Semua mata ke Jokowi, partai politik dan politisi kasak-kusuk bagaimana strategi 2019 nanti. Mendukung Jokowi atau menjadi lawannya. Tapi apakah mereka yakin Joko Widodo akan mencalonkan diri lagi pada pilpres 2019 nanti? Bagaimana kalau tidak? Pernahkah terpikir opsi itu? Mungkin tidak.
Lalu apa yang terjadi jika tiba-tiba Jokowi menyatakan tidak maju lagi? Berantakanlah semua strategi an hitung-hitungan mereka. Semua kehilangan arah karena yang ditarget menghilang. Yang berkoalisi baik yang pro maupun kontra saling curiga, saling berebut, saling merasa memiliki kesempatan yang sama meraih kuasa.
Apalagi jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan UU Pemilu dengan Presidential Thresold (PT) 0%. Semua merasa mampu dan berhak maju, yang kecil berasa besar tak mau ketinggalan. Bermunculanlah nama-nama seperti Yusril Ihza, Amien Rais, Gatot Nurmantyo, Zul Hasan, Tito Karnavian, Wiranto, Surya Paloh, Bakrie, Hari Tanu, Hidayat Nur Wahid, Ridwan Kamil, Agus Harimurti, Tommy Soeharto, Puan Maharani, Anies Baswedan, Rizieq Shihab, Sambo, Al Khatat dan entah siapa lagi. Hancur leburlah arah politik Indonesia.
Jika tak ada Jokowi, target musuh politiknya menggolkan PT 0% menjadi tidak ada artinya. Yang ada, regulasi tersebut malah menjadi senjata makan tuan untuk mereka sendiri. Prabowo akan kehilangan pamor dan ditinggalkan pendukungnya karena masing-masing tentu ingin menjadi Presiden. Ini tidak diprediksi oleh Prabowo, SBY, Yusril dan Amien Rais yang saat ini getol ingin PT 0%. Padahal itu bisa menjadi racun bagi mereka sendiri.
Tapi mungkinkah ini terjadi? Ya mungkin saja. Sejak lama Jokowi sudah mengaplikasikan seni politik tingkat tinggi yang sulit ditebak kawan maupun lawan politiknya. Bahkan kita melihat trik-trik politik Jokowi ini hanya bisa kita jumpai dalam film-film Hollywood bergenre drama politik. Lihat bagaimana Vladimir Putin berkuasa pertama kali sebagai Perdana Menteri tahun 1999. Hingga saat ini daia masih berkuasa, bergantian sebagai Perdana Menteri dan Presiden. Meski konstitusi kita jelas beda dengan Rusia, tapi strategi yang sama bisa diterapkan Jokowi disini.
Lalu kenapa Jokowi bisa dan dan berani untuk tidak mencalon lagi? Yang pertama, Jokowi tidak punya beban masa lalu. Kedua, Jokowi bukan pengurus partai manapun, tak ada kepentingan partai yang membelenggunya. Ketiga, Jokowi sudah biasa mengatur strategi politik yang tidak biasa. Gaya mainstream tak ada dalam kamus Jokowi.
Jokowi berani tak mencalon lagi karena proyek-proyek strategis multiyears jangka pendek seperti Trans Papua, MRT, LRT, dan infrastruktur-infrastruktur lainnya sebagian sudah selesai pada 2019. Tugas lima tahunnya selesai. Tinggal meneruskan tugas jangka panjang, memperkuat ideologi Pancasila, membangun infrastruktur layak Sabang sampai Merauke, menarik foreign investment dan menjaga stabilitas politik.
Lalu siapa yang akan meneruskan tugas jangka panjangnya? Jokowi jelas sangat kuat menentukan posisi ini. Saat Jokowi tidak mencalon lagi, otomatis pengikut setianya, relawan-relawannya bergerak lagi mengikut komandonya. Calon-calon setia sudah ada di kantong Jokowi. Tinggal dia mengkalkulasi siapa yang paling potensial dan loyal padanya.
Ada banyak nama yang bisa dipasangkan Jokowi untuk dimainkan dalam strategi itu. Bisa Gatot -- Sri Mulyani, bisa Gatot -- Tito, bisa Gatot -- Anies, bisa Anies -- Risma, bisa Sri Mulyani -- Tito. Ahok? Tidak. Ahok sudah masuk kotak. Barang recyle tak mungkin bisa mulus meski dipoles seperti apapun.
Jika menang, salah satu pasangan calon itu, katakanlah Gatot -- Tito, akan berkuasa lima tahun, lalu tak ikut lagi. Jokowi masuk lagi untuk lima tahun di 2024, lalu di 2029 giliran Gatot -- Tito kembali lagi toh umur mereka masih memungkinkan. Mirip dengan strategi Putin bukan?
Bagaimana dengan kendaraan politik? Meski PT 0%, tapi Indonesia tidak punya aturan Capres Independent. Harus lewat jalur partai. Partai mana yang mau melakukan hal itu dengan sukarela untuk Jokowi? Ada koq. Itu..partai anak-anak muda yang selalu di garda depan mendukung Jokowi, PSI (Partai Solidaritas Indonesia).