Pembaca budiman yang berbahagia, Saudara sebangsa dan setanah air ...Â
Sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya, yakni tentang Rukun Pembinaan Islam,  dari syahadat, shalat, puasa dan  zakat , maka kali ini kami akan mengulas Rukun Pembinaan Islam yang terakhir, yaitu haji.
Secara etimologis, arti haji adalah ziarah, menuju ke suatu tempat, atau dalam bahasa akademis bisa diartikan sebagai studi banding ataupun observasi lapang. Kemanakah tempat yang dituju atau tempat yang menjadi tujuan ziarah (studi banding)? Dalam QS Ali Imran : 97, disebutkan bahwa tujuan  haji adalah ke Baitullah. Yang menjadi pertanyaan,  dimanakah lokasi Baitullah yang sebenarnya? Apa benar Baitullah itu berada di Mekah, sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam saat ini? Coba kita telaah lebih mendalam ...
Pada kurang lebih tahun  2000 SM, Ibrahim membangun Mekah yang awalnya merupakan wilayah yang kering, tidak produktif. Atas perkenan Allah menjadi negeri yang subur, makmur, aman dan tentram, sebagaimana dikatakan dalam QS Al-Baqarah : 126-127, sebagai berikut:
- "Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, 'Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Mekah ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian', Dia Allah berfirman, 'Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali'." (126);
- "Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggalkan pondasi Baitullah bersama Ismail seraya berdoa, 'Ya Tuhan kami, terimalah amal dari kami. Sungguh Engkaulah Yang maha Mendengar, Maha Mengetahui'." (127).
Di dalamnya dijalankan semua ketentuan-ketentuan ajaran Allah, tatanan kehidupann yang seimbang. Karena Mekah merupakan media bagi implementasi ketentuan-ketentuan Allah, maka Mekah pada masa Ibrahim adalah Baitullah, rumah bagi ajaran ketentuan-ketentuan Allah. Dan, di Mekah juga dibangun Ka'bah sebagai simbol Baitullah yang digunakan  untuk kepentingan kegiatan upacara ritual, seperti shalat maupun ritual-ritual haji.
Namun, sepeninggal Ibrahim dan orang-orang beriman yang bersamanya, Mekah kembali dikuasai oleh orang-orang yang durhaka terhadap ajaran Allah, sehingga Mekah tidak lagi menjadi negeri yang aman dan tentram, bahkan sebelum Muhammad menguasai Mekah, kehidupan orang-orang di sana sangat jahiliyah dengan kebiasaan yang biadab, mereka sangat kufur dan munafik ( QS At-Taubah : 97 -- "Orang-Orang Arab Badui itu lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (97) ).Â
Bahkan, Muhammad yang menyampaikan nilai-nilai kebajikan (ahlakul karimah) selalu dumusuhi dan  harus terusir dari Mekah. Ka'bah yang merupakan simbol rumah Allah dipenuhi berbagai  berhala, lebih tepat Ka'abah saat itu sebagai simbol rumah syaitan.Â
Jadi, sepeninggal Ibrahim ketika Mekah sudah dikuasai oleh orang yang menentang ajaran Allah, maka Mekah sudah tidak lagi menjadi Baitullah.
Sementara itu, Muhammad yang terusir dari Mekah hingga hijrah ke Yatsrib, justru berhasil menegakkan Dinullah, Tatanan Allah -- sistem kehidupan yang seimbang. Tempat dari tatanan yang dibangun Rasulullah, dinamakan  Madinah, yang secara bahasa, madinah berarti tempat dinullah, tempat bagi ajaran (tatanan) Allah.Â
Dengan kata lain,  madinah adalah rumah Allah atau Baitullah. Madinah merupakan pilot project tatanan kehidupan yang ideal-seimbang, mampu memancarkan cahaya kebaikan di sepenjuru Dunia, "Madinah Al-Munawwarah", Madinah yang identik seperti matahari yang  menjadi kiblat yang mempengaruhi dan menggerakkan seluruh benda-benda langit di dalam Tata Surya.Â
"Madinah Al-Munawwarah" menjadi Pusat Dinul Islam di sepenjuru Dunia, dari situlah Muhammad dan para Khulafaur Rasyidin berkantor me-manage madinah-madinah lain yang ada di sepenjuru Dunia, yakni madinah Mekah, madinah Yaman, madinah Mesir, dan madinah-madinah yang lainnya.
Dengan demikian, sebagaimana uraian di atas, maka Mekah pada masa Ibrahim adalah Baitullah. Namun, pada masa Muhammad, Madinah Al-Munawwarah lah yang menjadi Baitullah, sehingga terkait dengan haji sebagai  kegiatan studi banding atau  studi yang menjadi objek atau tujuan studi banding-nya adalah Madinah, bukan di Mekah.Â
Di situ para peserta haji bisa mempelajari bagaimana pola manajemen ataupun penataan kehidupan masyarakat Madinah, dan itu akan menjadi bekal untuk diterapkan di masing-masing daerah asalnya.Â
Dengan harapan sepenjuru Dunia akan ditata dengan Islam, tatanan kehidupan yang seimbang. Ini sekaligus untuk meluruskan bahwa Islam bukan disebarkan melalui pedang atau kekerasan, melainkan  melalui syi'ar atau kegiatan haji yang sangat persuasif dan argumentatif (QS Al Hajj : 32, Al-Baqarah : 158, "Demikian perintah Allah. Dan barang siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati." (32); "Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi'ar tatanan Allah. Maka barang siapa melaksanakan haji ke Baitullah atau ber-umrah, tidak ada dosa  baginya mengerjakan sa"i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui." (158)).Â
Kalaupun banyak peperangan yang terpaksa harus dilakukan , itu semata-mata hanya untuk membela kepentingan orang-orang muslim yang tertindas dan  terancam  karena menerapkan manajemen Islam  dalam kehidupannya. Ingat, sesama muslim adalah bersaudara, jika ada saudaranya yang tertindas, umat Islam lainnya harus siap membantu dan melindunginya.
Nah, setelah selesai kegiatan survey lapang di Madinah, maka kegiatan dilanjutkan dengan upacara ritual haji. Ritual ini dimaksudkan untuk membina dan membangun spirit yang kuat agar siap berjuang membangun madinah (Baitullah) di masing-masing wilayahnya. Ritual upacara haji ini dilakukan di Mekah.Â
Mengapa harus di Mekah? Karena Mekah adalah ibu kota , dengan wilayahnya yang lebih luas,  sarana dan  parasarananya yang lebih lengkap, sehingga akan mampu menampung ribuan peserta haji yang datang dari berbagai penjuru Dunia. Sebuah kegiatan ritual, tentunya sarat dengan berbagai simbol-simbol yang bermakna. Termasuk menjadikan Ka'bah sebagai simbol Baitullah, setelah dilakukan pembersihan terhadap berbagai berhala yang mengotorinya.
Jadi, perlu kami tegaskan kembali,  bahwa Ka'bah bukanlah Baitullah, tapi hanya merupakan simbol dari Baitullah, yang keberadaannya semata-mata digunakan untuk keperluan upacara ritual, seperti menjadi kiblat untuk shalat dan kegiatan thawaf dalam upacara haji.Â
Perlu diketahui,  thawaf sendiri sebagai bagian dari ritual haji dengan mengelilingi Ka'bah 7 (tujuh) kali,  yang menggambarkan ungkapan bahwa Madinah Al-Munawwarah yang berfungsi seperti matahari menggerakkan benda-benda langit yang bergantung dan mengelilinginya. Artinya, kehidupan kita harus terikat  dan bergantung dengan ketentuan-ketentuan yangg ada dalam Baitullah.Â
Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu (hidup mati kami hanya menjadi bagian dari Baitullah). Begitu juga dengan sa'i -- lari-lari kecil dari Safah ke Marwah. Safah adalah ungkapan perjuangan dan Marwah adalah kemuliaan hidup. Jadi, sa'i adalah upaya dengan sekuat tenaga untuk berjuang membangun dan melindungi Baitullah dalam mencapai kemuliaan hidup.
Oleh karenanya, inti dari haji adalah wukuf di padang Arafah. Di situlah Muhammad menyampaikan khutbah akan pentingnya haji sebagai syi'ar untuk membangun dinul Islam --  tananan kehidupan seimbang di muka Bumi dan menjauhkan diri dari sistem ekonomi yang sarat dengan riba , yakni sistem kapitalisme-feodalisme yang hanya merusak keseimbangan. Muhammad juga menyampaikan bahwa Islam sebagai manajemen hidup yang sudah disempurnakan untuk seluruh umat manusia di muka Bumi (QS Almaidah : 3).
Nah, selanjutnya bagaimanakah dengan ibadah haji yang dilakukan saat ini? Masih layakkah Madinah ataupun Mekah yang sangat kental nuansa kapitalismenya dikatakan sebagai Baitullah? Adakah pelajaran yang kita dapat dari ziarah (studi banding) ke Madinah atau Mekah, sementara tatanan Islam, manajemen kehidupan seimbang sebagaimana yang pernah dibangun Rasulullah, sudah tidak bersisa di kedua kota tersebut? Â
Dan parahnya lagi, haji telah dikomersialisasikan oleh  kerajaaan Arab Saudi , sehingga mampu menjadi sumber devisa terbesar kedua setelah minyak bumi. Jadi, sekali lagi kami tegaskan, masih perlukah kita melaksanakan ibadah haji ke Mekah? Apakah esensi ritual haji saat ini masih memiliki makna yang sama dengan apa yang pernah dilakukan Rasulullah? Silakan direnungkan dengan akal sehat masing-masing.
Sekian dan Terima Kasih. Salam Satu Bangsa Indonesia_Nusantara, Salam PANCASILA ...
Kota Malang, Mei hari keenam belas, Dua ribu dua puluh dua.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H