Mohon tunggu...
EJK
EJK Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Tidak Mencalon Jadi Presiden Lagi

28 Juli 2017   12:50 Diperbarui: 28 Juli 2017   14:02 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang terjadi jika 2019 hal itu benar terjadi? Jelas akan terjadi goncangan politik, badai politik, bahkan tsunami politik jika hal itu benar-benar terjadi. Semua kalkulasi-kalkulasi politik para politisi hancur berantakan, strategi-strategi canggih yang mereka siapkan tak ada gunanya.

Yang jelas, semua lawan Jokowi yang saat ini kelihatan bersatu-padu akan mulai saling cakar, saling pukul, saling terkam, mencabik satu sama lain. Begitu juga dengan kelompok koalisi Jokowi sendiri. Mereka akan menunjukkan ambisi kelompok masing-masing karena Jokowi sebagai sosok pemersatu itu tidak ada. Ya, Jokowi itulah sosok pemersatu dua kubu saat ini, baik yang pro maupun yang kontra dengannya.

Kelompok pro Jokowi kelihatan solid bersatu juga karena sosok sang presiden, partai-partai politik dan ormas-ormas pendukung Jokowi mampu menyamakan visi satu sama lain karena ada Jokowi sebagai perekat. Mereka melihat Jokowi masih sangat kuat dengan elektabilitas yang tinggi, sama seperti tahun 2014 lalu.

Kalaulah Jokowi tidak kuat, mungkin sejak lama dia sudah distir oleh PDI-P, semua keinginan PDI-P seperti menjadikan Budi Gunawan Kapolri dan mencopot Rini dari Menteri BUMN mungkin sudah terlaksana, tapi nyatanya tidak.

Kalaulah Jokowi tidak kuat, tak mungkin Golkar yang begitu besar merapat dan meninggalkan Prabowo. Belakangan Golkar semakin menjilat Jokowi dengan buru-buru mencalaokan kembali. Bahkan mereka terus meyakinkan Jokowi dengan tetap berikrar setia meski Setya Novanto jadi tersangka.

Kalaulah Jokowi tidak kuat, tak mungkin Djan Faridz menjilat ludah berbalik arah menghiba ke Jokowi demi kursi Ketum PPP. Berharap Jokowi melakukan invisible hands agar Romahurmuziy terdepak dari singgasana PPP. Apalagi pada momen pilkada DKI, PPP Romi mendukung Agus anak SBY, menurut Djan, inilah kesempatan menjilat Jokowi dengan mendukung Ahok.

Kalaulah Jokowi tidak kuat, tak mungkin Muhaimin dengan PKB menggertak-gertak Jokowi dengan mengkritisi Menteri Susi Pudjiastuti dan beberapa kebijakan lainnya. Sayangnya Muhaimin lupa strategi gertakan tidak bakal mempan untuk Jokowi. PDI-P saja yang notabene partai pengusung terbesarnya tak mampu menggertak Jokowi. Muhaimin mungkin lupa, mengertak Jokowi sama saja kehilangan kursi Ketum. Sudah terjadi pada Golkar dan PPP kan? Apalagi trah Gus Dur dengan senang hati menanti hal itu terjadi dan PKB kembali ke pangkuan Yenni.

Mereka merapat, mendukung, dengan harapan mendapat kekuasaan, mengamankan kepentingan dan menutupi kesalahan-kesalahan masa lalu. Karena menurut mereka dalam politik tidak ada makan siang yang gratis.Demikian juga dengan kelompok yang kontra dengan Jokowi. Lihat saja bagaimana mereka bisa bersatu demi satu kepentingan, mengganti Jokowi.

Bagaimana mungkin SBY bisa bersatu dalam satu visi dengan Prabowo, sementara kisah masa lalu antara mereka berdua (katanya SBY dipukuli Prabowo saat Akmil) seperti diungkap, Prof. Hermawan Sulistyo, pasti masih menyisakan sesak di dada.

Bagaimana mungkin Amien Rais bisa bersatu dengan Prabowo yang jelas-jelas saat awal reformasi berdiri berhadap-hadapan, kini bisa saling memahami dan menyayangi. Bahkan menurut Amien, Prabowo-lah satu-satunya orang yang mampu mengendalikan Indonesia ke arah yang benar versi dia. Kalau memang iya, kenapa tidak dari dulu Amien mendukung Prabowo untuk menggantikan Soeharto?

Jokowi memang pemersatu, lihat saja bagaimana Hari Tanusudibyo bisa merapat ke kelompok 212 yang mengidentifikasi diri sebagai representasi umat Islam seluruh Indonesia, padahal dia kafir. Untuk satu tujuan itu tidak masalah, menjatuhkan Jokowi sekarang atau mengalahkannya di 2019. Sosok Jokowi juga yang mampu membuat ideologi kelompok nasionalis seperti Gerindra bisa bersatu dengan PKS yang berazazkan Islam.

Semua mata ke Jokowi, partai politik dan politisi kasak-kusuk bagaimana strategi 2019 nanti. Mendukung Jokowi atau menjadi lawannya. Tapi apakah mereka yakin Joko Widodo akan mencalonkan diri lagi pada pilpres 2019 nanti? Bagaimana kalau tidak? Pernahkah terpikir opsi itu? Mungkin tidak.

Lalu apa yang terjadi jika tiba-tiba Jokowi menyatakan tidak maju lagi? Berantakanlah semua strategi an hitung-hitungan mereka. Semua kehilangan arah karena yang ditarget menghilang. Yang berkoalisi baik yang pro maupun kontra saling curiga, saling berebut, saling merasa memiliki kesempatan yang sama meraih kuasa.

Apalagi jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan UU Pemilu dengan Presidential Thresold (PT) 0%. Semua merasa mampu dan berhak maju, yang kecil berasa besar tak mau ketinggalan. Bermunculanlah nama-nama seperti Yusril Ihza, Amien Rais, Gatot Nurmantyo, Zul Hasan, Tito Karnavian, Wiranto, Surya Paloh, Bakrie, Hari Tanu, Hidayat Nur Wahid, Ridwan Kamil, Agus Harimurti, Tommy Soeharto, Puan Maharani, Anies Baswedan, Rizieq Shihab, Sambo, Al Khatat dan entah siapa lagi. Hancur leburlah arah politik Indonesia.

Jika tak ada Jokowi, target musuh politiknya menggolkan PT 0% menjadi tidak ada artinya. Yang ada, regulasi tersebut malah menjadi senjata makan tuan untuk mereka sendiri. Prabowo akan kehilangan pamor dan ditinggalkan pendukungnya karena masing-masing tentu ingin menjadi Presiden. Ini tidak diprediksi oleh Prabowo, SBY, Yusril dan Amien Rais yang saat ini getol ingin PT 0%. Padahal itu bisa menjadi racun bagi mereka sendiri.

Tapi mungkinkah ini terjadi? Ya mungkin saja. Sejak lama Jokowi sudah mengaplikasikan seni politik tingkat tinggi yang sulit ditebak kawan maupun lawan politiknya. Bahkan kita melihat trik-trik politik Jokowi ini hanya bisa kita jumpai dalam film-film Hollywood bergenre drama politik. Lihat bagaimana Vladimir Putin berkuasa pertama kali sebagai Perdana Menteri tahun 1999. Hingga saat ini daia masih berkuasa, bergantian sebagai Perdana Menteri dan Presiden. Meski konstitusi kita jelas beda dengan Rusia, tapi strategi yang sama bisa diterapkan Jokowi disini.

Lalu kenapa Jokowi bisa dan dan berani untuk tidak mencalon lagi? Yang pertama, Jokowi tidak punya beban masa lalu. Kedua, Jokowi bukan pengurus partai manapun, tak ada kepentingan partai yang membelenggunya. Ketiga, Jokowi sudah biasa mengatur strategi politik yang tidak biasa. Gaya mainstream tak ada dalam kamus Jokowi.

Jokowi berani tak mencalon lagi karena proyek-proyek strategis multiyears jangka pendek seperti Trans Papua, MRT, LRT, dan infrastruktur-infrastruktur lainnya sebagian sudah selesai pada 2019. Tugas lima tahunnya selesai. Tinggal meneruskan tugas jangka panjang, memperkuat ideologi Pancasila, membangun infrastruktur layak Sabang sampai Merauke, menarik foreign investment dan menjaga stabilitas politik.

Lalu siapa yang akan meneruskan tugas jangka panjangnya? Jokowi jelas sangat kuat menentukan posisi ini. Saat Jokowi tidak mencalon lagi, otomatis pengikut setianya, relawan-relawannya bergerak lagi mengikut komandonya. Calon-calon setia sudah ada di kantong Jokowi. Tinggal dia mengkalkulasi siapa yang paling potensial dan loyal padanya.

Ada banyak nama yang bisa dipasangkan Jokowi untuk dimainkan dalam strategi itu. Bisa Gatot -- Sri Mulyani, bisa Gatot -- Tito, bisa Gatot -- Anies, bisa Anies -- Risma, bisa Sri Mulyani -- Tito. Ahok? Tidak. Ahok sudah masuk kotak. Barang recyle tak mungkin bisa mulus meski dipoles seperti apapun.

Jika menang, salah satu pasangan calon itu, katakanlah Gatot -- Tito, akan berkuasa lima tahun, lalu tak ikut lagi. Jokowi masuk lagi untuk lima tahun di 2024, lalu di 2029 giliran Gatot -- Tito kembali lagi toh umur mereka masih memungkinkan. Mirip dengan strategi Putin bukan?

Bagaimana dengan kendaraan politik? Meski PT 0%, tapi Indonesia tidak punya aturan Capres Independent. Harus lewat jalur partai. Partai mana yang mau melakukan hal itu dengan sukarela untuk Jokowi? Ada koq. Itu..partai anak-anak muda yang selalu di garda depan mendukung Jokowi, PSI (Partai Solidaritas Indonesia).

Jika ini benar terjadi, diyakini Prabowo pun tidak akan berani maju. Dia pasti takut malu jika kalah melawan "anak didik" Jokowi. Dan mungkin saja menurut Prabowo, kalau tak ada Jokowi pilpres itu hambar. Jika dia takut kalah, mungkin dia akan menjadi kingsmaker, mencari lawan yang sepadan dengan calon Jokowi.

Mungkin juga Prabowo pede melawan calonnya Jokowi karena merasa yang bisa mengalahkannya hanya Jokowi langsung. Tapi sayang, jika lawannya bukan Jokowi dia bakal kehilangan peluru untuk menghantam Jokowi. Isu-isu yang selama ini dibina kaum oposisi, seperti PKI, Islamphobia dan lain-lain jadi tak manfaat.

Kalau kita prediksikan kembali, calon yang diusung Jokowi-lah yang berpeluang besar untuk menang. Alasannya? Pendukung Jokowi mulai dari relawan, Gen --Y, anak-anak millenial dan fansboy-nya sangat solid. Lihat saja pemilu 2014, PDI-P bisa menang karena mencalonkan Jokowi, bukan karena mereka berhasil jadi oposisi SBY selama 10 tahun, bukan. PDI-P menang karena rakyat ingin Jokowi jadi presiden.

Jelas calon yang diusung Jokowi bakal kuat sekali, pasalnya...partai-partai lain berlomba-lomba mengusung calon sendiri. Suara mereka terpecah belah, sementara suara Jokowi masih solid. Paling-paling tergerus 10% yang hilang dari partai-partai pendukungnya.

SMRC menyebut survey mereka mengungkap, responden yang puas dengan kerja Jokowi mencapai 67%. Kepercayaan akan kemampuan Jokowi memimpin juga masih tinggi pada kisaran 69%. Jika dikurangi 10% pun, calon Jokowi masih menang satu putaran. Sementara sisa 40% suara yang tidak ke calon Jokowi akan direbut ramai-ramai oleh sederet nama yang ambisius jadi presiden.

Demikian, Anda percaya silahkan, tidakpun tidak apa-apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun