Ibu aku ingin menulis.
Belum tahu apa yang mau aku tulis, tapi,
Aku ingin jadi penulis!
Sejujurnya ibu, aku tidaklah begitu pintar.
Ya, tidak begitu pintar, seperti yang aku ceritakan.
Aku hanya ingin membuatmu senang;
senang degan harapan-harapan yang aku dongengkan,
harapan-harapan yang selalu kuputar berulang-ulang bak rekaman.
Ibu, aku memang tidak sepintar yang aku ceritakan.
Tapi, semua dongeng itu bukanlah rekaan--melainkan impian yang akan jadi kenyataan.
Ibu tolong maafkan!
Di usiamu yang senja ini, aku terpaksa memberimu beban.
Wajahmu yang ayu seketika berubah saat itu saat aku memberitahumu cita-cita ini--aku tahu.
Betapa pun engkau tersenyum dan berusaha penuh.
Tetap. Aku bisa melihat, melihat gurat kekhawatiran di balik senyumu.
"Hidup hanya sekali ibu."
Mungkin itu kata-kataku yang selalu membekas dalam di benakmu.
Aku tahu. Engkau tak mau mematahkan harapan dan impian anakmu.
Sungguh! maafkan anakmu ini ibu.
Aku berjanji, goresan-goresan tinta lenganku ini akan mengukir senyum abadi di wajahmu--nanti.
Surabaya, 9 Juli 2012 (19:11-19:29).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H