Di Indonesia sendiri istilah Lockdown memang tidak ada. Pakar hukum tata Negara yang sekaligus Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan bahwa konsep Lockdown tidak ada di Indonesia, yang ada hanyalah karantina wilayah yang tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2018.
Di Jakarta sendiri, dalam rangka membatasi pergerakan orang, mulai dari tanggal 16 Maret 2020 yang lalu Gubernur DKI meliburkan aktivitas sekolah. Bukan hanya itu, seluruh angkutan umum yang beroperasi di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk transjakarta dibatasi layanan rute dan waktunya. Namun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, justru terjadi penumpukan penumpang yang membuat peluang penyebaran Covid-19 semakin tinggi. Jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 saat itu masih sedikit, hanya 117, per tanggal 16 Maret 2020.Â
Tidak ada yang salah memang dari kebijakan itu, hanya saja kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan disektor  lainya. Perkantoran misalnya, pusat perbelanjaan, toko-toko, pasar-pasar, layanan jasa masih berjalan seperti biasa. Bukan hal yang mudah memang untuk mengeluarkan kebijakan sebagai mana di negara-negara lain yang menutup semua aktivitas. Dibutuhkan pertimbangan yang matang, dan itu hanya pemerintah pusat yang berwenang.
Dua minggu berselang setelah kebijakan DKI Jakarta, pemerintah baru unjuk taring dengan menetapkan PP no 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Bisa dikatakan inilah senjata pemerintah untuk melawan Covid-19. Kebijakan itulah gambaran dari kepribadian para pejabat kita, penuangan dari fikiran dan hati mereka untuk rakyat Indonesia. Dari situ kita juga bisa melihat kemana arah keberpihakan pemerintah.
Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB merupakan pembatasan kekegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pembatasan kegiatan tersebut melibuti berbagai bidang, mulai dari pendidikan, ekonomi, dan sosial keagamaan.
Dalam prakteknya, PSBB dirasa sungguh tidak efektif. Semenjak dikeluarkanya PP no 21 tahun 2020, lonjakan pasien yang terkonfirmasi positif terus mengalami kenaikan. Data per 31 Maret hingga 20 April yang terkonfirmasi positif sebanyak 5232 orang. Artinya data yang positif justru lebih besar dibandingkan sebelum diterbitkanya PP mengenai PSBB.Â
Penyebaran yang sangat luar biasa cepat. Memang hampir dari setengahnya adalah ada di DKI Jakarta, setengahnya lagi tersebar ke berbagai daerah. Â Penyebaran ke berbagai daerah di luar DKI Jakarta dengan cepat karena tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk menutup akses keluar-masuk DKI Jakarta.Â
Ketidak efektifan PSBB tersebut diakibatkan oleh berbagai factor, diantaranya adalah masih banyaknya perusahaan yang wajib tutup ternyata tidak tutup semenjak PSBB diberlakukan. Hal tersebut tentu berdampak kepada masih tingginya pengguna transportasi umum, seperti KRL. Masih tingginya pengguna KRL diakibatkan karena masih adanya  perusahaan yang mewajibkan pekerjanya untuk tetap masuk selama PSBB. Di KRL itulah terjadi penumpukan penduduk yang sangat rentang terpapar Covid-19. Tentu ini tidak selaras.
Oleh karenanya banyak pihak yang menuding bahwa KRL lah yang merupakan menjadi sumber penyebaran Covid-19 yang paling tinggi. Beberapa kepala daerah sudah mengusulkan untuk menutup operasional KRL Jabodetabek, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Direktur Jenderal Perkeretapian Kementrian Perhubungan, menegaskan hanya akan melakukan pembatasan, bukan disetop total. Hal tersebut senada dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya oleh Menteri Perhubungan, Luhut Binsar Pandjaitan.
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa pemerintah lebih memilih PSBB, padahal diluar dari itu ada langkah lain yang dirasa lebih efektif, yaitu karantina wilayah yang juga tertuang dalam UU no 21 Tahun 2018. Tentu ada perbedaan yang kontras antara PSBB dengan karantina wilayah. Karantina wilayah memiliki tingkat efisensi yang cukup untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 dibanding PSBB. Pada pasal 54 UU no  6 Tahun 2018 dijelaskan bahwa masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina dan dijaga terus menerus oleh pihak yang berwenang.
Ada pertimbangan lain mungkin yang menjadi alasan pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan karantina wilayah, diantara terdapat pada pasal 55 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar orang, bahkan termasuk makanan hewan ternak. Jika memang demikian alasanya sungguh sangat disayangkan. Keberpihakan pemerintah terhadap rakyat dipertanyakan.