Aktor rasisme terbagi atas pelaku dan korban. Sementara, belum ada resep jitu yang secara konkret dicetuskan oleh individu maupun kelompok (organisasi) dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Termasuk pengaturan tentang penghapusan diskriminasi ras belum sepenuhya menjawab. Sehingga, bentrokan antar aktor acapkali terjadi. Namun, dalam konteks ini, kekuatan antar aktor tidak selalu seimbang dan cenderung timpang. Korban kerap berada dalam keadaan tersudut, sementara pelaku memiliki persepsi dilematis yang dijadikan sebagai pembenaran. Oleh karenanya, konflik diskriminasi ras termasuk ke dalam jenis konflik asimeteris.Â
Aktor yang menyadari bahwa posisi yang dimilikinya rentan, berupaya untuk mempertahankan, atau justru memperluas pengaruh. Kendati demikian, di satu sisi, aktor lain juga turut memperjuangkan kepentingan yang dipunya sebagai bentuk perlawanan. Pelaku yang mengkhawatirkan adanya bentuk solidaritas atas nama identitas, menyiasati gagasan mengenai diskriminasi ras. Hal tersebut berangkat dari ketidaktahuan dan kecurigaan yang terbangun antar kubu, sehingga aktor akan mempertimbangkan 'shadow of the future'.
Jika merujuk pada kapabilitas material, nampak bahwa terdapat. Sementara, indikator terbentuknya kekuatan dimanifestasikan ke dalam teori milik Alfin Toffler yang mengatakan bahwa kekuatan dibangun atas tiga hal; mind, money, muscle.
Guna melanggengkan posisinya, pelaku rasis jelas memiliki ketiga faktor yang dibutuhkan. Dalam konteks sentimen anti-Cina, terlihat bahwa pelaku rasis memiliki dasar argumen yang baku dalam mengidentifikasi kaum Tionghoa sebagai kaum yang minor. Kecenderungan tersebut menjadi respons bagi pelaku yang mengidentifikasi dirinya sebagai korban. Selanjutnya, basis sumber daya yang dimiliki pelaku rasis nampak pada kepemilikan atas tanah dan bangunan. Amerika sebagai tuan rumah, memiliki kapasitas untuk berkehendak atas imigran Cina yang bertolak ke Amerika. Kekuatan Amerika semakin absolut dengan pepatnya jumlah massa. Massa tersebut didorong atas keseragaman persepsi yang didukung dengan modal yang cukup. Sehingga, rasisme dengan lekas meluas dan diterima sebagai ide.
Penutup
Rasisme adalah cara mendelegasikan kepada orang lain rasa jijik yang kita miliki tentang diri kita sendiri. Begitu tulis seorang penyair dan penulis berkebangsaan Prancis, Robert Sabatier.
Ungkapan tersebut secara implisit menjelaskan ketidakmampuan manusia dalam mengkategorikan dirinya sebagai bagian dari manusia lain. Sehingga, ketika manusia gagal dalam memahami dirinya, di saat itu pula manusia merasa bahwa dirinya berada diatas manusia lain.Â
Untuk menjelaskan adanya kekosongan dalam memahami bagaimana identitas tercetak, rasisme layak dikupas dengan perspektif realisme. Sebab, faktor yang mempengaruhi gagalnya manusia dalam memahami dirinya dapat dilihat dari adanya ketiadaan jaminan dalam mempertahankan rasa aman, kecenderungan untuk terlibat dalam konflik, serta ketidakpuasan terhadap pencapaian.Â
Sehingga, dapat ditarik benang merah bahwa rasisme, sekalipun ide usang, tetapi masih laku diperdagangkan karena tak membutuhkan banyak ongkos dan tetap menguntungkan, meskipun memakan korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H