Ada suasana yang tak biasa, kala itu sebetulnya presiden sedang tidak memiliki agenda khusus untuk konferensi pers, apalagi mengenai virus yang sedang merebak di seluruh dunia. Namun secara mengejutkan, Presiden Jokowi bersama Menteri Kesehatan unjuk di kamera. Para wartawan belum tahu apa sebetulnya yang ingin presiden sampaikan. Tidak lama setelah membuka dengan salam, presiden ternyata langsung membahas soal Covid-19.
Tidak lama berselang beliau menyampaikan, bahwa ada seorang warga negara Jepang yang dinyatakan positif Covid-19 setelah meninggalkan Indonesia. Dari informasi itulah lanjutnya, sehingga pihak terkait menelusuri  dengan siapakah dia berinteraksi selama tinggal di Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran, ternyata dia berinteraksi dengan ibu dan anaknya, yang kemudian kedua orang itulah yang pertama kali diumumkan oleh presiden positif Covid-19.
Tentu saja ini sangat mengejutkan publik. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum presiden mengumumkan 2 orang positif Covid-19, ada sebagian  pejabat negara dengan percaya dirinya menyatakan seolah Indonesia kebal dengan Covid-19. Banyak pernyatan-pernyataan nyeleneh yang tak semestinya terucap dari seorang pejabat negara.
Ya, pemandangan itu sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Sudah sering kita dengar dari berbagai media mengenai celotehan-celotehan para pejabat negara. Entahlah apa yang menyebabkan mereka semua seperti itu. Bisa jadi hanya sekedar humor. Mungkin kita saja yang menanggapinya terlalu serius. Mungkin. Karena katanya, para pejabat selalu serius dalam menjalankan aktiviyasnya.
Tapi biarlah, angin itu sudah berlalu. Ahli Epidemologi dari Hardvard  TH Chan Scholl of Public,  March Lipstik, sepertinya senyum sinis jika mendengar pernyataan presiden. Bisa jadi mungkin dia berkata, "Apa gw bilang!" "Indonesia melaporkan nol kasus, tapi sebenarnya sudah ada beberapa kasus yang tak terdeteksi," ujarnya yang dikutip dari beberapa media.
Rakyat mulai gelisah. Melihat kasus Covid-19 di beberapa negara sungguh mengerikan, terutama di negara asalnya. Beredar dibeberapa sosmed sebuah video seseorang yang tiba-tiba mati mendadak di tempat umum, diduga kuat karena Covid-19. Diperparah lagi dengan jumlah korban meninggal hingga ribuan orang dalam waktu singkat. Ini sungguh-sungguh mengerikan.
Kini wabah itu sudah benar-benar hadir diantara kita. Apa yang ditakurkan selama ini ternyata benar-benar terjadi. Sebelumnya mungkin kita hanya melihat di layar kaca, beberapa petugas medis menggunakan seragam yang tak ladzim dipandang mata. Seperti para astronot yang siap meluncur ke bulan. Pakaian putih-putih yang serba tertutup. Hanya mata saja yang nampak terlihat.
Mula-mula di wilayah sekitar ibu kota, sekarang sudah mulai menjalar ke daerah-daerah, tersebar hampir ke seluruh provinsi. Begitu cepat melintasi ruang dan waktu. Terbawa arah pergerakan manusia kemana ia pergi. Tak melihat strata sosial atau yang lainya, ia bisa menempel disetiap permukaan, kulit, benda mati, benda hidup, makanan, dan sebagainya.
Melihat perkembangan wabah tersebut tentu pemerintah tidak diam. Sejak awal pihak-pihak terkait sudah mulai mempersiapkan segala hal untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 yang sangat cepat penyebaranya. Presiden sudah mempersiapkan 100 rumah sakit dengan ruang isolasi yang sudah berstandar. Tim dari TNI/Polri pun dipersiapkan untuk membantu menangani Covid-19, termasuk anggaran.
Namun rupanya itu saja tidak cukup. Diberbagai negara yang mereka persiapkan bukan hanya sekedar rumah sakit dan perangkatnya. Tetapi juga kebijakan preventif yang sering kita dengar dengan istilah Lockdown. Pintu keluar-masuk kota ditutup, bandara ditutup, pelabuhan ditutup, angkutan umum dilarang beroperasi, tempat-tempat umum, sekolah, kantor juga ditutup.Â
Tidak boleh ada aktivitas diluar rumah kecuali benar-benar urgent. Kota benar-benar seperti tidak ada penghuni, sepi dan hening. Hanya langit yang terlihat senyum dan cerah. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat kusam dan pekat.
Di Indonesia sendiri istilah Lockdown memang tidak ada. Pakar hukum tata Negara yang sekaligus Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan bahwa konsep Lockdown tidak ada di Indonesia, yang ada hanyalah karantina wilayah yang tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2018.
Di Jakarta sendiri, dalam rangka membatasi pergerakan orang, mulai dari tanggal 16 Maret 2020 yang lalu Gubernur DKI meliburkan aktivitas sekolah. Bukan hanya itu, seluruh angkutan umum yang beroperasi di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk transjakarta dibatasi layanan rute dan waktunya. Namun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, justru terjadi penumpukan penumpang yang membuat peluang penyebaran Covid-19 semakin tinggi. Jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 saat itu masih sedikit, hanya 117, per tanggal 16 Maret 2020.Â
Tidak ada yang salah memang dari kebijakan itu, hanya saja kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan disektor  lainya. Perkantoran misalnya, pusat perbelanjaan, toko-toko, pasar-pasar, layanan jasa masih berjalan seperti biasa. Bukan hal yang mudah memang untuk mengeluarkan kebijakan sebagai mana di negara-negara lain yang menutup semua aktivitas. Dibutuhkan pertimbangan yang matang, dan itu hanya pemerintah pusat yang berwenang.
Dua minggu berselang setelah kebijakan DKI Jakarta, pemerintah baru unjuk taring dengan menetapkan PP no 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Bisa dikatakan inilah senjata pemerintah untuk melawan Covid-19. Kebijakan itulah gambaran dari kepribadian para pejabat kita, penuangan dari fikiran dan hati mereka untuk rakyat Indonesia. Dari situ kita juga bisa melihat kemana arah keberpihakan pemerintah.
Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB merupakan pembatasan kekegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pembatasan kegiatan tersebut melibuti berbagai bidang, mulai dari pendidikan, ekonomi, dan sosial keagamaan.
Dalam prakteknya, PSBB dirasa sungguh tidak efektif. Semenjak dikeluarkanya PP no 21 tahun 2020, lonjakan pasien yang terkonfirmasi positif terus mengalami kenaikan. Data per 31 Maret hingga 20 April yang terkonfirmasi positif sebanyak 5232 orang. Artinya data yang positif justru lebih besar dibandingkan sebelum diterbitkanya PP mengenai PSBB.Â
Penyebaran yang sangat luar biasa cepat. Memang hampir dari setengahnya adalah ada di DKI Jakarta, setengahnya lagi tersebar ke berbagai daerah. Â Penyebaran ke berbagai daerah di luar DKI Jakarta dengan cepat karena tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk menutup akses keluar-masuk DKI Jakarta.Â
Ketidak efektifan PSBB tersebut diakibatkan oleh berbagai factor, diantaranya adalah masih banyaknya perusahaan yang wajib tutup ternyata tidak tutup semenjak PSBB diberlakukan. Hal tersebut tentu berdampak kepada masih tingginya pengguna transportasi umum, seperti KRL. Masih tingginya pengguna KRL diakibatkan karena masih adanya  perusahaan yang mewajibkan pekerjanya untuk tetap masuk selama PSBB. Di KRL itulah terjadi penumpukan penduduk yang sangat rentang terpapar Covid-19. Tentu ini tidak selaras.
Oleh karenanya banyak pihak yang menuding bahwa KRL lah yang merupakan menjadi sumber penyebaran Covid-19 yang paling tinggi. Beberapa kepala daerah sudah mengusulkan untuk menutup operasional KRL Jabodetabek, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Direktur Jenderal Perkeretapian Kementrian Perhubungan, menegaskan hanya akan melakukan pembatasan, bukan disetop total. Hal tersebut senada dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya oleh Menteri Perhubungan, Luhut Binsar Pandjaitan.
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa pemerintah lebih memilih PSBB, padahal diluar dari itu ada langkah lain yang dirasa lebih efektif, yaitu karantina wilayah yang juga tertuang dalam UU no 21 Tahun 2018. Tentu ada perbedaan yang kontras antara PSBB dengan karantina wilayah. Karantina wilayah memiliki tingkat efisensi yang cukup untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 dibanding PSBB. Pada pasal 54 UU no  6 Tahun 2018 dijelaskan bahwa masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina dan dijaga terus menerus oleh pihak yang berwenang.
Ada pertimbangan lain mungkin yang menjadi alasan pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan karantina wilayah, diantara terdapat pada pasal 55 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar orang, bahkan termasuk makanan hewan ternak. Jika memang demikian alasanya sungguh sangat disayangkan. Keberpihakan pemerintah terhadap rakyat dipertanyakan.
Rakyat kecil justru yang semakin terjepit. Mereka dihimbau untuk tidak keluar rumah sedangkan kebutuhan dasar tidak ada yang mencukupi. Wajar saja ketika masih banyak masyarakat yang nekad keluar rumah untuk mencari nafkah, karena mereka memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.Â
Mereka tahu bahayanya Covid-19, tetapi mereka juga lebih tahu bahayanya ketika tidak mencari nafkah. Ada ketidak adilan yang terlihat ketika para karyawan tetap masuk kerja. Apakah karena mereka dibawah perlindungan para kapitalis? Sehingga tak ada yang berani menyentuh untuk menghentikanya sementara waktu? Pemerintah lebih resah rupanya memikirkan dampak ekonomi dibanding kematian rakyatnya.
Rasanya iri ketika mendengar Presiden Ghana yang mengatakan bahwa "Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati,".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI