

Tidak berapa, setelah ada yang menjawab salam dari dalam rumah, pintu terbuka dan munculah sosok wanita paro baya berwajah tirus yang mengaku sebagai ibunda Naufal. Mengetahui yang datang adalah guru dari anaknya, ibu tersebut dengan gugup segera menyilakan pak Sutrisno dan pak Didik untuk masuk ke ruang tamu.

Pak Sutrisno sempat mengamati ruang tamu yang tidak tersedia adanya kursi tamu, melainkan hanya ada gelaran tikar plastik di lantai yang masih beraroma rabatan semen basah tanpa keramik. Netranya memandangi beberapa lukisan murahan yang ada di dinding tripleks dengan nuansa pemandangan desa yang menggambarkan persawahan dan pegunungan.

Setelah menyampaikan maksud kedatangan kepada ibu Naufal, pak Sutrisno juga menanyakan kondisi kesehatan putra tunggalnya karena sudah sepekan ini tidak masuk sekolah.

Meskipun dalam hati, bila bukan karena surat tugas dari kepala sekolah, sebenarnya pak Sutrisno enggan untuk mengunjungi rumah muridnya Naufal. Beliau tahu, Naufal termasuk anak yang sering membolos dan mempunyai perilaku yang kasar, nakal, tidak sopan dan cenderung mencari masalah.

"Mohon maaf telah merepotkan bapak guru berdua, juga banyak terimakasih karena telah menyempatkan waktu hanya untuk datang menjenguk anak saya Naufal yang saat ini sedang sakit" tutur ibunda Naufal sambil menyilakan kedua guru tersebut untuk menikmati suguhan jajan jadah goreng dan air gelasan mineral di depan mereka.

"Memangnya Nanda Naufal sakit apa, bu? Di surat izin hanya ditulis keterangan sakit dan ini sudah lebih dari 3 hari. Oleh karena itu, kami berdua datang untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap", jawab pak Sutrisno setelah mengenalkan dirinya dan juga pak Didik.

Baru selesai pak Sutrisno bicara, ibunda Naufal segera berdiri dan masuk ke sebuah kamar tidur tanpa pintu dan hanya tertutup oleh kain selambu atau tirai tebal yang sudah tampak kumal dan lusuh.

Kemudian keluar dengan menggandeng Naufal yang diajaknya. Tanpa sepatah kata, Naufal yang masih mengenakan masker ikut duduk bersama setelah bersalaman dengan kedua gurunya tersebut  Untuk sesaat semua jadi hening hingga pak Sutrisno menanyakan ke Naufal perihal penyakitnya.

Betapa terkejutnya pak Sutrisno saat Naufal membuka maskernya. Tampak wajah Naufal yang berwarna biru kehitaman dengan pembengkakan pada mulut, pipi dan lidahnya. Matanya terlihat melotot dan memerah karena menahan rasa sakit yang tak terkira.

Tubuhnya menjadi lebih kurus dari sebelumnya ditambah posturnya yang tinggi karena mulutnya kesulitan menerima asupan makanan. Hal yang bisa dilakukannya hanya menelan paksa bubur serta minuman saja. Itu pun harus dibantu ibunya.

Sambil berlinang air mata, ibunda Naufal yang sudah menjanda sejak ditinggal mati ayah Naufal sedari kecil, menceritakan bahwa sebenarnya sudah berobat ke beberapa dokter dan kata mereka, tidak ada infeksi apapun pada gigi, geraham, atau lidahnya. 

Meskipun sudah minum banyak obat yang diberikan oleh dokter, tapi sampai sekarang tidak semakin membaik.

Pak Didik yang duduk di sebelah pak Sutrisno menjadi sedikit curiga dengan pembengkakan yang tampak pada pipi dan bibir di mulut Naufal. Setelah meminta izin, Beliau mencoba meraba pipi Naufal untuk melihatnya dari dekat dan terlihat ada nanahnya.

Tiba-tiba pecah suara di keheningan "Astaghfirullah, dosa apa yang telah kamu lakukan, nak?!", ucap pak Didik dengan nada tergetar. "Naufal, siapa yang telah kamu ludahi, sampai kamu berakibat seperti ini? Ceritakan jujur saja pada saya!" bujuk pak Didik pada Naufal dengan nada pelan penuh kasih sayang.

Naufal dengan berlinang akhirnya mengakui kekhilafannya bahwa minggu lalu telah meludahi baju seorang guru pria yang mengajarnya saat di SMP dulu. Dia beranggapan bahwa nilai raportnya jelek itu  gara-gara ulah guru yang dibencinya sehingga dia tidak bisa diterima di SMA Negeri favorit yang jadi pilihannya.

Tak sengaja, saat berhenti dan bersebelahan di traffict light dekat aloon-aloon dengan guru SMPnya dulu tersebut, karena masih dendam, Naufal pun spontan meludahi baju guru yang pernah mendidiknya tersebut. Hebatnya, reaksi gurunya itu pun hanya menoleh dan tersenyum. Saat tiba di rumah, Naufal merasa antara bangga dan puas karena dendamnya bisa terlampiaskan.

Pak Didik, meskipun jadi guru seni budaya, di zaman modern dan serba digital ini ternyata beliau juga mengusai ilmu metafisika yang berhubungan dunia gaib, yaitu kemampuan mistis menyelisik dunia lain yang tidak bisa dimiliki oleh banyak orang.

Pak Sutrisno juga sempat kaget akan ilmu kebatinan yang dimiliki oleh pak Didik. Bagaimana beliau bisa tahu hanya dengan menyentuh dan melihat bengkak di mulut dan pipi Naufal.

"Berikan nama dan alamat dari guru SMPmu yang pernah kamu lukai hatinya, akan saya mintakan maaf mewakili dirimu agar kamu segera diberikan kesembuhan. Jika terlambat, nyawamu taruhannya karena bekas air ludahmu telah menjadi perantara ilmu hitam yang mengalir padamu!" bujuk pak Didik pada Naufal.

Dua pekan telah berlalu, dan Naufal sudah kembali bersekolah. Bengkak pada pipi dan mulutnya sudah hilang bahkan wajahnya semakin berseri. Pak Sutrisno mengamati bahwa sejak peristiwa ludah itu, ada perubahan yang lebih baik pada Naufal. Mulai dari sikap, sopan santun dan ilmu agama dan semangat belajarnya.

Terlepas dari itu semua, sejak kejadian itu, pak Sutrisno merasa segan pada pak Didik dan tidak mengira akan kemampuannya dalam berbagai ilmu gaib.

Sedangkan untuk para murid lainnya, kasus ludah Naufal itu oleh pak Sutrisno dijadikan pesan mendalam dalam mendidik dan mengajar pada muridnya untuk selalu mengutamakan adab karena azab itu berlaku kepada siapapun tak terkecuali dalam kehidupan ini.

Magetan, 19 Oktober 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun