Mohon tunggu...
Dyah Silvi
Dyah Silvi Mohon Tunggu... Lainnya - Pengajar

Mengabadikan nama lewat sebuah karya ✨

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Lukisan yang Memudar : Potret Puspa dan Satwa di Ambang Kehilangan

5 Januari 2025   20:55 Diperbarui: 5 Januari 2025   20:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Puspa dan Satwa Indonesia)

Pada kanvas alam Indonesia yang luas, setiap sudutnya dilukis dengan keindahan alam yang begitu memanjakan mata bagi setiap yang memandangnya. Dari warna hijau zamrud hutan tropis hingga biru cemerlang lautan, negeri ini adalah mahakarya Pencipta yang sungguh luar biasa. Namun, goresan kuas kehidupan yang pernah penuh warna kini telah memudar. Hutan yang menjadi rumah bagi harimau Sumatera kian menyempit, sementara nyanyian burung-burung endemik semakin jarang terdengar. Dari sudut-sudut lain negeri ini cerita serupa berulang, badak Jawa hingga bunga bangkai raksasa, semuanya berada di ujung tanduk menunggu giliran menjadi sekedar cerita sejarah. Seperti lukisan yang terkena kabut waktu, potret puspa dan satwa Indonesia perlahan terancam menjadi kenangan.

Kepunahan: Bayangan yang Kian Dekat

Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiverse terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Keanekaragaman hayati di pulau Kalimantan saja setara dengan benua Eropa atau Australia. Dengan hanya 1,3% dari luas daratan dunia, negeri ini menjadi rumah bagi sekitar 10% spesies tumbuhan dan 17% spesies hewan di planet ini. Pulau-pulau seperti Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi menyimpan keunikan ekosistem yang tak ditemukan di belahan dunia lain. Namun, ironi menyayat hati. Pada realita yang terjadi, semakin kaya negeri ini maka semakin terancam keanekaragaman puspa dan satwa negeri ini.

Bayangkan komodo, sang naga purba yang hanya hidup di Kepulauan Komodo. Seiring waktu, habitat mereka menyempit akibat penggundulan hutan dan perkembangan pariwisata yang kurang terkendali. Atau, lihat orang utan Kalimantan, primata cerdas yang kini berjuang melawan ancaman kebakaran hutan dan perluasan perkebunan sawit. Pada skala yang lebih kecil, bahkan kupu-kupu endemik seperti Ornithoptera Croesus dari Maluku juga menghadapi ancaman hilangnya habitat akibat perambahan manusia.

Di bawah permukaan laut, kondisi tak kalah mengkhawatirkan. Karang-karang di Raja Ampat memudar karena perubahan iklim dan penangkapan ikan yang tak berkelanjutan. Kawasan ini dikenal sebagai "Amazon Lautan" karena kekayaan hayatinya, namun ancaman polusi dan eksploitasi laut membuatnya terancam kehilangan reputasi tersebut. Pada setiap sisi, spesies ikonik kita menghadapi ancaman eksistensial yang nyata.

Apa yang Salah?

Kepunahan massal bukan hanya cerita masa lalu. Para ilmuwan percaya bahwa kita sedang berada di tengah-tengah "Kepunahan Masal Keenam," dan kali ini penyebab utamanya adalah manusia. Deforestasi, perburuan liar, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim menjadi kontributor utama.

Hal ini sesuai dengan pandangan Rheza Maulana yang juga menjelaskan apabila kepunahan keberagaman hayati Indonesia disebabkan oleh perubahan iklim, deforestasi, perburuan, dan perdagangan yang imbasnya meningkatkan risiko penurunan populasi hingga kepunahan di alam.

"Dahulu satwa liar dianggap lebih dari "binatang", dihormati, disegani, diberi gelar seperti "datuk". Ada pula konsep "hutan larangan", dilarang menebang dan memburu, khawatir menimbulkan bala. Satwa liar yang tadinya dihormati dan dilindungi, kini menjadi objek untuk dimiliki dan dieksploitasi. Masyarakat yang tadinya perawat dan pelindung, kini menjadi penakluk dan perusak", ujar Rheza Maulana yang menyayangkan ulah manusia yang menjadi alasan kepunahan puspa dan satwa Indonesia.

Di Indonesia, deforestasi menjadi penyebab paling nyata. Data menunjukkan bahwa setiap menit, hutan seluas tiga lapangan sepak bola hilang untuk perkebunan, tambang, atau pembangunan infrastruktur. Padahal, hutan adalah rumah bagi ribuan spesies, termasuk banyak yang endemik. Sebagai contoh, hutan hujan tropis Sumatera adalah satu-satunya tempat di dunia di mana harimau, badak, gajah, dan orangutan hidup berdampingan. Kehilangannya berarti kehilangan spesies-spesies ini secara global.

Selain itu, perburuan dan perdagangan ilegal menjadi ancaman besar. Harimau Sumatera, misalnya, diburu untuk kulit, tulang, dan bagian tubuh lainnya yang dianggap berharga dalam pengobatan tradisional. Diperkirakan hanya sekitar 400-500 individu yang tersisa di alam liar. Burung Cendrawasih, simbol keindahan Papua, sering ditangkap untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan, meskipun sudah dilindungi undang-undang.

Namun, ancaman terbesar mungkin adalah ketidakpedulian. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa setiap spesies memiliki peran penting dalam ekosistem. Kehilangan satu spesies bisa berarti runtuhnya jaringan kehidupan yang lebih luas. Misalnya, hilangnya lebah penyerbuk akan berdampak pada produksi pangan global, termasuk di Indonesia.

Harapan di Tengah Kegelapan

Meski situasi tampak suram, ada upaya-upaya yang memberi harapan. Di berbagai penjuru Indonesia, individu dan komunitas berjuang untuk melindungi puspa dan satwa. Kisah mereka adalah pengingat bahwa setiap langkah kecil dapat membawa perubahan besar.

Salah satu contohnya adalah konservasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Dengan populasi kurang dari 80 ekor, upaya melindungi spesies ini menjadi perlombaan melawan waktu. Melalui patroli intensif, pengawasan habitat, dan edukasi masyarakat, angka populasi mereka mulai menunjukkan stabilitas. Selain itu, proyek konservasi badak Sumatera di Way Kambas, Lampung, juga berhasil mengembangbiakkan badak di penangkaran.

Di Kalimantan, beberapa organisasi seperti Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) bekerja tanpa lelah untuk menyelamatkan dan merehabilitasi orangutan yang kehilangan habitat. Mereka juga menginisiasi penanaman kembali hutan untuk memberikan rumah baru bagi primata ini. Salah satu kisah sukses adalah pelepasan kembali puluhan orangutan ke alam liar setelah melalui rehabilitasi intensif.

Gerakan komunitas juga tak kalah penting. Di Sumatera, masyarakat adat sering menjadi garis depan dalam melindungi hutan. Mereka mempraktikkan kearifan lokal yang selaras dengan alam, mengajarkan bahwa manusia dan lingkungan dapat hidup berdampingan. Contohnya adalah masyarakat Dayak di Kalimantan yang menjaga hutan mereka melalui tradisi dan hukum adat.

Peran Kita dalam Menyelamatkan Biodiversitas

Penyelamatan puspa dan satwa Indonesia bukanlah tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab bersama. Kita semua memiliki peran, sekecil apa pun, dalam menjaga kekayaan alam negeri ini.

Sebagai individu, ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Mengurangi penggunaan produk berbasis sawit tak berkelanjutan, mendukung produk lokal yang ramah lingkungan, hingga menyebarkan kesadaran melalui media sosial adalah langkah awal yang mudah. Selain itu, mengurangi konsumsi plastik sekali pakai dapat membantu mengurangi pencemaran laut yang berdampak pada ekosistem pesisir.

Dukungan untuk organisasi konservasi juga sangat penting. Dengan memberikan donasi, menjadi relawan, atau sekadar menyebarkan informasi, kita dapat membantu mereka melanjutkan pekerjaan yang sulit namun krusial. Organisasi seperti WWF Indonesia dan Yayasan Kehati memimpin berbagai inisiatif yang dapat kita dukung.

Di tingkat kebijakan, pemerintah memiliki tanggung jawab besar. Penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan ilegal harus lebih tegas. Selain itu, kebijakan pembangunan harus memperhitungkan dampak lingkungan. Konsep ekonomi hijau, yang mengintegrasikan keberlanjutan dalam pembangunan, harus menjadi prioritas. Misalnya, program perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah langkah yang patut diapresiasi.

Menghidupkan Kembali Harapan

Di tengah segala tantangan, ada satu hal yang tak boleh hilang: harapan. Seperti bibit kecil yang tumbuh di tanah tandus, harapan bisa menjadi awal perubahan besar. Setiap tindakan kita, sekecil apa pun, adalah benih harapan bagi puspa dan satwa Indonesia. Mungkin suatu hari nanti, anak-anak kita bisa mendengar lengkingan owa-owa, melihat harimau Sumatera berlari bebas, atau mencium aroma bunga bangkai tanpa perlu membaca cerita sejarah.

Masa depan itu ada di tangan kita.

Ketika kita melangkah keluar rumah, mari kita ingat bahwa kita berbagi dunia ini dengan jutaan makhluk hidup lain.

Mereka bukan hanya penghuni, tetapi juga penjaga keseimbangan bumi. Menyelamatkan mereka berarti menyelamatkan diri kita sendiri.

Jadi, apakah kita akan berdiri diam dan menyaksikan keragaman hayati kita lenyap?

Atau, apakah kita akan bangkit, menjadi suara bagi yang tak bisa bersuara, dan melindungi puspa dan satwa Indonesia?

Pilihan ada di tangan kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun