Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Money

Model Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar dan Solow Sebuah Perbandingan dan Studi Empiris

4 Juni 2011   05:09 Diperbarui: 4 April 2017   18:30 48353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dapat diunduh di:

http://www.4shared.com/document/akQDnV9P/Model_Pertumbuhan_Ekonomi_Harr.html

Oleh :

1.Dzulfian Syafrian (0806464242)

2.Minda Putri(0806348816)

3.Khairunnisa Rangkuti(0806317735)

4.Triasa A. Laksana(0806464406)

5.Yusuf Sofiyandi(0806348993)




BAB I

PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda dan perbedaan pola distribusi pendapatan yang signifikan di berbagai negara di dunia merupakan fenomena yang tidak terlalu mudah untuk dijelaskan oleh ekonom.Sampai saat ini banyak sekali studi literatur yang mengupas masalah pertumbuhan ekonomi yang dialami negara-negara di dunia. Pada umumnya, ada tiga isu yang paling sering dibahas dan saling terkait dalam masalah pertumbuhan, yakni : world growth, country growth, dan inequality of income level.

Seiring dengan semakin kompleksnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi, para ekonom pun sudah berusaha mengembangkan berbagai model pertumbuhan yang mencoba menjelaskan mengapa ada sebagian negara yang kaya dan sebagian yang lain miskin. Namun, sampai saat ini belum ada model pertumbuhan ekonomi yang benar-benar powerful dalam menjelaskan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri tanpa membuat penyederhanaan melalui asumsi-asumsi yang kurang realistis di dalam dunia nyata.

Mungkin hanya sedikit penjelasan memuaskan yang bisa diberikan, sebagai contoh, mengapa negara-negara Asia Timur bisa mengalami pertumbuhan yang sangat cepat (Asian Miracles) dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lain dalam tiga dekade terakhir. Mengapa Jerman dan Jepang bisa bangkit dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih baik setelah Perang Dunia II berakhir. Kasus yang lebih ekstrem, mengapa negara-negara di kawasan Afrika tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan yang berkepanjangan.

Berbagai pendekatan dilakukan untuk menganalisis dan memperoleh hasil yang lebih baik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Sisi konsumsi dan investasi paling sering dibahas. Keterkaitan faktor-faktor produksi yang paling dasar seperti jumlah modal, jumlah pekerja, serta kemajuan teknologi juga dilibatkan dalam analisis tetapi pada kenyataannya tidak semua kasus pertumbuhan ekonomi yang dialami berbagai negara dapat dijelaskan dengan model pertumbuhan yang sama.

Dalam makalahini kami membahas dua model pertumbuhan ekonomi yang paling dasar, yakni model pertumbuhan Harrod-Domar dan model pertumbuhan Solow. Model pertumbuhan Solow memiliki penjelasan yang sangat esensial dan merupakan starting point bagi hampir seluruh analisis pertumbuhan ekonomi, sedangkankan model Harrod-Domar merupakan model yang sangat baik untuk dijadikan pembanding bagi model pertumbuhan Solow. Di bagian pertama makalah ini, kami melakukan pembahasan secara teoritis model pertumbuhan Solow dan model pertumbuhan Harrod-Domar. Di bagian kedua, kami melakukan kajian terhadap empirical studies di kedua model pertumbuhan. Selanjutnya, kami melakukan comparison review kedua model pertumbuhan yakni menyesuaikan dasar teori dengan hasil empiris, kemudian menjelaskan mengapa kedua model pertumbuhan tersebut mampu atau tidak mampu memberikan jawaban ilmiah mengenai perbedaan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang.



BAB II

LANDASAN TEORI

TEORI DAN MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI

2.1Teori dan Model Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar

Teori ini dikembangkan oleh Sir Roy F. Harrod dan Evsey Domar. Teori ini merupakan perkembangan dari teori Keynes. Dengan dasar pemikiran bahwa analisis yang dilakukan oleh Keynes dianggap kurang engkap karena tidak membicarakan masalah-masalah ekonomi jangka panjang, Harrod-Domar mencoba untuk menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang dengan mantap (steady growth).

Ada beberapaasumsi yang digunakan. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:

a.Perekonomian dalam keadaan seluruh barang modal dan tenaga kerja telah seluruhnya digunakan (full employment).

b.Perekonomian hanya terdiri dari dua sector yaitu household dan firm. Tidak ada government dan trade with rest of the world.

c.Besarnya Private Saving proporsional dengan National Income.

d.Marginal Propensity to save (MPS), Capital-output ratio (COR)dan incremental capital-output ratio (ICOR) dianggap konstan/tetap.

Berdasarkan pada asumsi diatas kita memperoleh bahwa tabungan harus sama dengan total investasi (S=I), dimana;

-Tabungan merupakan suatu proporsi dari output total (S = sY).

-Investasi didefenisikan sebagai perubahan stok modal dan dilambangkan dengan I=∆K. Karena stok modal (K) memiliki hubungan langsung dengan output total (Y) yang ditunjukkan melalui COR (k), maka k= ∆K/∆Y atau K=k.Y.

Kita bisa menuliskan identitas dari tabungan yang sama dengan investasi sebagai berikut:

S=s.Y=k.

∆Y=∆K=I atau,

s.Y=k.∆Y atau

K/Y pada persamaan di atas menunjukkan tingkat perubahan output (persentasi dari perubahan output). Tingkat pertumbuhan output ditentukan secara bersama oleh rasio tabungan (s) dan rasio modal-output (COR=k).

Persamaan Harrod-Domar yang sangat sederhana ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan output secara positif berhubungan dengan rasio tabungan. Makin tinggi tabungan diinvestasikan, makin tinggi pula output. Hubungan antara COR dengan tingkat pertumbuhan output adalah negatif, yaitu makin tinggi nilai COR maka makin rendah tingkat pertumbuhan output. Oleh karena itu, jika ingin tumbuh, perekonomian harus menabung dan menginvestasikan suatu proporsi tertentu dari output totalnya.

Gambar 1. Fungsi Produksi Harrod-Domar





Adapun derivasi tingkat pertumbuhan ekonominya adalah:

Persamaan akhir dari derivasi tersebut menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi menurut Harrod-Domar bahwa ketika terjadi kenaikan saving rate/marginal product of capital dan penurunan depresiasi dari modal/kapital maka akan terjadi penambahan output, vice versa. Inilah yang disebut dengan model pertumbuhan Harrod-Domar.

Ada beberapa kelemahan yang ditemukan dari teori Harrod-Domar ini, antara lain:

1)Teori ini mengasumsikan bahwa MPS dan ICOR konstan. Padahal kenyataannya kedua hal tersebut mungkin saja berubah dalam jangka panjang.

2)Asumsi bahwa tenaga kerja dan modal dipergunakan dalam proporsi yang tetap tidak dapat dipertahankan. Pada umumnya tenaga kerja dapat menggantikan modal dan perekonomian dapat bergerak lebih mulus. Dalam kenyataannya pergerakan ini tidak stabil.

3)Sulit sekali dan bahkan hampir tidak mungkin memppertahankan asumsi harga tetap konstan karena kenyataanya perubahan harga sangat mungkin terjadi.

4)Suku bunga tidak bisa dianggap konstan. Suku bunga dapat saja berubah dan pada akhirnya mempengaruhi investasi.

2.2Teori dan Model Pertumbuhan Ekonomi Solow

Model Solow sebagai salah satu model pertumbuhan ekonomi memberikan analisis statis bagaimana keterkaitan antara akumulasi modal, pertumbuhan populasi penduduk, dan perkembangan teknologi serta pengaruh ketiganya terhadap tingkat produksi output. Model ini memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa perekonomian di suatu negara bisa tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi di negara lain.

Sebelum menganalisis lebih dalam, kita perlu mengetahui asumsi-asumsi yang digunakan dalam model Solow. Selanjutnya, asumsi-asumsi tersebut akan kita lepas satu per satu untuk melihat bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.

I.Akumulasi Modal

Asumsi pertama model Solow adalah dengan menganggap tidak ada perubahan pada angkatan kerja dan teknologi ketika terjadi proses akumulasi modal dalam perekonomian di suatu negara. Proses akumulasi modal ini nantinya hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap barang.

Penawaran terhadap Barang dan Fungsi Produksi

Dalam model Solow, output bergantung pada persediaan modal dan jumlah tenaga kerja. Hal ini dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

Y = F (K, L)

zY = F (zK, zL)

èConstant return to scale

Untuk memudahkan analisis, kita nyatakan seluruh variabel dalam perekonomian per tenaga kerja atau dengan mengganti nilai z dengan 1/L. Dengan demikian, diperoleh :

Y/L = (K/L, 1)

Y = f(k)

Persamaan di atas menunjukkan jumlah output per tenaga kerja adalah fungsi darijumlah modal per tenaga kerja.

Untuk setiap modal ‘k’, fungsi di atas menunjukkan berapa banyak output yang diproduksi dalam perekonomian. Dari fungsi produksi di atas, jika kita derivasikan satu kali, akan diperoleh marginal product of capital (MPK) yang didefinisikan sebagai seberapa banyak output tambahan yang dihasilkan oleh seorang pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan. Secara matematis :

MPK = f(k+1) – f(k)

Dari persamaan iniketika nilai ‘k’ rendah, rata-rata pekerja hanya memiliki sedikit modal untuk bekerja, sehingga satu unit modal tambahan akan begitu berguna dan dapat memproduksi output tambahan lebih banyak. Ketika nilai ‘k’ tinggi, rata-rata pekerja memiliki banyak modal, sehingga satu unit tambahan modal hanya akan sedikit menghasilkan output tambahan.

Permintaan terhadap Barang dan Fungsi Konsumsi

Peranan permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, output per pekerja merupakan jumlah dari konsumsi per pekerja dan investasi per pekerja.

èNational income accounts

y = c + i

Dalam model Solow, diasumsikan setiap tahun seseorang akan menabung sebagian dari pendapatan mereka sebesar ‘s’ dengan nilai given dan mengkonsumsi sebesar (1-s) dari pendapatan mereka. Dengan demikian, kita bisa menyatakan gagasan ini dalam bentuk fungsi konsumsi sederhana, yaitu :

c = (1-s) y

Y = (1-s) y + i

Untuk melihat pengaruh fungsi konsumsi ini terhadap investasi, kita substitusikan persamaan di atas ke dalam identitas perhitungan pendapatan nasional, sehingga diperoleh lah bahwa tingkat investasi sama dengan tabungan. Jadi secara tidak langsung, tingkat tabungan ‘s’ menunjukan seberapa besar bagian output yang dialokasikan untuk investasi.

y = (1-s) y + i

i = sy

Investasi dan Depresiasi

Seiring dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, persediaan modal akan mengalami perubahan. Perubahan ini dapat bersumber dari dua hal : investasi dan depresiasi. Investasi berupa perluasan usaha dan penambahan modal, sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan modal sehingga persediaan modal berkurang.

i = s.f(k)

Persamaan di atas mengaitkan persediaan modal ‘k’ yang dimiliki dengan akumulasi modal ‘i’baru. Untuk memasukkan depresiasi ke dalam model, kita asumsikan bahwa sebagian dari persediaan modal menyusut setiap tahun sebesar δ (tingkat depresiasi). Dengan demikian, kita bisa menyatakan dampak investasi dan depresiasi terhadap persediaan modal ke dalam bentuk persamaan :

∆k = s.f(k) – δk

∆k = i – δk

Dimana ∆k menunjukkan perubahan persediaan modal antara satu tahun tertentu ke tahun berikutnya. Dari persamaan di atas, kita mengetahui bahwa semakin tinggi persediaan modal, maka semakin besar jumlah output dan investasi. Namun, semakin tinggi persediaan modal, maka semakin besar pula jumlah depresiasinya. Ketika perekonomian berada di dalam kondisi tertentu, yakni pada saat jumlah investasi sama dengan jumlah depresiasi, persediaan modal dalam perekonomian dinyatakan dalam k* (saat ∆k = 0).


Kondisi ini disebut steady state level of capital, dimana persediaan modal ‘k’ dan output ‘f(k)’ berada dalam kondisi mapan sepanjang waktu (tidak akan bertumbuh ataupun menyusut). Kita juga dapat mengetahui berapa tingkat modal per pekerja pada kondisi steady state dengan menggunakan persamaan di atas. Kondisi steady state ini, dengan kata lain, menunjukkan ekuilibrium perekonomian di jangka panjang.

Pengaruh Tabungan Terhadap Pertumbuhan

Model Solow menunjukkan bahwa tingkat tabungan adalah determinan penting dari persediaan modal pada kondisi steady-state. Dengan kata lain, jika tingkat tabungan tinggi, maka perekonomian akan mempunyai persediaan modal yang besar dan tingkat ouput yang tinggi, serta sebaliknya. Dasar dari model Solow inilah yang kemudian banyak dikaitkan dengan kebijakan fiskal. Defisit anggaran yang terjadi terus-menerus dapat mengurangi tabungan nasional dan menyusutkan kemampuan berinvestasi. Konsekuensi dalam jangka panjang, yakni rendahnya persediaan modal dan pendapatan nasional.

Dalam kaitannya dengan tingkat pertumbuhan, menurut Solow, tingkat tabungan yang lebih tinggi hanya akan meningkatkan pertumbuhan untuk sementara sampai perekonomian mencapai kondisi steady-state baru yang lebih tinggi dari sebelumnya. Jika perekonomian mempertahankan tingkat tabungan yang tinggi, maka hal itu hanya akan mempertahankan persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi tanpa mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tinggi.

Tingkat Modal Golden-Rule

Ketika pembuat kebijakan menentukan kondisi steady-state yang ingin dicapai dalam perekonomian, maka hal itu haruslah ditujukan untuk memaksimalkan kesejahteraan individu yang membentuk masyarakat. Individu tidak akan mempermasalahkan jumlah modal dalam perekonomian atau jumlah output yang dihasilkan. Individu hanya akan peduli pada jumlah barang dan jasa yang dapat mereka konsumsi. Dengan kata lain, pembuat kebijakan harus memilih kondisi steady-state dengan tingkat konsumsi tertinggi. Nilai kondisi steady-state yang memaksimalkan tingkat konsumsi ini disebut tingkat modal kaidah emas atau golden rule level of capital dan dinyatakan dengan ‘k*emas’.

II.Pertumbuhan Populasi

Model solow menunjukkan bahwa akumulasi modal tidak bisa menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tingkat tabungan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang tinggi hanya secara temporer, tetapi pada akhirnya perekonomian akan mendekati kondisi steady-state dimana jumlah modal dan tingkat output konstan. Agar model Solow bisa menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dapat terjadi, maka diperlukan perluasan asumsi – yakni adanya pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi.

Pertumbuhan Populasi dalam kondisi Steady-State

∆k = sf(k) – (δ + n) k

Pertumbuhan populasi, secara bersama-sama dengan investasi dan depresiasi, akan mempengaruhi akumulasi modal per pekerja. Pertumbuhan jumlah pekerja akan menyebabkan modal per pekerja turun. Karena jumlah pekerja terus bertambah sepanjang waktu maka :

∆k = i – (δ + n) k

Simbol (δ + n) k menunjukkan investasi impas atau break-even investment – jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menjaga persediaan modal per pekerja tetap konstan.break-even investmentmencakup depresiasi modal (yakni δk) dan juga mencakup jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menyediakan modal bagi para pekerja baru (nk). Dengan demikian, persamaan di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi mengurangi akumulasi modal per pekerja lebih banyak dari depresiasi.

Perekonomian akan berada dalam kondisi steady-state jika modal per pekerja (k) tidak berubah.Dalam kondisi steady-state, dampak positif investasi terhadap persediaan modal per pekerja akan menyeimbangkan dampak negatif depresiasi dan pertambahan populasi. Yaitu pada k* , ∆k =0 , dan i* = δk* + nk*. Begitu perekonomian berada dalam kondisi steady-state, maka investasi akan memiliki dua tujuan, yakni mengganti modal yang terdepresiasi (δk*) dan memberi modal bagi pekerja baru (nk*).

Dampak Pertumbuhan Populasi

Pertumbuhan populasi dalam menjelaskan model Solow dalam tiga cara. Pertama, pertumbuhan populasi membantu menjelaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam kondisi steady-state dengan pertumbuhan populasi, modal per pekerja dan output per pekerja adalah konstan. Namun, karena jumlah pekerja bertambah pada tingkat ‘n’ , modal total dan output total harus bertambah pada tingkat ‘n’. Kedua, pertumbuhan populasi menjelaskan mengapa sebagian neagra kaya dan sebagian lainnya miskin. Kenaikan tingkat populasi akan mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi steady-state (k* lebih rendah). Nilai k* yang lebih rendah menyebabkan y* (tingkat output) lebih rendah. Jadi, model Solow memprediksi bahwa negara-negara dengan pertumbuhan populasi yang lebih tinggi akan memiliki GDP per kapita yang lebih rendah. Ketiga, pertumbuah populasi mempengaruhi kriteria kita untuk menentukan tingkat modal yang memenuhi Golden Rule (memaksimalkan konsumsi).

Yakni, model Solow di atas belum bisa menjelaskan pertumbuhan yang terus-menerus dalam hal standar kehidupan yang dialami oleh sebagian negara. Negara yang lebih banyak menabung dan menginvestasikan sebagian besar output lebih kaya daripada negara yang lebih sedikit menabung dan berinvestasi. Negara yang tingkat pertumbuhan populasinya yang lebih tinggi lebih miskin daripada negara yang tingkat pertumbuhan populasinya lebih rendah. Dengan model Solow yang kita miliki, ketika perekonomian berada dalam kondisi steady-state, output pekerja berhenti bertambah. Dengan demikian, untuk menjelaskan pertumbuhan tersebut kita perlu memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model.

III.PerkembanganTeknologi

Efisiensi Tenaga Kerja

Untuk memasukkan kemajuan teknologi, kita harus kembali ke fungsi produksi yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja total L dengan output total Y.

Y = F(K,L)

Y = F(K,L x E)

‘E’ adalah efisiensi tenaga kerja yang mencerminkan kemajuan teknologi. Ketika teknologi mengalami kemajuan, maka efisiensi tenaga kerja meningkat. ‘L x E’ mengukur jumlah para pekerja efektif dengan menghitung jumlah pekerja L dan efisiensi masing-masing pekerja E. Fungsi produksi yang baru ini menyatakan bahwa output total Y bergantung pada jumlah unit modal K dan jumlah pekerja efektif, yakni ‘L x E’.

Asumsi yang paling sederhana tentang kemajuan teknologi adalah bahwa kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja E tumbuh pada tingkat konstan ‘g’, dimana ‘g’ adalah tingkat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja (labor-augmenting technological progress). Karena angkatan kerja L tumbuh pada tingkat n dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, maka jumlah pekerja efektif L x E tumbuh pada tingkat n + g.

Dampak Kemajuan Teknologi

Ada empat variabel kunci dalam kondisi steady-state dengan kemajuan teknologi, yakni : modal per pekerja efektif, output per pekerja efektif, ouput per pekerja, dan output total. Modal per pekerja efektif k adalah konstan dalam kondisi steady-state. Karena y = f(k) , maka ouput per pekerja efektif juga konstan. Variabel inilah yang menunjukkan kuantitas per pekerja efektif yang stabil pada kondisi steady-state.

Dengan adanya kemajuan teknologi, model Solow akhirnya bisa menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar kehidupan yang dialami oleh berbagai negara. Yaitu, model Solow telah menunjukkan bahwa kemajuan teknologi bisa mengarah ke pertumbuhan yang berkelanjutan dalam output per pekerja. Tingkat tabungan yang tinggi mengarah ke tingkat pertumbuhan yang tinggi hanya jika kondisi steady-state dicapai.

Sekali perekonomian berada dalam kondisi steady-state, tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya bergantung pada tingkat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi juga memodifikasi kriteria untuk kondisi Golden Rule. Tingkat modal pada Golden Rule kini didefinisikan sebagai kondisi steady-state yang memaksimalkan konsumsi per pekerja efektif.

Dengan mengikuti argumen yang kita gunakan sebelumnya, kita bisa menunjukkan bahwa konsumsi per pekerja efektif pada kondisi steady-state adalah :

c* = f(k*) – (δ + n + g)*

Konsumsi pada kondisi steady-state akan dimaksimalkan jika :

MPK= δ + n + g

MPK - δ = n + g

Yakni, pada tingkat modal Golden Rule, produk marjinal modal netto (MPK- δ) sama dengan tingkat pertumbuhan output total (n+g). Karena perekonomian aktual mengalami pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi, maka kita harus menggunakan kriteria ini untuk mengetahui apakah perekonomian memiliki modal yang lebih besar atau lebih kecil dari kondisi steady state yang memenuhi Golden Rule.




BAB III

STUDI EMPIRIS

3.1 Studi Empiris Model Harrod-Domar

Sebuah penelitian karya Willian Easterly (1997) yang berjudul “The Ghost of Financing Gap: How the Harrod-Domar Growth Model Still Haunts Development Economics.” Cukup komprehensif menjelaskan aplikasi model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar dalam dunia nyata.Hasil Penelitian Easterly ini kami pilih karena skalanya yang luas, tahap penelitian yang komperhensif, dan latar belakang William Easterly sebagai salah satu ekonom yang fokus terhadap teori pertumbuhan ekonomi.

Penelitian Easterly ini menggunakan tes skala penuh dengan data antar negara. Model dari penelitian ini berusaha untuk menjelaskan kebutuhan foreign aid dan prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara miskin. Dalam melihat hubungan tersebut, Easterly melakukan beberapa tahapan penelitian.Tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut:

1.Hubungan Aid dengan Investasi

Teori Harrod-Domar menjelaskan kebutuhan foreign aid sebagai margin dari perbedaan antar investasi yang diinginkan dengan investasi aktual dan hubungan one-on-one antara foreign aid dengan investasi. Bagaimanakah realisasinya?

Tabel 3.1. Hasil regressing Gross Domestic Investment/GDP pada ODA/GDP tahun 1965-1995


Penelitian ini menggunakan sampel 88 negara pada peroide 1965-1995, variabel yang dipergunakan untuk menjelaskan foreign aid yaitu ODA (Official Development Assistance) yang kemudian dibandingkan dengan investasi domestik dan keduanya diproporsikan terhadap GDP. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif antara peningkatan rasio ODA/GDPdengan peningkatan rasio investasi/GDP pada 53 negara (60%). Dari 88 negara tersebut hanya enam negara yang menunjukkan koefisien investasi positif dan signifikan lebih besar atau sama dengan satu. Bahkan dari keenam negara tersebut, dua diantaranya yang persentase ODA terhadap GDP-nya hanya 0,07%dari GDP dan 0,2% dari GDP yaitu Hongkong dan China. Keempat negara lainnya adalah Tunisia, Morocco, Malta, dan Srilanka yang memiliki jumlah ODAyang tidak dapat dikatakan sepele. Dengan kata lain hanya tujuh persen dari sample yang menunjukkan bahwa ODA signifikan mempengaruhijumlah investasi domestik.

Hasil penelitian Easterly sejalan dengan penelitian Boone (1994), namun Easterly belum dapat menyimpulkan bahwa foreign aid tidak efektif dalam mempengaruhi tingkat investasi di negara miskin. Hal ini dikarenakan terdapat permasalah endogenitas dalam menganalisis foreign aid, misalkan peningkatan foreign aid diakibatkan bencana alam yang terjadi di negara tersebut, bukan karena ingin meningkatkan investasi. Oleh sebab itu, Easterly melakukan tahap penelitian lanjutan untuk melihat hubungan yang paling tepat antara foreign aid dengan investasi yang pada akhirnya akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.


  1. Hubungan Investasi dengan Pertumbuhan Ekonomi

Penelitian kemudian dilanjutkan, untuk melihat apakah benar terjadi hubungan linear antara investasi dengan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan instrumen ICOR. Penelitian dilakukan dengan meregresi GDP Growth dengan Lagged Investment/GDP (ICOR sepanjang periode)dari 146 negara dalam tahun 1950-1992 dengan menggunakan asumsi bahwa ICOR itu selalu konstan. Hasil yang didapat, Easterly menemukan bahwa R2 nya negatif sebesar -0.062 pada 4883 observasi.Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa model ICOR tidak cocok untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi dan akan lebih baik jika menggunakan proyeksi rata-rata pertumbuhan secara global pada semua negara dan tahun.

Easterly ingin melihat bagaimana hasilnya jika terdapat intercept pada modelnya, karena akibat tidak ada intercept ini R2nya menjadi negative. Setelah menambakan intercept hasil yang diperoleh adalah R2 sebesar 0.003 yang artinya variasi pada Lagged Investment/GDP menjelaskan 0.3% variasi pada pertumbuhan ekonomi tahunan. Meskipun hasilnya signifikan, hasil dari ICOR yaitu sebesar 26 yang artinya financing gap yang sangat besar. Lalu Easterly mencoba meregres dalam bentuk first differences untuk menghilangkan fixed effect, tetapi hasilnya ICOR bertambah parah menjadi 277. Akhirnya, Easterly menggunakan data tahunan hanya selama 4 tahun dan periode pertama dianggap eksogen, dengan tahapan yang sama seperti penjabaran sebelumnya. Hasilnya, semua R2negatif kecuali pada model first differences, R2 akhirnya positif dan hasilnya hubungan antara perubahan pertumbuhan dan perubahan Lagged Investment adalah negatif.

Easterly kemudian melanjutkan penelitiannya dengan menggunakan sample 138 negara dengan menggunakan asumsi bahwa lagged investment tiap negara itu berbeda-beda dan tidak konstan. Jadi, meregress ICOR dengan lagged investment masing masing negara secara sendiri sendiri. Dari data yang dimiliki, ternyata hanya lima Negara yang memiliki nilai ICOR yang reasonable (diantara 2-5). Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2. Regresi GDP Growth dengan Lagged Investment/GDP

tanpa intercept, untuk masing-masing negara, 1950-1992

Kemudian tabel tiga di bawah ini menunjukkan hasil penelitian dengan menggunakan intercept pada model regresi pada masing-masing negara.

Tabel 3.3. Hasil regresi GDP Growth dengan Gross Domestic Investment/GDP

dengan intercept per Negara, 1950-1992

Hasilnya menunjukkan bahwa hanya empat negara yang menunjukkan hasil yang signifikan yaitu Israel, Liberia, Reunion (French Colony), dan Tunisia.

Setelah melihat penelitian yang telah dilakukan oleh Easterly dari mulai meneliti tentang bagaimana hubungan antara aid dan investment, kemudian melihat bagaimana hubungan antara investment (yang dalam hal ini diwakili oleh ICOR) dengan growth, maka diperoleh hasil bahwa negara yang benar-benar sesuai dengan Harrod-Domar Model adalah Tunisia. Di semua tahapan penelitian tersebut, hubungan antara financing gap (foreign investment) dengan pertumbuhan ekonomi pada Tunisia adalah positif.

Kasus Zambia hasilnya ternyata berbanding terbalik dengan Tunisia. Zambia memiliki investasi dan foreign aid dalam jumlah besar tetapi investasi tersebut dalam semua tahapan perhitungan tidak menunjukkan korelasi positif antara investasi dan foreign aid tersebut. Hal ini dikarenakan investasi lebih diperngaruhi oleh tingkat saving yang kemudian berdampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Gambar 3.1. Gap antara Harrod-Domar dan Data Actual di Zambia

Easterly juga membandingkan antara prediksi pertumbuhan per kapita dengan model Harrod-Domar dan pertumbuhan ekonomi per kapita aktual. Hasilnya ditunjukkan pada gambar 2, dimana titik yang bersinggungan dengan garis putus-putus 45° menunjukkan pertumbuhan ekonomi per kapita yang sama antara aktual dan prediksi. Terdapat sekitar 10 negara yang tepat berada di titik tersebut. Di sisi lain, negara yang diprediksi sesuai dengan model Harrod-Domar oleh Easterly yaitu Guinea-Bissau, Jamaika, Zambi, Guyana, Comoros, Mauritania, dan Zimbabwe menunjukkan prediksi yang jauh lebih besar dari aktual. Yang mengejutkan adalah negara Singapura, Thailand, dan Indonesia yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi per kapita aktual yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan prediksi model Harrod-Domar.

Gambar 3.2. Aktual versus Prediksi Pertumbuhan Ekonomiper Kapita dengan Financing Gap Model

Model pertumbuhan Harrod-Domar berdiri di belakang Financing Gap yang akan mempengaruhi kebijakan ekonomi yang diambil suatu negara dan alokasi pinjaman luar negeri.Model dan teori Harrod-Domar tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan secara empiris. Sebenarnya Institusi Internasional hanya akan menghabiskan banyak uang untuk membiayai model Harrod-Domar/Financing Gap. Ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Easterly dengan menggunakan sample lebih dari seratus negara.

3.2Studi Empiris Model Solow

Teori yang dicetuskan oleh Robert Solow tentang pertumbuhan ekonomi dimulai dengan melakukan asumsi dasar tentang neoklasikal fungsi produksi dengan decreasing returns to capital. Dimana rates of saving dan pertumbuhan populasi adalah faktor yang eksogenous. Kedua variabel itulah menentukan kondisi steady-state level of income. Karena masing-masing negara memiliki kondisi saving rate dan pertumbuhan populasi yang berbeda, maka berbeda pula tingkat steady state di negara-negera tersebut. Semakin tinggi tingkat saving, semakin kaya negara tersebut. Dan Semakin tinggi tingkat population growth, semakin miskinlah negara tersebut. Mungkin itulah kesimpulan dari Solow Growth.

Dalam paper yang berjudul “A contribution to the empirics of economic growth” mengatakan bahwa Solow secara benar telah menunjukan arah dari pengaruh tingkat saving dan population growth kepada pertumbuhan ekonomi, yang mempengaruhi tingkat income per capita. Namun lebih lanjut dia mengatakan bahwa Solow telah salah dalam menentukan magnitude yang berlebihan terhadap pengaruh kedua variabel tersebut. Maka dari itu pembuktian dari studi empiris penting dilakukan di kedua variabel tersebut, yaitusaving rate danpopulation growth (human capital).

3.2.1Saving Ratesdan Growth

Berbagai literatur mencoba mengungkapkan hubungan yang terjadi antara saving rate dan economic growth dengan 3 fokus studi : pertama, adalah dengaan mencoba mengungkapkan sumber dari pertumbuhan ekonomi dan melihat efek positif apa yang dapat ditimbulkan dari sebuah variabel eksogen bernama saving rate kepada tingkat income dan pertumbuhan. Kedua, adalah berusaha mencari faktor-faktor apa saja yang menjadi determinan bagi terciptanya saving rate yang mendukung pertumbuhan. Ketiga, adalah mencari tahu hubungan kausalitas antara saving ratedengan growth.

Baik itu Harrod-Domar Model, Teori Neoclassical economic growth (Model Solow), ataupun Teori post-neoclassical economic growth sama-sama menempatkan saving sebagai salah satu variabel yang penting. Namun tentu dengan peranan yang berbeda-beda pada setiap teorinya. Model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar menempatkan saving sebagai faktor utama bagi pembentukan economic growth. Pertumbuhan ekonomi dalam model ini tergantung pada marginal propensity to save dan capital-outut ratio-nya.

Lain halnya pada teori neoklasikal pertumbuhan ekonomi atau lebih dikenal dengan solow growth model. Solow meyakini walaupun saving menjadi faktor yang penting namun menurutnya dalam pertumbuhan ekonomi, saving rate hanyalah sebuah titik level yang tidak memiliki pengaruh di dalam ekonomi jangka panjang karena hanya bersifat temporer,. Sedangkan teori pertumbuhan ekonomipost-neoklasikal yang muncul sekitar tahun 1980-an menyatakan sebaliknya.Teori ini menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi pada saving rate akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi secara permanen, tidak hanya temporer saja. Saving rate pada teori ini menimbulkan efek positif pada investasi dan akumulasi kapital.

Studi tentang arah dan hubungan kausalitas antara saving dengan growth juga tidak kalah pentingnya. Studi-studi ini menghasilkan beberapa model yang menggambarkan korelasi-korelasi yang berbeda antara kedua variabel tersebut. Jenis model yang pertama menyatakan bahwa hampir semua growth model mensyaratkan high-saving rate bila perekonomian ingin tumbuh. Entah di jangka pendek, seperti yang Solow katakan, ataupun di jangka panjang seperti di banyak endogenous growth model. Pastinya semua sama, saving rate yang tinggi akan menciptakan economic growth yang tinggi pula.

Model jenis Kedua seperti Modigliani’s klasik[1], life-cycle model, memperlihatkan hubungan antara saving dan growth, namun dengan arah kausalitas yang berbeda. Secara singkat dalam modelnya beliau menjelaskan bahwa ketika economic growth meningkat, angka harapan hidup dari penduduk usia muda akan relative lebih tinggi. Penduduk usia muda tersebut tentu akan memiliki tingkat saving of life-time wealth yang lebih tinggi daripada yang orang tua. Akibatnya,saving rate akan naik. Sehingga model ini mengungkapkan bahwa economic growth yang terjadilah yang membentuk tingkatan saving rate di sebuah negara. Selanjutnya yang ketiga, model yang menunjukan bahwa habit/kebiasaan menjadi faktor pendorong bagaimana growth mempengaruhi saving rate (Deaton, 1992)[2].

Dari ketiga model tersebut memperlihatkan hubungan kausalitas yang berbeda. Model pertama memperlihatkan bahwa saving rate menjadi faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, sedangkan model kedua dan ketiga justru memperlihatkan hubungan yang sebaliknya, economic growth yang tinggi menyebabkan tingginya saving rate.

Studi Empiris (Life-Cycle Model)

Studi kasus empiris dilakukan di beberapa negara seperti AS, Britania Raya,Taiwan, dan Thailand. Studi yang menggunakan AnalisisLife-cycle Modelini akan menghasilkan teori pertumbuhan yang berbeda dengan yang Solow katakan. Model ini akan menjelaskan bahwa growth mendorong saving rate, bukan sebaliknya.

Hasil analisa yang dilakukan dengan life-cycle model kepada beberapa negara dengan menggunakan time-series dan cross section data level of income pada setiap rumah tangga memperlihatkan bahwa kenaikan dari tingkat pertumbuhan ekonomi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadapa saving rate secara aggregat.Di AS dan Taiwan, kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 10 persen hanya mampu mendorong kenaikan saving rate tidak lebih dari 2,5 persen. Bahkan, di negara-negara Britania dan Thailand tidak menunjukkan dampak kepada tingkat saving rate.

Analisis dengan life-cycle model memperlihatkan kepada kita pembentukan sifat dari proporsi konsumsi pada tingkat individu dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor seperti tingkat kesehatan, tingkat pendapatan, life-spans, ataupun kebutuhan konsumsi di masa depan menjadikan ini semacam life-cycle yang sistematis. Melalui life-cycle inilah yang pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi akan mendorong kenaikan saving rate.

Studi yang dilakukan Carrol and Summers (1991)[3] dan Attanasio and Davis (1994)[4] sebelumnya memperlihatkan life-cycle itulah yang menjadi motivasi bagi individual dalam menetukan saving rate-nya. Hasil ini didapatkan dengan menggunakan data borrowing constraints, konsumsi social security AS. Hasil survei data rumah tangga pada negara-negara OECD juga memperlihatkan hal yang mendukung teori life-cycle tersebut.

Model

Ci a b = fi (a) Wi b

Sebelum melihat hubungan antara rate of saving dengan growth dengan menggunakan life-cycle model, perlu kita teliti lebih dahulu mengenai kevalidan dari model tersebut. Berikut ini adalah versi simple dari life-cycle model dengan no uncertainty.

Tingkat konsumsi dari consumer i berumur a dan lahir di tahun b adalah fungsi dari life-time wealth Wib dan preference f(a). Fungsi dari fi(a) ditentukan bagaimana fixed life-time resources Wib di alokasikan untuk konsumsi sepanjang life-cycle tersebut dimana nilainya adalah konstan.

Ln (Ci a b)= Ln fi (a) + Ln (Wi b)

Dengan data panel individual yang dimiliki akan dilakukan estimasi dengan menngunakan regresi logaritma dari fungsi konsumsi (life-cycle model) dengan satu set dummy variable seperti umur, tahun lahir dan lain sebagainya. Hasil regeresi ini pada akhirnya memperlihatkan bagaimana variabel-variabel tersebut mempengaruhi pola konsumsi individual.

Tabel 3.3. National income dan survei pesonal saving di beberapa negara (sumber : National Accounts Statisttcs : Main Aggregates and Detailed Tables)


Tabel 3.4. Hasil regresi

Hasil dari analisa diatas adalah bahwa tingkat pendapatan danakonsumsi bergerak sesuai dengan teori yang diawal disimpulkan. Di semua negara, tingkat pendapatan dan konsumsi naik ketika tingkat usia muda dan meranjak turun pada tingkat umur tua. Jadi, bisa dikatakan bahwa tingkat saving rate ataupun pola konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh life-cycle yang terjadi, dalam hal ini adalah tingkat umur. Sehingga dapat kita katakan bahwa model life-cycle ini adalah valid.Kembali ke pertanyaan sebelumnya: Siapa mempengaruhi siapa?

Asumsikan bahwa growth dapat dilihat dari pergeseran profil dari fungsi income logarithm di umur a dan tahun t. Dimana fungsi h(a) mengukur efek umur dalam logarithm of income, dan term (1+g)t-a mengukur efek perumbuhan income (t-a)

ya t = eh (a) (1+g)t-a

H (a) = βa + δ1 ADULTS at + δ2 CHILDREN at

Tabel 3.3 : Estimasi efek dari growth terhadap perubahan agregate household savings rate

Dari hasil analisis diatas terlihat bahwa efek dari economic growth yang mempengaruhi aggregate saving rate sangatlah kecil. Contohnya adalah data AS menunjukan setiap perubahan 10 persen economic growth menghasilkan 0,1 sampai 1,9 persen.

Kesimpulan Studi Empiris Model Solow

Dari dua analisa yang telah dilakukan kita mendapatkan beberapa point kesimpulan:

1.Model life-cycle telah menggambarkan pergerakan antara pendapatan dan konsumsi. Kita melihat bahwa faktor-faktor yang membentuk life-cycle mempengaruhi pola konsumsi individual dan juga saving rate-nya.

2.Namun model yang diajukan oleh Magdalini ini dalam kenyataan empirisnya tidak dapat membuktikan bahwa economic growth yang terjadi bukanlah sebuah faktor yang menyusun saving rate sebuah negara. Atau dalam kata lain peningkatan economic growth tidak membuat faktor-faktor yang membentuk life-cycle seperti yang dimodelkan terjadi. Ini terlihat dari efek economic growth kepada pembentukan saving rate sangatlah kecil, nilainya, sehingga dapat kita hiraukan.

3.Kesimpulan yang terakhir adalah dengan kedua kesimpulan tersebut secara tidak langsung dapat dinyatakan bahwa dalam keadaan riilnya model yang diajukan oleh Solow, dimana saving rate adalah salah satu faktor pembentuk dari economic growth, bukan sebaliknya, adalah sesuai dengan kenyataannya.

3.2.2 Human Capital danGrowth Empirics

Modal SDM selalu dikaitkan dengan pengetahuan dan skill yang ada di dalam diri sumber daya manusia tersebut. Modal SDM mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui beberapa cara:

1)Modal SDM menjadi salah satu faktor input di dalam production function (Mankiw, Romer[5]).

Y = F (K,L)

2)Akumulasi dari human capital akan mendorong eksternalitas positif dalam perekonomian dan pada akhirnya mengarahkan kepada endogenous growth (Lukas[6]).

3)Akumulasi dari human capital juga menyebabkan terjadinya inovasi-inovasi dalam perekonomian, yang timbul dari penelitian yang berkembang. Ini terjdi karena kualitas SDM yang semakin berkembang.

4)Dari sisi investasi modal fisik, akumulasi dari human caital juga mendorong tingkat investasi ke tingkat yang lebih tinggi. Menyebabkan apa yang dinamakan ‘second order effect on growth performance’ (Spiegel, 1994[7])

Penelitian sebelumnya mengenai hal ini yang dilakukan oleh Bills and Klenow (1998)[8] memang justru memperlihatkan hubungan yang kebalikan. Penelitiannya memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat tingkat human capital yang diukur tingkat lamanya sekolah meningkat. Ini menjadi pertanyaan besar apa yang sebenarnya terjadi, apakah human capital menjadi salah satu faktor yang membangun pertumbuhan ekonomi seperti yng tersurat dalam teori Solow atau justru sebaliknya.



BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di atas kami menyimpulkan beberapa hal. Pertama, model Harrod-Domar kurang mampu menjelaskan fenomena pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, kalaupun ada praktis hanya Tunisia saja, sedangkan negara-negara lain justru menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan prediksi model Harrod-Domar ini. Kedua, model pertumbuhan Solow cukup mampu menjelaskan fenomena pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Variabel-variabel yang membangun solow growth model dalam tataran riilnya sudah cukup menggambarkan, walaupun belum sepenuhnya. Ketiga, kedua jenis model pertumbuhan ekonomi kurang powerful untuk menjelaskan fenomena pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia. Masing-masing model memiliki kelemahannya dan tampaknya apakah diperlukan metode lainnya dalam mengukur kemajuan ekonomi sebuah negara. Keempat, perbedaan signifikan antara model Harrod-Domar dan Solow adalah Model Harrod-Domar hanya memasukkan kapital sebagai faktor pertumbuhan ekonomi, sedangkan Model Solow memasukkan kapital dan juga tenaga kerja.



BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Attanasio. Orazio and Steven Davis. (1994). Relative wage movements and the distribution of consumption. Working paper no. 4771 (NBER, Cambridge, MA).

Benhabib, J. and M. M. Spiegel (1994). The role of human capital in economic development: Evidence from aggregate cross-country data. Journal of Monetary Economics, 34, pp. 143-173.

Bils, Mark, and Peter J. Klenow (1998). Does Schooling Cause Growth or the Other Way Around?. NBER Working Paper No. 6393

Carroll, Christopher and Lawrence H. Summers. (1991). Consumption growth parallels income growth: Some new evidence, in: B. Douglas Bernheim and John B. Shoven, eds., National saving and economic performance (Chicago University Press for NBER, Chicago, IL) 305-343.

Deaton, Angus. (1992). Understanding consumption (Oxford University Press, Oxford).

Deaton, Angus and Christina H. Paxson. (1994). Saving, growth and aging in Taiwan. In: D. Wise, ed.,

Easterly, William. (1997). The Ghost of Financing Gap: How the Harrod-DomarGrowth Model Still Haunts Development Economics, Policy  ResearchWorking Paper World Bank.

Harrod, J.F. (1959). Domar and Dynamic Economics, The Economic Journal, Vol.69, No. 275 (Sep., 1959), p. 451-464.

Kumar, S. Chandra. (2006). Human capital and growth empirics. The Journal of Developing Areas, Vol. 40 No.1, pp 153-179

Lucas R. E. (1988). On The Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22, 3-42.

Mankiw, N. G., D. Romer and D. N. Weil (1992). A contribution to the empirics of economic growth. Quarterly Journal of Economics, 107,407 -437.

Modigliani, France. (1970). The life-cycle hypothesis of saving and intercountry differences in the saving ratio. in: W.A. Eltis, M. FG. Scott and J.N. Wolfe, eds., Induction, trade, and growth: Essays in honour of Sir Roy Harrod (Clarendon Press, Oxford) 197-225.

Paxson, Christina. (1996). Saving and growth: Evidence from micro data. European Economic Review 40, p 255-288

Scrath, William M. (1996). Macroeconomics an Introduction to Advanced Methodssecond edition. Canada:Dryden.

Website:

http://www2.econ.iastate.edu/classes/econ302/alexander/Spring2006/SOLOW/SOLOWGROWTHMODEL.htm. (Diakses: 7 Mei 2011)

elearning.gunadarma.ac.id/.../ekonomi.../bab_3_teori_pertumbuhan_dan_pembangunan_ekonomi.pdf. (Diakses: 7 Mei 2011)

http://www.fgn.unisg.ch/eurmacro/tutor/Solow.html

[1]Modigliani, France, 1970, The life-cycle hypothesis of saving and intercountry differences in the saving ratio, in: W.A. Eltis, M. FG. Scott and J.N. Wolfe, eds., Induction, trade, and growth:

Essays in honour of Sir Roy Harrod (Clarendon Press, Oxford) 197-225.

[2]Deaton, Angus, 1992, Understanding consumption (Oxford University Press, Oxford).

[3]Carroll, Christopher and Lawrence H. Summers. 1991, Consumption growth parallels income growth: Some new evidence, in: B. Douglas Bernheim and John B. Shoven, eds., National saving and economic performance (Chicago University Press for NBER, Chicago, IL) 305-343.

[4]Attanasio. Orazio and Steven Davis, 1994, Relative wage movements and the distribution of consumption, Working paper no. 4771 (NBER, Cambridge, MA).

[5]Mankiw, N. G., D. Romer and D. N. Weil (1992). A contribution to the empirics of economic growth. Quarterly Journal of Economics, 107,407 -437.

[6]Lucas R. E. (1988) . on the mechanics of economic development. Journal of Monetary Economics, 22, 3-42.

[7]Benhabib, J. and M. M. Spiegel (1994). The role of human capital in economic development: Evidence from aggregate cross-country data. Journal of Monetary Economics, 34, pp. 143-173.

[8]Bils, Mark, and Peter J. Klenow (1998). Does Schooling Cause Growth or the Other Way Around?. NBER Working Paper No. 6393

LAMPIRAN

Model solow[1]:

Dimulai dengan asumsi Constant Returns to Scale (CRTS) maka fungsi produksinya adalah:

Y = f (K,L)

Jika terjadi penambahan sebesar “z” faktor pada input, asumsi CRTS berdampak pada peningkatan/perubahan output menjadi:

zY  = f ( zK, zL)

pada kasus ini kita asumsikan z = 1/L yang berarti:

Y * 1/L = f (K * 1/L, L * 1/L)

atau

Y/L = f (K/L, 1)

Jika y = Y/L dan k = K/L, sekarang kita dapatkan fungsi produksi yang baru, yaitu:

y = f (k),

dimana:

y = output per pekerja

k = kapital per pekerja.

Secara grafis dapat kita gambarkan sebagai berikut:

Sekarang mari kita lihat persamaan permintaan terhadap barang. Persamaan permintaan terhadap barang terdiri dari konsumsi (c) dan investasi (i):

y = c + i,

dimana y = Y/L; c = C/L; dan i = I/L.

Investasi seperti biasa akan menabah jumlah cadangan modal (capital stock). Fungsi konsumsi pada model ini dapat dituliskan menjadi:

c = (1 – s) Y, “s” adalah tingkat tabungan (savings rate); 0 < s < 1.

Sekarang kita mendapatkan persamaanya menjadi:

y = (1 – s) y + i

y = y – sy + i

y – y – sy = i

-sy = i:

Persamaan di atas menunjukkan bahwa tingkat tabungan (savings) sama dengan tingkat investasi(investment).

Sekarang mari kita lihat pengaruh investasi terhadap cadangan modal. Investasi itu sendiri diciptakan melalui tabungan sehingga kita dapatkan persamaan:

i = sy = s f(k),

persamaan di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat output maka semakin tinggi pula jumlah invetasi yang dibutuhkan. Secara grafis dapat kita gambarkan:

Diasumsikan bahwa cadangan modal dikonsumsi setiap periode. Depresiasi akan mengurangi cadangan modal. Tingkat depresiasi ditunjukkan dengan simbol d sehingga jumlah cadangan modal yang digunakan pada setiap periodenya adalah d*k. Secara grafis dapat digambarkan:

Sekarang kita lanjut melihat dampak investasi dan depresiasi terhadap cadangan modal. Hubungan tersebut dapat dirumuskan menjadi:

Dk = i – dk,

Dk =s* f(k) – dk.

Diasumsikan berada pada level steady state level of capital stock (Dk = 0)[2]. Secara grafis:

Jika k < k* , lalu i > dk , jadi k increases towards k*

Jika k > k* ,lalu i <dk , jadi k decreases towards k*

Ketika perekonomian mencapai level k*, cadangan modal tidak akan berubah.

Sekarang kita menuju asumsi Golden Rule level of capital accumulation.[3]Idea dasar dari Golden rule adalah ketika Pemerintah ingin memindahkan perekonomian kepada level steady state yang baru, maka kemanakah perekonomian tersebut akan bergerak? Jawabannya adalah steady statedimana konsumsi pada titik maksimum.Untuk mencapai titik tersebut, Pemerintah harus merubah tingkat tabungan.

y = c + i,

c = y – i

c = f(k) – s f(k)

steady state, sehingga

c = f(k) – dk. Persamaan ini menunjukkan bahwa untuk mencapai titik konsumsi yang maksimum maka kita harus mencari perbedaan terbesar antara tingkat output dan depresiasi. Maksimisasi c = f(k) – dk, maka derivasi pertama sama dengan 0 (nol):

Karena kita mencari incremental changes k, dk = 1, maka the marginal product of capital harus sama dengan the rate of depreciation: MPK =d.

Jika Terjadi Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan pada angkatan kerja disimbolkan dengan “n”. Dampak dari pertumbuhan ini adalah terjadi penurunan pada, k = K/L turun (akibat kenaikan L) dan y = Y/L juga turun (juga disebabkan karena kenaikan L).

Secara matematis kita notasikan:

Dk = s*f(k) – d*k – n*k,

Ketika n*k merepresentasikan penurunan cadangan modal per tenaga kerja dari setiap penambahan tenaga kerja. Kini kita dapatkan kondisi steady statemenjadi

s*f(k) = (d+n) * k:

Pada kondisi steady state, jika tidak ada perubahan pada k maka tak ada perbuhana pula pada y. hal ini menunjukkan bahwa output per pekerja dan kapital per pekerja adalah konstan.

Jika Terjadi Peningkatan Teknologi

Dalam model kali ini, diasumsikan bahwa kemajuan teknologi karena peningkatan efisiensi tenaga kerja. Dampaknya adalah para pekerja mampu memroduksi lebih banyak output dibandingkan periode sebelumnya.

Y = f (K, L*E)

E menunjukkan tingkat efisiensi tenaga kerja. E tumbuh pada level “g”. Dengan tetap menggunakan asumsi CRTS, fungsi produksi yang baru adalah:

y = Y / L*E

y = f ( K/L*E , L/L*E )

y = f (k), dimana k = K/L*E

sekarang kita lihat output per efficiency unit of labordan capital per efficiency unit of labor.

karena k = K/L*E, maka perubahan k di setiap periode adalah:

Kondisi steady statedimodifikasi untuk merefleksikan kemajuan teknologi:

Dk = s*f(k) – (d+g+n)*k,

steady state(Dk = 0), maka

s*f(k) =  (d+g+n)*k.

pada steady state, y dan k adalah konstan.

Golden Rule level of capital accumulation:

,

Persamaan di atas menunjukkan bahwa selisih antara marginal product of capitaldengan depresiasi harus setara dengan jumlah populasi dan kemajuan teknologi.

Contoh:

Y = K1/3(LE)2/3

with s = .25, n = .01, d=.1, and g = .015

fungsi produksi dengan asumsi CRTS:

steady state, Δk = 0, sehingga

s*f(k) = (d+n+g) k

s/ (d+n+g) = k / f(k), karena f(k) = k1/3:

Dengan nilai k*, maka

y* = (k*)1/3 = 1.41, dan

c* = y* - s y* = 1.06.

untuk mencari Golden Rule level of capital accumulation,

MPK =(d+n+g).

karena Y = K1/3(LE)2/3maka

Karena pada Golden Rule MPKharus sama dengan (d+n+g),

Karena k** = 4.35, maka

y** = k1/3 = 1.63

c** = y** - .125k** = 1.088

s** = 1 – (c**/y**) = .333

secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut:

Untuk simulasi dapat dicoba melalui website:

http://www.fgn.unisg.ch/eurmacro/tutor/Solow.html

[1]Sumber : http://www2.econ.iastate.edu/classes/econ302/alexander/Spring2006/SOLOW/SOLOWGROWTHMODEL.htm

[2]Steady state level of capital stock adalah cadangan modal dimana investasi dan depresiasi saling menegasikan (offset) satu sama lain.

[3]Goldel rule level of capital accumulation adalah steady state dengan level konsumsi yang tertinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun