Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menakar Tingkat Kenakalan Murid Sebelum Mengakar Parah

8 Oktober 2023   11:22 Diperbarui: 9 Oktober 2023   09:00 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kenakalan anak sekolah dalam bentuk perundungan dan perkelahian.  Sumber gambar Polres Lumajang via Kompas.id.

"Anak sekolah ya harus nakal! Jika tidak, kelak nakalnya akan malah muncul saat di usia tua!"

Rasanya ada benarnya juga komentar di atas yang setengah bercanda diucapkan oleh salah satu sahabat saya yang juga gemar berolahraga tenis lapangan. 

Meskipun dengan nada setengah bercanda, saat membahas fenomena kekerasan oleh siswa zaman sekarang yang dianggap melewati batas, mereka semua merasa prihatin dengan kondisi dunia pendidikan saat ini.

Dalam diskusi ringan sambil menunggu giliran bertanding tenis, ada beberapa pemain lain yang membandingkan kenakalan murid zaman dulu yang dianggap 'nakal' dalam kategori yang 'baik", Aneh, kan?!

Memangnya ada bentuk kenakalan murid yang baik? Bila begitu, definisi 'nakal' pada murid itu apa dong!? Bagaimana juga cara menakar tingkat kenakalan murid? Alat ukurnya apa juga?

Baca Juga : Kenali 4 Jenis Kepribadian ini untuk Mengelola Emosi Anak.

Itulah pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang perlu dicari jawabannya bersama. 

Syukur bila bisa menemukan solusi yang solutif dalam mengatasi perilaku 'nakal' dari anak didik bila ditengarai sudah melewati batas dari norma yang berlaku di masyarakat.

Ada 2 (dua) istilah "nakal" dalam ilmu psikologi anak yang berpengaruh pada pembentukan sikap (attitude), dan pola pikir statis (stative mindset growth).

Pertama adalah Naughty (Nakal). Pada tingkat fase ini kenakalan yang terjadi pada siswa disebabkan oleh hormon di masa puber (puberty) mereka dimana secara fisiologis telah berkembang tanpa diimbangi kematangan di sisi psikologisnya.

Dampaknya, secara bawah sadar, mereka sering bertindak impulsif dan spontan untuk berperilaku di luar batas dari norma adat, masyarakat dan agama dan menimbulkan masalah sosial kemasyarakatan.

Pada fase itu mereka sering disebut sebagai troublemaker (pembuat masalah). Mereka sendiri tidak mampu untuk menyelesaikan masalah yang mereka buat dan parahnya, orangtua bersama guru, perlu duduk bersama untuk mencarikan pemecahan masalah dari buah kenakalan mereka.

Kedua adalah Juvenile Delinquency. Di tingkat ini, kenakalan murid yang terjadi sudah mengarah pada tindakan kriminalitas dan cenderung melawan norma dan hukum yang berlaku di masyarakat.

Murid di tingkat sekolah menengah dan bahkan mereka yang berada di bangku perkuliahan bisa melakukan pelanggaran hukum yang efek jeranya harus melalui putusan pidana dengan sanksi kurungan penjara.

Bagaimana menakar kenakalan siswa itu dan apa tolok ukurnya?

Untuk menemukan jawabannya, coba kita kembali ke bangku kuliah dan mengingat akan ilmu epistemologi yang pernah dilontarkan oleh John Locke, yaitu Teori Tabula Rasa.

Itu adalah teori yang menyatakan bahwa semua manusia sejak dilahirkan tanpa membawa mental bawaan dari orangtuanya. Semua orang ibaratnya dianggap sebagai kertas putih yang kosong tanpa tulisan atau coretan.

Jadi, semua aspek ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap pada anak akan diperoleh sedikit demi sedikit melalui persepsi alat indera mereka terhadap dunia luar.

Di sini, dunia pendidikan berperan penting dalam memberikan ketiga aspek di atas untuk membentuk karakter dan kepribadian yang positif sesuai dengan norma adat, agama dan masyarakat di mana mereka tinggal.

Ilustrasi kenakalan anak sekolah dalam bentuk perundungan dan perkelahian.  Sumber gambar Polres Lumajang via Kompas.id.
Ilustrasi kenakalan anak sekolah dalam bentuk perundungan dan perkelahian.  Sumber gambar Polres Lumajang via Kompas.id.

Sekolah, masyarakat dan orangtua mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam proses "menulis, mencoret, menggambar, mewarnai atau mengisi" kertas kosong diri anak sedari masa kecil mereka dengan hal positif tanpa adanya graffities (coretan kosong tak bermakna).

Hal itu juga didukung oleh Ivan Pavlov, seorang dokter berkebangsaan Rusia dengan teori behaviorisme-nya (kebiasaan). 

Teori yang dikenal di dunia pendidikan untuk menanamkan secara 'paksa' (conditioning) antara pelatihan terus menerus dalam stimulus dan respon positif untuk membentuk karakter positif yang diharapkan dari anak didik.

Teori Pavlov memercayai bahwa perilaku buruk dan lingkungan yang rusak secara terus menerus akan menyebabkan kenakalan pada anak didik. Oleh karena itu, pemberian pembiasaan positif dengan adanya stimulus yang akan direspon oleh anak sepanjang hidupnya akan tertanam secara sub-concious (bawah alam sadar) dalam diri anak untuk membentuk pribadinya.

Bila ada kasus kenakalan anak didik atau kekerasan oleh siswa, karakter dan kepribadian mereka itu pasti telah dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat yang buruk, lingkungan yang tidak sehat, orangtua yang abai akan tanggung jawab, media sosial yang kapitalis dan perubahan paradigma pendidikan yang jauh dari sisi humanis.

Nah, dari kedua teori tersebut di atas, semua stakeholders pendidikan seperti guru, orang tua murid, dan masyarakat adalah pilar utama dalam mencegah faktor-faktor yang diduga bisa memicu kenakalan murid

Banyak anak didik yang masih berjiwa labil dan belum berkembang logikanya dalam proses pembentukan karakter dalam dirinya. Mereka harus melalui proses trial and error setiap harinya. 

Bila ada perilaku salah, orangtua anak sebaiknya untuk TIDAK sekali-kali membelanya agar anak tahu mana perilaku salah dan mana perilaku yang benar atas perbuatannya.

Hal itu karena dalam proses pertumbuhan jiwa anak kecil sampai menjadi dewasa, faktor tertinggi mereka adalah meniru (imitate) dari guru, orangtua dan masyarakat.

Saat ada orangtua yang sering mengumpat tanpa sebab dalam berbicara, selalu marah dan berkelahi dalam menyelesaikan setiap masalah, melanggar peraturan berlalu-lintas sesukanya, mengedepankan penyelesaian semua persoalan dengan uang dan lainnya, itu semua akan tertanam dalam diri anak dan akan ditiru oleh mereka sepanjang hayatnya.

Baca Juga : Seijin no Hi, Too Much Love will Kill You

Jujur, untuk menakar tingkat kenakalan dan tolok ukur yang digunakan, sebenarnya tidaklah ada karena alat apapun, tidak akan bisa dipercaya (reliable) tingkat ke-valid-annya.

Hal yang bisa ditekankan adalah, selama tingkat kenakalan anak didik TIDAK melanggar sanksi pidana hukum, kenakalan mereka tetap dianggap sebagai proses pembelajaran dan wajar sebagai anak remaja yang sedang tumbuh berkembang secara fisiologis dan psikologis. 

Mereka semua masih perlu bimbingan dan pendampingan. Bila terlambat, kenakalan anak didik kita akan menjadi lebih parah dalam bentuk Disruptive Behaviour Disorder (DBD) yang memunculkan sifat agresif akibat tidak mampu mengendalikan emosi. 

Di situlah akan menimbulkan kasus Kekerasan Oleh Siswa yang saat ini marak terjadi kepada dirinya sendiri (self destruction), teman-temannya (bullying), Gurunya dan bahkan pada orangtuanya (disobedience).

Untuk itu para stakeholders pendidikan harus bisa mengenali faktor pemicu mengapa kekerasan pada siswa di dunia pendidikan terjadi. 

Semua harus bekerja sama untuk mengurai dan mencegah agar kekerasan oleh siswa agar tidak mengarah pada tindakan kriminalitas yang melawan hukum pidana demi melindungi masa depan generasi muda kita di masa depan.

Artikel ditulis untuk Kompasiana, 8 Oktober 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun