Mohon tunggu...
Hamba Ngoceh
Hamba Ngoceh Mohon Tunggu... Bahagia adalah bisa terus bercerita!

Karena ngoceh adalah bentuk dari manusia paling merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membawa Kembali Rumsanih

27 Agustus 2021   20:53 Diperbarui: 27 Agustus 2021   22:30 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia.

"Dateng lagi?"

"Tengok aja sendiri."

Kakek tua itu datang lagi. Sebagian tetanggaku sudah tidak asing dengan sosoknya. Pahlawan. Kisahnya sudah sering mengudara di langit-langit gang rumahku. Meski begitu, tidak semua telinga di sini tau. Setiap beberapa bulan sekali, beliau pasti datang jauh-jauh dari Sukabumi ke rumahku.

Setiap yang dia katakan adalah mantra. Kalimat dan tutur katanya membius orang-orang di sini, membuat mereka berdecak kagum. Setiap yang dikatakan adalah kejujuran. Setiap intonasinya penuh makna. Terlebih lagi tahun ini usianya genap 88 tahun. Pak Tengsek, seorang saksi hidup tawa dan air mata negeri ini.

Terlihat di depan teras rumahku pak Tengsek yang sedang menuturkan kisahnya dengan menggebu-gebu kepada tetangga dan sanak saudaraku di sini. Tentang anak semata wayangnya yang merupakan seorang jugun ianfu. Hari itu pak Tengsek menceritakan bahwa ketua tonarigumi diperintahkan oleh Dai Nippon mengumpulkan wanita dalam jumlah tertentu untuk dijadikan pemuas hasrat seksual tentara Jepang. Siapa yang melawan pasti tau akibatnya.

"Kalau kepala desa sudah keliling, Rumsanih pasti saya suruh sembunyi. Dimana saja yang penting harus sembunyi!" ujar pak Tengsek dengan raut ekspresi di wajahnya yang sebenarnya sudah penuh keriput, gestur tubuhnya juga sudah sedikit kaku, namun koar suara lansia lantang seakan menjadi ciri khasnya. Haha, mungkin tetangga-tetanggaku yang mendengarkannya lupa kalau dia sedang mendengar seorang kakek tua berusia delapan puluh tahunan.

Apanya yang cahaya?

Apanya yang pelindung?

Apanya juga yang pemimpin?

Setan. Orang-orang Jepang sama saja dengan para Kompeni. Tidak, bahkan lebih buruk. Mereka menculik para perempuan di rumah-rumah, di jalan, bahkan di sawah selagi mereka bekerja. Kala itu menjadi cantik adalah malapetaka.

Aku masih belum keluar rumah. Hanya memandangi pak Tengsek yang sedang bercerita dari bilik jendela. Meski sudah tua, suaranya masih terdengar sampai ke dalam rumah.

"Sekarang serdadu Jepang sudah tidak lagi memakai utusan. Mereka langsung datang ke rumah-rumah mencari para wanita muda. Saya sangat bersalah meninggalkan Rumsanih sendirian di rumah. Sehingga ketika saya pulang, saya dapati Rumsanih diperkosa oleh setan-setan Jepang yang datang dari neraka."

"Kakek ngga melawan?" tanya salah seorang di antara kerumunan. Sepertinya dia baru bertemu pak Tengsek. Astaga, dalam hatiku. Aku sudah tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya ketika pak Tengsek dipancing pertanyaan yang demikian. Dia akan membuka kemejanya!

"Melawan mereka itu hal yang mustahil. Saya sudah coba berkali-kali sampai puncaknya ketika Rumsanih dibawa, mereka menghujani saya dengan peluru dan menikam dada saya dengan bayonet hingga saya jatuh tersungkur tak sadarkan diri," jelas pak Tengsek sambil menunjukan bekas luka masa lampau di tubuhnya.

Para tetangga tidak percaya, bagaimana mungkin dengan luka seperti itu pak Tengsek masih hidup sampai sekarang?

"Alhamdulillahnya, saya masih diberi kesempatan hidup. Untuk apa lagi kalau bukan untuk membawa kembali Rumsanih?" lanjut pria kelewat baya tersebut.

Semua yang hadir sebenarnya bingung. Apa maksudnya membawa kembali Rumsanih? Tapi mereka tidak ada yang menyuarakan kebingungan tersebut. Hanya saling tatap dan memperlihatkan raut muka satu sama lain.

"Kata teman-teman saya yang telah gugur, mereka membawa Rumsanih ke ianjo. Tapi Pikram bilang katanya Rumsanih sudah pindah ke daisu" Jelas pak Tengsek sebelum kemudian bersandar pada kursi jati khas betawi di depan teras rumahku.  Pak Tengsek juga menatap wajah-wajah orang yang ada di sekitarnya seraya mengajak mereka bersukarela membantunya membawa Rumsanih pulang.

"Bukannya kita sudah merde..?" belum selesai seorang laki-laki bergumam tentang kemerdekaan, aku langsung membuka pintu.

"Nah, tuh dia Pikram. Sini tong!" ujar sang pahlawan yang kini merubah gestur duduknya menjadi agak tegak dengan tangannya yang menunjuk ke arahku. Kini semua pasang mata tertuju padaku. Duh..

"Nih, kenalin namanya Pikram. Tentara PETA!" bangga pak Tengsek padaku di depan semua orang yang membuat mereka semua makin larut dalam kebingungan. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang menganggap pak Tengsek sudah tidak waras.

Pak Tengsek adalah adik dari almarhum kakekku. Beliau adalah seorang prajurit veteran. Gangguan skizofrenia pada usianya yang sudah lanjut menyebabkan pikirannya kacau. Hal tersebut juga menyebabkan gangguan emosi yang membuatnya menjadi labil, cemas, bingung, mudah marah, mudah salah faham dan yang paling parah adalah alam pikiran beliau yang masih terjebak pada masa penjajahan Jepang.

 Tidak jarang beliau mampir melimpir ke rumahku hanya untuk membahas strategi penyelamatan anaknya. Pernah suatu hari beliau membawa sebilah bambu runcing kemudian mengajakku menyusup ke salah satu rumah bordil Jepang guna mencari Rumsanih. Aku tidak bisa bayangkan apa kata orang di sepanjang perjalanan beliau. Sudah berkali-kali keluargaku mengajaknya tinggal di sini tapi beliau terus menolak. Katanya, bagaimana kalau Rumsanih berhasil melarikan diri sedang dirinya tidak ada di rumah?

Hari ini semua orang menatapku sinis. Dalam kepala mereka pasti terbesit mengapa aku tidak memberitahu yang sebenarnya. Mereka tidak tahu apa akibatnya ketika membeberkan bahwa negeri kita ini sudah merdeka. Marah besar!

"Kek, masuk dulu yuk ke dalam," ajakku pada pak Tengsek

"Buat apa masuk? Tengok, kita sudah punya banyak pasukan. Sudah lama kita tidak menyerbu tentara Jepang dengan jumlah ini. Lebih baik kau juga siap-siap, hari ini kita gempur mereka!"

Orang-orang di sekitarku mulai mengerutkan kening mereka.

"Kita ini sudah merdeka, kek! Jepang sudah kalah!"

O tidak. Pria di sampingku melontarkan kalimat terlarang dengan begitu jelas. Satu, dua, tiga...

"Siapa bilang kita sudah merdeka?! Dia pasti pengkhianat yang membelot ke Jepang. Apa kalian tidak melihat begitu banyak utusan-utusan jepang di sana?!" bentak pak Tengsek sambil berdiri melontarkan nada mayor dan mendorong meja kayu bundar di depannya. Emosinya memuncak. Para pendengar cerita pak Tengsek sedikit memundurkan langkahnya dan menjaga jarak. Aku mencoba menenangkan beliau.

"Kasih tau, tong. Serdadu Jepang masih ada. Masih berkeliaran dimana-mana." Pak Tengsek memintaku untuk membelanya. Tanpa sadar air mataku sudah tak bisa terbendung lagi. Begitu juga beliau. Aku hanya bisa memeluknya tanpa melontarkan sepatah kata.

"Tong, kasih tau orang-orang ini. Kasih tau mereka!" kata pak Tengsek dalam pelukanku. Aku perlahan mulai membuka pelukan. Menghapus air mata. Kemudian meraih pundak beliau dan berkata sambil terisak

"Kita memang sudah lama merdeka kek..."

Tangis beliau pecah. Tangisku apalagi. Beberapa tetanggaku yang ada di sini juga tak kuasa menahan air matanya. Pak Tengsek lemas sebelum kembali duduk, mengangkat songkok hitam di kepalanya kemudian menyapu muka dan air mata dengan tangan kanannya.

"Kalau kita sudah merdeka, kenapa saya masih susah buat cari makan? Kalau kita sudah merdeka, kenapa orang-orang melihat saya dengan tatapan kejam? Lebih kejam dari mata tentara Jepang. Saya ini rakyat Indonesia.."

Euforia di sekitar tanah rumahku sekarang penuh dengan air mata.

"Kalau Jepang sudah kalah, kenapa tidak apa yang mengunjungi saya di desa? Setelah bapakmu ngga ada. Rumah saya tidak pernah kedatangan manusia selain saya seorang." Shit, tidak ada tamparan yang paling keras yang pernah kurasakan selain kalimat yang demikian.

Selama ini aku berbohong tentang Rumsanih yang dipindahkan ke daisu. Sebenarnya daisu adalah potongan kata dari paradaisu: surga. Ya, Rumsanih sudah meninggal. Tidak bisa kubayangkan betapa terlukanya pak Tengsek kalau tahu buah hati satu-satunya sudah tiada. Bagi pak Tengsek tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain Rumsanih.

Setelah itu, aku mengantar pak Tengsek kembali ke Sukabumi. Sekarang beliau tidak lagi kesusahan mencari makan. Kisahnya begitu cepat menyebar lewat sosial media. Banyak bantuan yang datang ke rumah beliau. Meski begitu, beliau masih saja menolak ketika ada yang mengajaknya tinggal di tempat yang lebih layak. Bagi pak Tengsek, tidak ada tempat yang lebih layak untuknya selain berada di dekat Rumsanih dan istrinya.

Seminggu setelahnya, aku mendapat kabar duka.

Pak Tengsek telah tiada. Tangisku kembali meledak. Perasaan sedih dan haru menjadi satu. Pada akhirnya kita semua akan mati. Tidak, maksudku, pada akhirnya kita akan kembali kepada mereka yang kita cinta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun