Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketetapan Hati, Keras Kepala, Bukanlah Kepala Batu

27 Agustus 2022   16:45 Diperbarui: 27 Agustus 2022   17:09 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah soal keyakinan, meski tak boleh berlebihan, wajib pas bandrol. Keteguhan hati, kemantapan, kemauan, ketegaran, keuletan pada sebuah prinsip hidup yang dicitakan dan diharapkan sebagai pemenuhan terhadap maunya Tuhan Semesta Alam yang penuh dengan nilai prinsip keseimbangan nan universal dalam Ajaran-Nya sebagaimana yang tertoreh di sepanjang sejarah budaya dan peradaban manusia, melalui patron kehidupan umat manusia, yakni para nabi atau rasul, serta para hamba Tuhan dan para pejuang keseimbangan hidup dari Adam hingga Muhammad, harus digenggam penuh sebagai sebuah ketetapan hati. 

Ketetapan hati atas prinsip hidup, harus dijaga dan dipelihara konsistensinya dalam situasi dan kondisi apapun dan yang bagaimanapun. Sebab, bisikan iblis akan selalu berhembus di setiap celah dan ruang kehidupan dari segala arah dalam upaya mempengaruhi manusia untuk diajak berkolaborasi dengan dirinya, yakni berbuat keburukan dalam merusak sistem kehidupan yang telah dirancang bangun menurut prinsip keseimbangan nan universal dari Ajaran Tuhan Semesta Alam. 

Jikalau telah merasa dan meyakini mau menjadi hamba Tuhan tanpa reserve, maka kebulatan hati harus ditetapkan dan ditindaklanjuti dengan upaya perjuangan dalam mencapai tujuan cita hidup seimbang menurut Ajaran Tuhan Semesta Alam. 

Setelah melewati proses pembelajaran dan pengkajian tentang apa makna hidup seimbang menurut Ajaran Tuhan Semesta Alam, maka tahap berikutnya, yakni melatih diri harus juga dilakukan dan memang harus dimulai dari diri sendiri terlebih dulu, sebelum melangkah menuju keseimbangan hidup keluarga. 

Apalagi, di tengah-tengah wujud ketimpangan hidup yang melanda lingkungan yang lebih luas daripada keluarga, maka tantangan berat jelas nampak menghadang, kesulitan menjalankan hidup seimbang di lingkungan keluarga pun harus disadari dan bakal ditemui. Namun konsistensi dan ketetapan hatilah yang menjadi kata kunci dalam sebuah kamus perjuangan menuju hidup ideal, hidup seimbang. 

Pahit getir harus dipersiapkan untuk dihadapi manakala menemui bujuk rayu yang menggelitik menggiurkan, berhembus bersama bius yang mencoba meluluhlantakkan konsistensi atas sebuah ketetapan hati terhadap prinsip hidup menurut Ajaran Tuhan yang telah dkomitmenkan dan dicanangkan di internal pribadi dan keluarga. 

Tak peduli dengan bullying ataupun celoteh dari luar sebagai bagian dari dimensi setan, iblis, dan yang sebangsanya yang jelas akan selalu mengusik dan mengganggu langkah perjuangan yang sedang kita jalankan. Itu harus disadari dengan sepenuh-penuh penanggapan. 

"Anda termasuk keras kepala, ya?" kata seseorang kepada saya suatu ketika. 

"Ya, saya memang keras kepala. Keras kepala terhadap prinsip hidup yang telah saya yakini tanpa berlebihan, proporsional, seimbang nan universal," jawab saya menandaskan. "Apa perlunya saya menyiksa seekor kucing, hanya gara-gara telah mengembat lauk dari meja makan persediaan makan keluarga di rumah. Apa untungnya bagi saya?" Lalu saya tandaskan lagi, "Apakah belum cukup dengan cara menghalaunya agar tak terus sampai menghabiskan, hanya dengan memainkan penebah lidi, atau memainkan percikan air agar sang kucing itu segera hengkang?

"Sang istri apa tak dongkol dan marah karena jerih payahnya memasak buat keluarga?" tanya seseorang tadi.

"Sebagai panglima keluarga, saya berkewajiban memberi pencerahan tantang arti perikehewanan dan perikemanusiaan terhadap perilaku hewan tadi, terkait dengan konsep keseimbangan lingkungan, ekosistem, jaring-jaring makanan dan rantai makanan."

"Maksudnya?"

"Dia sang kucing yang dilabeli 'liar' oleh lingkungan kita, sampai harus mengembat jatah makanan kita, itu hanya karena kesulitan mendapatkan pakannya demi kelangsungan hak hidupnya. Artinya, sistem habitatnya dalam hal makan dan dimakan telah terganggu atau terputus, sehingga akibatnya perilakunya menjadi timpang atau liar."

"OK. solusinya, agar bisa seimbang sehingga lingkungan kita ini jadi aman dan nyaman, bagaimana?"

"Pertanyaan sampeyan sangat menarik dan menginspirasi saya untuk memberikan jawaban. Namun tidak saat ini saya menjawabnya, demi menghindari tuduhan terhadap saya bila hanya asbun atau asal bunyi saja." Lantas saya lanjutkan, "Nanti sore, silakan sampeyan datang kemari dan bercengkerama lagi, ini sudah saatnya kita makan siang."

Seseorang, sang tetangga itu pun beranjak pulang karena memang harus makan siang yang biasanya sudah dipersiapkan oleh istrinya. Saya pun berangkat menuju meja makan, menikmati sajian makanan dari sang istri yang sebagian lauknya telah diembat sang kucing 'liar' tadi ...

Pasca waktu Ashar, 16.00 WIB, saya isi mangkok plastik di teras rumah dengan pakan kucing, karena sudah sehari ini saya tak mengisinya sebab belum sempat belanja ketika peesediaan buat makannya para kucing liar telah habis. makanya tadi siang itu si kucing sampai harus ngembat lauk di meja makan. 

Boleh jadi karena saya sedang bercengkerama dengan sang tetangga, sepertinya sang kucing tadi punya rasa sungkan terhadap saya untuk minta jatah makan yang sudah biasa saya sediakan di mangkok  plastik yang saya letakkan di teras rumah. 

Biasanya, bila para kucing itu sedang lapar karena perutnya belum terisi, sukanya mbulet ke saya sebagai isyarat sedang minta makan kepada saya, karena mangkok plastiknya terlihat kosong. Sampai-sampai pernah suatu ketika pas saya tak ada di rumah sang anak pernah bertutur kepada saya, 

"Pak, saat bapak tak ada di rumah, ada sekitar 5 ekor 'anak bapak' ngrumpi di teras, sepertinya sedang menunggu bapak?"

"Lha, kalau sudah tahu begitu, koq gak kamu isi saja mangkok plastik di teras rumah itu buat mereka?"

"Saya kan gak biasa dan masih risih setengah takut dengan kucing, dan bapak kan juga sudah paham?" timpal sang anak perempuan saya.

"Bapak kan sudah pernah bilang, bahkan berkali-kali, belajarlah, gak apa-apa, kucing tersebut gak bakalan menggigit kamu. Apalagi kalau sudah  tahu dan mengenali kamu membiasakan kasih makanan bagi mereka, pasti mereka akan tahu diri dan jadi akrab dengan kamu."

"Nggak laah, aku masih belum berani, pak ..."

"Ya, sudahlaah, bapak takkan memaksa kamu ..."

Tak berselang lama saya mengisi pakan ke mangkok plastik wadah pakan kucing, satu demi satu para kucing berdatangan menyantap pakannya. 

Hampir bersamaan dari itu, sang tetangga yang tadi siang bercengkerama dengan saya, datang memenuhi ajakan saya untuk bertandang ke rumah pada sore hari agar tak penasaran terhadap jawaban saya atas rencana saya menjawab pertanyaannya tadi siang. Begitu menyaksikan para kucing liar yang sudah tak liar lagi sedang makan di wadah yang saya sediakan di teras rumah, sang tetangga pun berujar, 

"Oh, ini toch jawabannya, kang?"

"Ya, itulah kenapa saya tadi siang menunda jawaban atas pertanyaan sampeyan, karena saya tak ingin dituduh asbun, omdo, tanpa adanya tindakan sebagai pembuktian ..."

Sang tetangga pun hanya manggut-manggut dalam bahasa tubuhnya sebagai pertanda bahwa dirinya telah paham dengan apa yang saya maksudkan. 

"Wah, kalau begitu, ini cara yang yang bisa diadopsi untuk diterapkan di rumah. Apalagi, di rumah juga banyak tikus, kang ..."

"Tepat sekali, dua hal yang akan kita dapatkan dalam hal ini," sahut saya.

"Maksudnya, kang?"

"Lho ini apa ... Dengan cara ini, pertama, sang kucing yang liar itu, setelah kita sediakan pakannya sebagai santapannya, takkan menjamah lagi lauk persedian makanan kita. Kedua, para tikus pun akan hengkang dengan sendirinya bila seringkali mengetahui adanya para kucing di sekitar persembunyianya, apalagi sampai kucing memergoki dirinya dan berhasil menangkapnya. Kawan-kawan tikus lainnya, pasti berupaya menyelamatkan diri dari sergapan sang kucing."

"Oh, ya?"

"Ya, dan terbukti di rumah ini. Sang istri yang acapkali menggerutu karena dongkol terhadap kedua hewan yang dianggap sebagai hewan pengganggu kenyamanan dan kebersihan rumah, otomatis terobati. "

Sang tetangga pun pamit mohon diri untuk pulang, sembari menyampakan kepada saya untuk segera belanja pakan kucing  dan segera menerapkan apa yang telah saya lakukan terhadap para kucing liar.

 Ketetapan hati dan keras kepala terhadap sebuah prinsip hidup yang objektif ilmiah, yakni tentang hidup seimbang nan universal, salah satunya sikap hidup seimbang terhadap para kucing liar terkait dengan ekosistem yang mengalami ketimpangan, dapatlah diterapkan dalam bersolusi terhadap kucing dan tikus liar yang acapkali dianggap mengganggu lingkungan kita. 

Ketetapan hati dan keras kepala tgerhadap sebuah prinsip hidup seimbang menurut Ajaran Tuhan Semesta Alam, itu sudah seharusnya konsisten dilakukan dalam menghadapi segala persoalan di setiap aspek kehidupan yang tengah kita jalani. Sebab, hal yang demikian itu bukanlah dan tidaklah sama dengan ungkapan kata sebagai 'Kepala Batu' dalam kontekstualnya, yang tak pernah mau tahu dengan segala sesuatu di seluruh aspek kehidupan menurut Ajaran Tuhan Semesta Alam yang seimbang nan universal. 

Semoga! Salam Satu Bangsa Indonesia_Nusantara dalam Bhhinneka Tunggal Ika, dan Salam Seimbang ...

*****

Kota Malang, Agustus di penghujung bulan, Dua Ribu Dua Puluh Dua.   

 

  

     

                    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun