Mohon tunggu...
Muhammad Dzaky Fauzi
Muhammad Dzaky Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Berminat pada sastra, politik, sejarah, sedikitnya kucing, juga nasinya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rasisme dalam Perspektif Realisme

5 Juni 2023   10:06 Diperbarui: 5 Juni 2023   10:32 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Rasisme atau diskriminasi ras sampai sekarang masih menjadi topik yang sering dibicarakan di berbagai belahan dunia. Rasisme dijadikan sebagai alat politik untuk tidak mentoleransi perbedaan dan menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat. Rasisme adalah perbedaan perilaku berdasarkan ras, etnis, dan warna kulit yang membatasi hak-hak dan kebebasan seseorang. Pandangan ini didasari oleh keyakinan bahwa manusia dibedakan berdasarkan ciri biologis seperti "ras". Pendapat ini juga meyakini bahwa suatu ras memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada ras yang lainnya dan memiliki perbedaan kecerdasan, kepribadian, atau cara berperilaku. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Pasal 1 mengenai Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 

Sementara di forum internasional, upaya untuk menjaring kesepahaman antar negara terkait ras disepakati lewat International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD). Tingginya intensi terhadap penghapus diskriminasi ras menunjukkan bahwa hal tersebut sudah melanggar hak asasi manusia dan akan menyebabkan perlakuan buruk atau penyiksaan.

Diskriminasi terhadap ras ini berdampak buruk terhadap orang yang terdiskriminasi. Banyak peristiwa kelam yang terjadi akibat dari adanya rasisme, seperti pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi. Selain itu, rasisme juga sering berakibat terhadap perlakuan buruk dan penyiksaan, menyebabkan konflik terbuka, dan menimbulkan ketimpangan akses pekerjaan, pendidikan, atau kesempatan lainnya. Tidak dapat dipungkiri isu rasisme ini sudah mengakar dan sulit dihapuskan dalam seluruh lapisan masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sulitnya rasisme dihapuskan dalam masyarakat.

Mengapa rasisme sulit dihapuskan?

Seperti yang kita ketahui, isu rasisme menjalar dalam seluruh lapisan masyarakat. Namun, rasisme harus dihapuskan karena rasisme banyak membawa dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rasisme sulit diberantas. Diantaranya karena rasisme sudah mengakar dan mempunyai keterkaitan dengan sejarah, budaya, dan struktur sosial yang sudah terbentuk, seperti aspek sejarah, budaya, dan prasangka atau stereotip.

Faktor pertama yang mempengaruhi mengapa rasisme sulit dihapus adalah karena rasisme merupakan warisan dari sejarah, yaitu pewarisan sejarah yang sudah lama dimana sistem hierarki dan rasial sudah ditanamkan selama berabad-abad. Stereotip dan pandangan tersebut masih mempengaruhi cara berfikir masyarakat hingga saat ini.

Selain itu, rasisme juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan identitas. Nilai-nilai dan keyakinan yang dipelajari seseorang dalam keluarga, kelompok sosial, atau lingkungan sangat mempengaruhi pandangan rasial seseorang. Pemahaman identitas dan perubahan budaya ini memerlukan waktu yang lama dan upaya yang berkelanjutan untuk melawan rasisme. 

Kekuasaan dan privilese adalah salah satu faktor dari sulitnya rasisme dihapuskan karena rasisme merupakan hal yang saling terkait dengan distribusi kekuasaan yang tidak merata dalam masyarakat. Kelompok yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang dominan akan menindas kelompok yang memiliki kekuatan kecil berdasarkan ras untuk mempertahankan posisi mereka. Mengatasi dan membongkar masalah ini merupakan tantangan dan hal yang kontroversial.

Kemudian, prasangka dan stereotip juga merupakan salah satu hal yang memperkuat rasisme. Dengan adanya stereotip, masyarakat yang memiliki prasangka negatif terhadap ras lain akan menyebabkan perlakuan diskriminatif dan sikap yang tidak adil. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi stereotip negatif terhadap ras lain adalah dengan melakukan dialog dan memiliki kesadaran yang kuat.

Menghapus rasisme harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Kesadaran individu satu sama lain, pendidikan, legislasi anti-diskriminasi, pengutamaan keadilan rasial, inklusi sosial, dan dialog antar budaya adalah beberapa langkah untuk mengurangi atau menghapus rasisme. Namun, langkah tersebut memerlukan partisipasi aktif dari setiap individu, komunitas, dan lembaga-lembaga untuk mewujudkan perubahan yang signifikan.

Studi Kasus

Rasisme barangkali dapat dikategorikan sebagai barang kuno. Sebagai entitas. rasisme termasuk peninggalan tak benda yang, alih-alih disimpan di museum, justru terawat baik sebagai acuan moral. Pandangan tersebut berangkat dari adanya superioritas dan chauvinisme.

Dalam praktiknya, rasisme tak hanya berputar pada persoalan warna kulit, tetapi juga kondisi fisik secara keseluruhan. Pada awal tahun 2020 misalnya, ketika wabah covid-19 merebak, gerakan Asian Hate mulai menjalar di Amerika sebagai tudingan atas muasal tumbuhnya virus. Menurut laporan Stop AAPI Hate yang dilakukan pada 19 Maret 2020 hingga 28 Februari 2021, tercatat 3.795 laporan mengenai insiden hate crime. Angka tersebut hanya mewakilkan sedikit dari banyaknya kasus yang tak terungkap. Adapun bentuk kejahatan yang dilakukan cenderung variatif, seperti pelecehan verbal, pengucilan, serangan fisik, pelanggaran hak sipil (penolakan layanan tertentu dan diskriminasi di tempat kerja), sampai pelecehan online.

Rupanya, jika ditarik sejarah, kebencian atas Asia di Amerika telah berlangsung lama. Bahkan, kebencian terhadap Asia di masa silam tak hanya  terjadi di Amerika, tetapi juga di Eropa. Pada tahun 1700-an, ketika terjadi cacar, para dokter Cina memetakan penyebaran virus, serta pola dan penentu kondisi kesehatan pada para korban. Namun, selang beberapa tahun, Prancis mengklaimnya dan menunjukan bahwa penemuan tersebut merupakan bukti keunggulan Eropa pada masa itu. Sehingga, dengan menguatnya persepsi tersebut, secara bersamaan menimbulkan anggapan bahwa Cina merupakan ras kotor dan pembawa penyakit mematikan. 

Tragedi berlanjut pada tahun 1870-an. Banyaknya pendatang dari Cina yang diupah murah ke Amerika setelah Depresi Panjang membuat pekerja Amerika menyalahkan industrialis. Bahkan, di saat itu, mulai bermunculan serikat pekerja anti-Cina seperti Knights of Labor.

Sentimen anti-Cina meningkat pada tahun 1880-an setelah kongres mengesahkan Undang-Undang Pengecualian Cina. Insiden demi insiden meletus. Diantara yang cukup menonjol yakni Pembantaian September 1885 terhadap 28 penambang Cina di Rock Spring serta Kerusuhan Tacoma 1885. Akibat diberlakukannya UU tersebut, populasi Cina di California menurun sebesar 37%.

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa rasisme adalah warisan yang tidak untuk diwariskan. Sejarah mengenai kebencian terhadap Cina di Amerika hanyalah potret kecil dari budaya rasis yang berhasil terwaris. 

Rasisme dalam perspektif Realisme

Rasisme semula dijelaskan dekat dengan perebutan kekuatan dan kekuasaan. Untuk menjelaskan lapisan terdalam dari proses terbentuknya rasisme, dibutuhkan pisau bedah dalam menganalisis gejala mengenai hubungan antar aktor, motif, dan hubungan yang mengikat diantara keduanya. Cakupan pendekatan akan dikerucutkan dalam perspektif realisme.

Realisme sebagai teori memiliki tiga asumsi dasar, yaitu aktor bersifat rasional di tengah tatanan yang anarkis, konfliktual, dan kapabilitas material.

Aktor rasisme terbagi atas pelaku dan korban. Sementara, belum ada resep jitu yang secara konkret dicetuskan oleh individu maupun kelompok (organisasi) dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Termasuk pengaturan tentang penghapusan diskriminasi ras belum sepenuhya menjawab. Sehingga, bentrokan antar aktor acapkali terjadi. Namun, dalam konteks ini, kekuatan antar aktor tidak selalu seimbang dan cenderung timpang. Korban kerap berada dalam keadaan tersudut, sementara pelaku memiliki persepsi dilematis yang dijadikan sebagai pembenaran. Oleh karenanya, konflik diskriminasi ras termasuk ke dalam jenis konflik asimeteris. 

Aktor yang menyadari bahwa posisi yang dimilikinya rentan, berupaya untuk mempertahankan, atau justru memperluas pengaruh. Kendati demikian, di satu sisi, aktor lain juga turut memperjuangkan kepentingan yang dipunya sebagai bentuk perlawanan. Pelaku yang mengkhawatirkan adanya bentuk solidaritas atas nama identitas, menyiasati gagasan mengenai diskriminasi ras. Hal tersebut berangkat dari ketidaktahuan dan kecurigaan yang terbangun antar kubu, sehingga aktor akan mempertimbangkan 'shadow of the future'.

Jika merujuk pada kapabilitas material, nampak bahwa terdapat. Sementara, indikator terbentuknya kekuatan dimanifestasikan ke dalam teori milik Alfin Toffler yang mengatakan bahwa kekuatan dibangun atas tiga hal; mind, money, muscle.

Guna melanggengkan posisinya, pelaku rasis jelas memiliki ketiga faktor yang dibutuhkan. Dalam konteks sentimen anti-Cina, terlihat bahwa pelaku rasis memiliki dasar argumen yang baku dalam mengidentifikasi kaum Tionghoa sebagai kaum yang minor. Kecenderungan tersebut menjadi respons bagi pelaku yang mengidentifikasi dirinya sebagai korban. Selanjutnya, basis sumber daya yang dimiliki pelaku rasis nampak pada kepemilikan atas tanah dan bangunan. Amerika sebagai tuan rumah, memiliki kapasitas untuk berkehendak atas imigran Cina yang bertolak ke Amerika. Kekuatan Amerika semakin absolut dengan pepatnya jumlah massa. Massa tersebut didorong atas keseragaman persepsi yang didukung dengan modal yang cukup. Sehingga, rasisme dengan lekas meluas dan diterima sebagai ide.

Penutup

Rasisme adalah cara mendelegasikan kepada orang lain rasa jijik yang kita miliki tentang diri kita sendiri. Begitu tulis seorang penyair dan penulis berkebangsaan Prancis, Robert Sabatier.

Ungkapan tersebut secara implisit menjelaskan ketidakmampuan manusia dalam mengkategorikan dirinya sebagai bagian dari manusia lain. Sehingga, ketika manusia gagal dalam memahami dirinya, di saat itu pula manusia merasa bahwa dirinya berada diatas manusia lain. 

Untuk menjelaskan adanya kekosongan dalam memahami bagaimana identitas tercetak, rasisme layak dikupas dengan perspektif realisme. Sebab, faktor yang mempengaruhi gagalnya manusia dalam memahami dirinya dapat dilihat dari adanya ketiadaan jaminan dalam mempertahankan rasa aman, kecenderungan untuk terlibat dalam konflik, serta ketidakpuasan terhadap pencapaian. 

Sehingga, dapat ditarik benang merah bahwa rasisme, sekalipun ide usang, tetapi masih laku diperdagangkan karena tak membutuhkan banyak ongkos dan tetap menguntungkan, meskipun memakan korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun