Pak Tengsek adalah adik dari almarhum kakekku. Beliau adalah seorang prajurit veteran. Gangguan skizofrenia pada usianya yang sudah lanjut menyebabkan pikirannya kacau. Hal tersebut juga menyebabkan gangguan emosi yang membuatnya menjadi labil, cemas, bingung, mudah marah, mudah salah faham dan yang paling parah adalah alam pikiran beliau yang masih terjebak pada masa penjajahan Jepang.
 Tidak jarang beliau mampir melimpir ke rumahku hanya untuk membahas strategi penyelamatan anaknya. Pernah suatu hari beliau membawa sebilah bambu runcing kemudian mengajakku menyusup ke salah satu rumah bordil Jepang guna mencari Rumsanih. Aku tidak bisa bayangkan apa kata orang di sepanjang perjalanan beliau. Sudah berkali-kali keluargaku mengajaknya tinggal di sini tapi beliau terus menolak. Katanya, bagaimana kalau Rumsanih berhasil melarikan diri sedang dirinya tidak ada di rumah?
Hari ini semua orang menatapku sinis. Dalam kepala mereka pasti terbesit mengapa aku tidak memberitahu yang sebenarnya. Mereka tidak tahu apa akibatnya ketika membeberkan bahwa negeri kita ini sudah merdeka. Marah besar!
"Kek, masuk dulu yuk ke dalam," ajakku pada pak Tengsek
"Buat apa masuk? Tengok, kita sudah punya banyak pasukan. Sudah lama kita tidak menyerbu tentara Jepang dengan jumlah ini. Lebih baik kau juga siap-siap, hari ini kita gempur mereka!"
Orang-orang di sekitarku mulai mengerutkan kening mereka.
"Kita ini sudah merdeka, kek! Jepang sudah kalah!"
O tidak. Pria di sampingku melontarkan kalimat terlarang dengan begitu jelas. Satu, dua, tiga...
"Siapa bilang kita sudah merdeka?! Dia pasti pengkhianat yang membelot ke Jepang. Apa kalian tidak melihat begitu banyak utusan-utusan jepang di sana?!" bentak pak Tengsek sambil berdiri melontarkan nada mayor dan mendorong meja kayu bundar di depannya. Emosinya memuncak. Para pendengar cerita pak Tengsek sedikit memundurkan langkahnya dan menjaga jarak. Aku mencoba menenangkan beliau.
"Kasih tau, tong. Serdadu Jepang masih ada. Masih berkeliaran dimana-mana." Pak Tengsek memintaku untuk membelanya. Tanpa sadar air mataku sudah tak bisa terbendung lagi. Begitu juga beliau. Aku hanya bisa memeluknya tanpa melontarkan sepatah kata.
"Tong, kasih tau orang-orang ini. Kasih tau mereka!" kata pak Tengsek dalam pelukanku. Aku perlahan mulai membuka pelukan. Menghapus air mata. Kemudian meraih pundak beliau dan berkata sambil terisak