Mohon tunggu...
Ester ayu o sinambela
Ester ayu o sinambela Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah - Universitas Sumatera Utara

Saat ini saya sedang menempuh pendidikan S-1 Ilmu Sejarah di Universitas Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan-perubahan dalam Adat Pernikahan pada Etnis Batak Toba

8 Juni 2022   23:00 Diperbarui: 8 Juni 2022   23:14 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Karya: Ester ayu o sinambela (200706026).

Etnik Batak Toba merupakan salah satu suku besar di Indonesia dan merupakan bagian dari enam sub suku yakni: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola dan Mandailing. 

Menurut salah satu literatur sejarah, Etnis Batak Toba berasal dari seorang raja yang disebut Raja Batak beserta rombongannya yang berasal dari Thailand yang melakukan perjalanan menyeberang ke Sumatera Utara melalui semenanjung Malaysia dan akhirnya sampai ke daerah Pusuk Buhit kemudian menetap disana.

Batak Toba termasuk etnis asli atau masyarakat pribumi yang mendiami wilayah yang cukup luas dan tersebar di daerah yang ada di Sumatera Utara. Wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari etnis ini antara lain, Kabupaten Tapanuli Utara, sebahagian wilayah Kabupaten Simalungun (daerah sepanjang pantai Timur dan Utara Danau Toba), sebahagian wilayah Kabupaten Asahan 

(sekitar kaki Gunung Simanuk-manuk sebelah Barat hingga Selatan), sebahagian wilayah Kabupaten Tanah Karo (pantai Utara Danau Toba, daerah Tongging), dan sebahagian wilayah Kabupaten Pakpak-Dairi (pantai Timur, daerah asal budaya masyarakat Batak Toba dan khususnya daerah Silalahi).

Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat adat yang secara berkelanjutan mengalami perubahan di berbagai aspek kehidupan. Perubahan sosial mendorong perubahan produk kebudayaannya yang tidak saja dalam lingkup konsep atau gagasan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dan visual. Dampak perubahan sosial ini mengakibatkan adanya 

nilai-nilai tradisi yang terkikis bahkan terlupakan. Misalnya dalam adat pernikahan pada Etnis Batak Toba, banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi yang tidak lagi dilaksanakan sebagaimana seharusnya pada masa lalu. 

Salah satu contohnya adalah perubahan tradisi dalam pesta adat perkawinan.

Masyarakat Etnis Batak Toba sangat patuh terhadap adat istiadatnya. Sejak lahir hingga meninggal mereka tetap berpaut pada adat dalam kehidupannya baik itu adat kelahiran, adat perkawinan, bahkan sampai adat kematian dan adat-adat yang lainnya. Pada awalnya perubahan pada adat ini berhubungan dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Misionaris 

yang berasal dari Jerman pada tahun 1861. Dimana pada abad ke-20, agama Kristen menjadi identitas budaya Etnis Batak Toba. Masuknya peradaban Barat di tanah Batak inilah yang menyebabkan kegiatan adat mulai mengalami perubahan nilai.

Sebelum tahun 1970, adat perkawinan masyarakat Batak Toba masih menganjurkan kawin dengan pariban atau boruni tulang (anak perempuan tulang) yaitu antara anak lelaki dari seorang ibu dengan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki ibu dikarenakan hal itu merupakan perkawinan yang ideal bagi adat masyarakat Batak Toba. Pada masa ini, 

belum semua masyarakat Batak Toba "mementingkan" keyakinan (hukum agama) dan undang-undang perkawinan dalam pelaksanaan adat istiadat perkawinannya, rangkaian pelaksanaan adat pernikahan pada masa ini dimulai dari mangebati boru ni tulang, martandang, domu-domu, penetapan pertunangan, marhata sinamot, ulaon unjuk, paulak une, dan diakhiri dengan manjae/maningkir tangga.

Pada tahun 1970, pelaksanaan adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba mulai mengalami perubahan karena adanya pengaruh perkembangan waktu dan pemikiran pada masyarakat Batak Toba. Perubahan yang paling mendasar disini ialah semakin sedikitnya perkawinan yang dilakukan dengan pariban kandung karena sudah berbaurnya kepercayaan (agama) 

dengan perkembangan pemikiran dan aturan-aturan yang ada dari persekutuan keyakinan masing-masing masyarakat Batak Toba pada adat istiadatnya. Pada tahun 1970 dan setelahnya, jika akan melaksanakan adat pernikahan 

maka harus didasari oleh hukum adat, perundang-undangan dan hukum agama serta harus mendapatkan pemberkatan dari gereja agar dianggap sah dan dapat diterima oleh masyarakat.

 Proses pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba pada tahun 1970 dan setelahnya dimulai dari kegiatan kunjungan yang dilakukan seorang pria ke rumah wanita pilihannya (mangaririt), menyampaikan lamaran, 

pembicaraan singkat antar kedua belah pihak (marhusip), marhata sinamot, martonggo raja, acara pemberkatan, dan ulaon sadari. Pengantin dalam ini, kebanyakan tidak lagi menjalankan tradisi manjae. 

Banyak hal yang menyebabkan perbedaan dalam pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba seperti keberagaman agama, etnis, penyatuan etnis dalam hubungan perkawinan dan pengaruh era globalisasi. Selain itu, ada juga beberapa faktor lain yang membuat adat perkawinan Batak Toba dapat berubah yaitu: Perubahan komponen masyarakat dari waktu ke waktu, Kesadaran pribadi atau kelompok, Perekonomian, 

Hubungan sosial, Teknologi, serta Modernisasi. Pengaruh agama juga memungkinkan adanya terjadi perubahan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan pada Etnis Batak Toba, namun hal itu dapat disikapi dengan baik dari musyawarah masyarakat Batak Toba itu sendiri.

Dalam hal waktu, pelaksanaan adat pernikahan pada Etnis Batak Toba sebelum tahun 1970 menghabiskan waktu berhari-hari lamanya. Namun, pada tahun 1970 dan setelahnya, masyarakat Batak Toba menganggap bahwa pelaksanaan adat perkawinan itu tidak lagi membutuhkan waktu yang lama, karena dalam waktu yang sederhana saja bisa membuat suatu pelaksanaan adat itu lebih praktis dan teratur (ulaon sadari).

Sebelum tahun 1970, pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba biasanya dibuat di halaman rumah yang cukup luas dengan tikar sebagai alas tempat duduk dan terpal sebagai pelindung dari panas matahari. Pada tahun 1970 dan setelahnya, kebiasaan ini mulai menghilang pelaksanaan pesta adat mulai dilakukan diruangan adat (wisma) walaupun tidak semua orang melakukannya. 

Pada sebelum tahun 1970, Maskawin atau sinamot yang diberikan berbentuk hewan peliharaan seperti kerbau dan babi, sawah atau kebun, dan benda berharga lainnya. 

Namun, pada tahun 1970 dan setelahnya sinamot yang diberikan berbentuk uang, hal ini dikarenakan uang dianggap bisa lebih efisien dalam penggunaannya dan pendukung pesta adat.

 Pada zaman sekarang, sinamot masih dijalankan dan diberikan dalam bentuk uang atau benda yang ditujukan kepada orangtua perempuan. Hal ini diakibatkan harta benda yang sulit dicari sehingga sinamot diberikan berupa uang yang dapat digunakan untuk membiayai pesta adat perkawinan seperti membeli ulos, dengke (ikan mas), pakaian, perhiasan pengantin 

dan ongkos yang dipakai untuk pergi ke kampung keluarga laki-laki melangsungkan pesta pernikahan. Pemberian sinamot pada zaman sekarang ini dilalui dengan peoses negosiasi kedua belah pihak dalam acara adat marhata sinamot. 

Apabila pihak laki-laki tidak dapat memenuhi permintaan tersebut, makan dapat dinegosiasikan kembali hingga mencapai kesepakatan yang diterima kedua keluarga. Faktor yang mempengaruhi perubahan sinamot menjadi uang adalah semakin berkembangnya zaman dan etnik Batak Toba sudah mengenal pendidikan.

 Perubahan adat perkawinan pada Etnis Batak Toba juga terlihat pada tradisi gondang dan tortor yang dilaksanakan sebagai pemberi legitimasi pesta adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba. Perubahan ini terjadi sebagai akibat dari pengaruh agama Kristen di Tanah Batak dan pengaruh perkembangan jaman, sehingga tradisi gondang dan tortor mengalami perubahan. 

Perubahan tersebut dapat dilihat dari penggunaan ansambel musik yang digunakan, pemilihan judul gondang atau judul lagu yang dimainkan, dan penggunaan waktu sesingkat mungkin tetapi tidak mengurangi nilai-nilai adat.

Dalam acara pesta adat perkawinan saat ini, jumlah judul lagu gondang yang dimainkan tidak lagi harus berjumlah ganjil (tujuh gondang, lima gondang atau tiga gondang) tetapi jumlah judul gondang yang diminta dapat berjumlah genap seperti dua atau empat judul gondang. Judul lagu yang diminta kelompok panortor atau yang dimainkan pemain musik juga bervariasi; 

bukan hanya lagu-lagu Batak Toba namun lagu-lagu dari etnis lain juga dapat dimainkan. Misalnya lagu Biring-biring yang merupakan lagu rakyat dari etnis Karo. Walaupun pelaksana pesta adat adalah orang Batak Toba, 

tetapi lagu-lagu dari etnis lainnya dapat diterima dengan baik. Hal ini menunjukkan adanya perubahan sikap dan saling menghargai di antara masyarakat Batak Toba dengan etnis lainnya. 

Bahkan pada saat ini, gondang sudah semakin jarang digunakan dan digantikan dengan gabungan alat musik barat dan alat musik tradisional.

SUMBER REFERENSI

Harahap, Basyral Hamidy dan Hotman M. Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan.

Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu.

Simanjuntak, Bungaran Antonius.2002. Parandjak Dalam Lintasan Zaman. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Febriyeni, Adesh & Payerli Pasaribu. 2020. Perubahan Fungsi Sinamot pada Etnik Batak Toba. Buddayah: Jurnal Pendidikan Antropologi, Vol.2, No.1.

Fernandus. 2019. Tortor dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kota Medan: Kontinuitas dan Perubahan. TESIS S2 Fakultas Ilmu Budaya, USU.

Purba, Mauly. 2000. Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan Dan Tortor. Jurnal Antropologi Indonesia, No. 62.

Revida, Erika Revida. 2006. Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak Toba Sumatera Utara. USU e-Journals, Vol. 5 No. 2.

Rumapea, Murni Eva & Dini Afrianti Simanungkalit. 2015. Dampak Modernisasi terhadap Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kota Medan. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya, Vol.1, No.2.

Simangunsong, Emini. 2013. Perubahan dan Kesinambungan Tradisi Gondang dan Tortor dalam Pesta Adat Perkawinan pada Masyarakat Batak Toba di Medan. Jurnal VISI, Vol.21, No.2.

Simanjuntak, Agung Matius. 2020. Pelaksanaan Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 1970-1982. SKRIPSI S1 Fakultas Ilmu Budaya, USU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun