Saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air ...
Saat ini, memasuki bulan Ramadhan 1443 Hijriyah sebagai bulan yang berbahagia ini, kami mencoba berbagi tentang pentingnya makna puasa dalam kehidupan. Secara etimologis, puasa dalam bahasa Arab disebut dengan istilah shaum atau shiam yang makna leksikalnya adalah: menahan diri. Dan, secara prinsip puasa tidak hanya dilakukan oleh manusia, namun seluruh Alam secara rutin, setiap tahun juga melakukan puasa.
Di daerah tropis, di saat musim kemarau, air tanah menjadi surut, kelembaban udara sangat kering, semua tanaman menggugurkan daunnya, mengurangi fotosintesis, yakni kegiatan memproduksi zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Begitu pula dengan binatang-binatang, semua mengurangi konsumsi makanannya, sebagian mati, sebagian yang lain bertahan tidur di dalam liangnya. Sedangkan di daerah dingin, Alam berpuasa di saat suhu yang membeku, Â tanah dan tanaman tertutup oleh salju, aktivitas pertumbuhan terhenti, binatang-binatang melakukan hibernasi, mengurangi makan dan tidur panjang di dalam liangnya.Â
Perlu diketahui, Alam berpuasa adalah untuk memperbaiki sistem keseimbangannya, yakni mengurangi dan mengendalikan populasi hama, penyakit dan gulma tanaman, memperbaiki struktur tanah, serta mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Ini merupakan Sunnatullah, rancangan sistem keseimbangan ciptaan Allah. Dan, perlu diperhatkan bahwa ketika Alam sedang berpuasa, berproses untuk mengembalikan keseimbangannya, manusia sekali-kali tak boleh mengganggu atau merusak proses tersebut. Karena hal itu sama dengan melawan Sunnatullah, mendurhakai ketentuan Allah.Â
Puasa sendiri menurut Al-Qur'an maupun Hadits adalah upaya menahan nafsu makan dan minum, nafsu syahwat atau birahi, nafsu amarah, serta nafsu-nafsu yang lainnya. Kesemuanya itu dilakukan mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya Matahari. Pengertian nafsu yang dimaksud adalah kecenderungan negatif yang menjadi titik lemah manusia untuk dipengaruhi dan dikendalikan oleh Syaitan. Dalam Hadits Riwayat Bukhari ditegaskan, "Puasa adalah membentengi diri, maka apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata-kata kotor, berteriak-teriak, dan jika seseorang memakinya dan mengajak bertengkar hendaklah dia mengatakan, 'sesungguhnya aku sedang berpuasa' ".Â
Jadi, puasa adalah kegiatan pembinaan untuk pengendalian berbagai hawa nafsu. Mulai nafsu makan-minum, syahwat, amarah, dan lain-lain. Dengan puasa, gerak dan perilaku kita akan terkontrol untuk selalu menjaga keseimbangan diri. Sebagaimana dalam QS Al-Baqarah:183, dinyatakan bahwa tujuan Puasa adalah untuk menjadikan orang-orang yang bertaqwa, "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa."Â
Arti kata "taqwa" itu sendiri adalah: patuh kepada ketentuan-ketentuan atau hukum Allah. Dan, perlu diingat bahwa ketentuan atau hukum Allah yang termaktub di dalam Al-Qur'an, kesemuanya menjunjung tinggi Prinsip-Prinsip Keseimbangan atau Keadilan, menjunjung tinggi ahlaqul karimah atau Nilai-Nilai Kebajikan Universal. Sehingga ber-taqwa, sama dengan Hidup dan berperilaku seimbang atau adil. Baik terhadap Allah, terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, terhadap Alam, maupun terhadap Bangsa-Negara dan Dunia.Â
Dari sudut pandang medis, puasa adalah proses detoksifikasi , yakni penggelontoran racun-racun dari dalam tubuh manusia guna memperbaiki metabolisme dan sistem keseimbangan dalam tubuh manusia.Â
Dengan demikian, dapatlah ditarik suatu simpulan, bahwa tujuan puasa manusia, sejalan dengan puasa Alam. Sama-sama memperbaiki keseimbangan, yakni terjadinya perbaikan secara menyeluruh, baik keseimbangan Alam, maupun keseimbangan fisik serta perilaku manusia.Â
Dengan tujuan yang sejalan, pertanyaannya, "Apakah jadwal puasa Alam dan puasa manusia juga harus sama atau sejalan?"Â
Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama, di negeri kita yang beriklim tropis, Alam berpuasa pada saat puncak musim kemarau. Pada kondisi tersebut sangat tidak produktif dan tidak kondusif untuk bercocok tanam. Lahan harus diistirahatkan, sedangkan untuk tanaman keras atau tahunan, akan menggugurkan atau melayukan sebagian daunnya, mengurangi fontosintesis dan berhenti berbuah. Tidak perlu disiram, ataupun dipupuk. Ternak-ternak pun akan mengurangi konsumsi makanannya dan menurunkan produktivitasnya.
Kesemuanya itu adalah proses alami guna pemulihan keseimbangan, mengembalikan kesuburan tanah, dan memutus siklus perkembangan hama dan penyakit. Di saat itulah manusia seharusnya berpuasa pula, menahan diri, berhemat, mengurangi aktivitas dan tidak mengganggu proses puasa Alam yang sedang berjalan. Dengan kata lain, idealnya jadwal puasa manusia harus sejalan dengan puasa Alam, sehingga terjadi harmonisasi perbaikan keseimbangan, baik keseimbangan Alam, maupun keseimbangan fisik perilaku manusia.
Namun sayang, akibat menetapkan jadwal puasa manusia yang tidak sejalan dengan Alam, dan diperparah oleh dorongan ambisi keserakahan, massal manusia justru memperkosa dan merekayasa kondisi Alam. Lahan yang seharusnya diistirahatkan karena situasi yang tidak produktif dan kondusif, dipaksa diairi, ditebarkan pupuk, diolah dan ditanami untuk mengejar keuntungan berlebih. Siklus perkembangan hama dan penyakit menjadi tidak terputus, namun justru berkembang. Populasi hama tikus, burung, serangga, dan lain-lain meledak, wabah penyakit tanaman semakin marak, dan semua itu disiasati dengan penggunaan racun-racun kimia, seperti peptisida, fungisida, herbisida, dan lain-lain. Akibatnya, mencemari tanaman dan lingkungan, sehingga berujung pada merusak sistem keseimbangan atau kesehatan dalam tubuh manusia. Semua ini adalah upaya melawan kodrat Alam dan mendurhakai Sunnatullah.Â
Bukan itu saja, seharusnya ketika manusia berpuasa akan terjadi penghematan ekonomi secara signifikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bulan Ramadhan justru menjadi puncak decision economics, kebutuhan konsumsi meningkat tajam, mulai bahan-bahan pokok sampai dengan barang-barang mewah. Maka secara otomatis, semua kegiatan produksi dan distribusi juga meningkat. Puasa yang seharusnya menjadikan tubuh semakin sehat, ekonomi semakin tahan dan kokoh, namun realitanya tidaklah demikian. Selesai bulan Puasa, justru Rumah Sakit kebanjiran pasien yang mengalami gangguan metabolisme akibat kelebihan makanan. Ekonomi rumah tangga banyak yang sakit akibat terbelit hutang di pegadaian-pegadaian, maupun dari para rentenir.Â
Jadi, implementasi puasa saat ini tidak sesuai dengan kehendak Allah, karena ada kesalahan fatal dalam menjalankan ketentuan puasa. Puasa yang seharusnya menciptakan penghematan nasional, justru membikin pemborosan ekonomi yang luar biasa! Proses perbaikan keseimbangan tidak berjalan, baik keseimbangan Alam, keseimbangan fisik maupun keseimbangan perilaku manusia. Dari gambaran tersebut, tentunya harus ada perbaikan ketentuan dalam pelaksanaan puasa, baik dari sisi teknis pelaksanaan maupun penentuan jadwal puasa yang tepat. Sehingga tujuan Puasa untuk perbaikan keseimbangan dan melatih ketahanan akan tercapai.Â
Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa idealnya puasa manusia dilakukan sejalan dan menyesuaikan dengan puasa Alam, yang berarti penetapan jadwal puasa manusia harus mengacu pada kalender Masehi, bukan kalender Hijriah. Mengapa demikian?
Perlu dipahami bersama, bahwa kalender dibuat untuk menandai kejadian-kejadian Alam yang ada di Bumi ini. Kalender Masehi atau Syamsiyah mengacu pada peredaran Bumi terhadap Matahari, sehingga menandai pengaruh Matahari terhadap kejadian-kejadian Alam di Bumi. Sementara, kalender Hijriah atau Qamariyah mengacu pada peredaran Bulan terhadap Bumi selama 12 bulan atau 1 tahun, dan menandai pengaruh Bulan terhadap Bumi. Yang jelas, pengaruh Matahari terhadap Bumi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan pengaruh Bulan terhadap Bumi. Sebagian besar kejadian Alam, seperti perubahan iklim atau musim, semuanya akibat pengaruh Matahari, sehingga kalender Masehi lebih tepat untuk menentukan kapan kita harus puasa, menyesuaikan dengan puasa Alam.Â
Namun sayang, sebagian Umat berpikiran sempit dan jahiliah, justru memisahkan dan membenturkan antara kalender Masehi dengan kalender Hijriah. Kalender Hijriah diklaim sebagai kalender milik umat Muslim, sedangkan Kalender Masehi adalah kalender milik orang-orang Kafir. Inilah fanatisme yang tidak berdasar dan sangat menyesatkan.Â
Bila orang mau berpikir waras, mereka akan memandang bahwa kalender Syamsiyah atau kalender Masehi, kalender Qamariyah atau Hijriah, dan kalender-kalender lainnya adalah saling melengkapi, menandai semua kejadian-kejadian Alam di Bumi. Semakin banyak jenis kalender, semakin lengkap kita bisa membaca kejadian-kejadian Alam, dan akan mampu membuat perencanaan yang lebih tepat dengan menyesuaiakan kondisi Alam.Â
Jadi, sekali lagi kami tandaskan, bahwa semua kalender-kalender adalah saling melengkapi, dan kalender Masehi harus dijadikan pedoman utama, karena dominasi pengaruh Matahari adalah yang paling besar terhadap kejadian-kejadian Alam di Bumi.Â
Mari ditelaah lebih mendalam! Apa jadinya ketika puasa wajib ditetapkan dengan menggunakan kalender Hijriah? Sadarilah, bahwa jumlah hari dalam kalender Hijriah, berbeda 11 hari dengan kalender Masehi. Maka penetapan puasa di bulan Ramadhan setiap tahunnya akan selalu maju, kurang lebih 11 hari, bila dikaitkan dengan kalender Masehi. Puasa pada 2021 jatuh pada 13 April, namun pada 2022 maju menjadi 03 april. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya akan selalu bergeser maju kurang lebih 11 hari. Dan, pada akhirnya sampailah puasa jatuh pada bulan-bulan produktif di negeri kita, yakni pada musim penghujan. Di saat air melimpah, kelembaban cuaca ideal, kesuburan tanah meningkat, justru manusia harus berpuasa, mengurangi aktivitas dan mengistirahatkan diri. Sementara, pada saat puncak musim kemarau, justru kita giat beraktivitas dan tidak wajib puasa. Inilah yang akan menjadikan kontra produktif, melemahkan ketahanan pangan dan ekonomi, melawan Sunnatullah dan merusak sistem keseimbangan. Jadi, akan menjadi lebih tepat, bila jadwal puasa mengacu pada kalender Masehi dan ditetapkan pada puncak bulan kering atau kemarau.Â
Dari uraian di atas, tentunya akan muncul pertanyaan di benak kita, "Bagaimanakah dengan Ayat Al-Qur'an yang menyatakan perintah puasa dilakukan di bulan Ramadhan?"
Alternatif kata ramadhan, dalam Kamus Bahasa Arab, bisa berarti nama bulan dalam kalender Hijriah, yakni bulan Ramadhan, bulan antara Sya'ban dan Syawal. Namun kata ramadhan juga bisa berarti kering atau kemarau. Jadi, kata syahru ramadhan bisa bermakna bulan kering atau bulan kemarau. Atau bisa diartikan sebagai bulan yang kurang produktif. Oleh karenanya, manakah yang lebih tepat di antara kedua makna tersebut? Bila kata ramadhan diartikan sebagai nama bulan dalam kalender Hijriah, maka jadwal bulan puasa seringkali tidak sejalan dengan puasa Alam, bahkan berlawanan, sehingga merusak keseimbangan dan melawan Sunnatullah. Sementara, bila kata ramadhan diartikan sebagai kering, kemarau, atau kurang produktif, maka jadwal puasa manusia akan ditetapkan pada puncak musim kemarau, dan akan selalu sejalan dengan puasa Alam.Â
Kemudian, pasti akan muncul pertanyaan, "Bagaimana dengan Hadits-Hadits yang secara gamblang menyatakan bahwa puasa ditetapkan di bulan Ramadhan, bulan antara Sya'ban dan Syawal?"Â
Nah, jawabannya cukup simpel. Bila pernyataan-pernyataan dari  Hadits-Hadits tersebut tidak sejalan dengan Sunnatullah sehingga akan menggangu atau merusak Sistem Keseimbangan rancangan Allah, maka apakah masih bisa dikatakan bahwa Hadits-Hadits tersebut sahih, meskipun diriwayatkan oleh perawi-perawi yang terpercaya? Apakah mungkin Muhammad Sang Rasulullah yang merupakan hamba Allah yang paling patuh membuat ketentuan yang melawan Sunnatullah yang justru akan merusak keseimbangan ciptaan Allah? Silakan direnungkan dengan akal sehat anda ...Â
Dengan demikian, maka esensi dari Puasa adalah:
- Perbaikan keseimbangan, baik keseimbangan Alam maupun keseimbangan fisik dan perilaku manusia.
- Dengan puasa akan melatih ketahanan pangan , ekonomi, dan sosial.Â
Dan, yang demikian itu sangat dibutuhkan Bangsa ini dalam mengahadapi tantangan dan berbagai ujian ke depan yang semakin berat. Apa salahnya, bila pemerintah mengadopsi puasa menjadi Program Wajib Negara? Tentunya dengan menyesuaikan istilah-istilah ataupun simbol-simbol keagamaan menjadi lebih general, sehingga lebih bisa diterima oleh umat beragama yang lain.Â
Berikutnya, di dalam bulan Puasa ada sebuah kegiatan yang menanamkan dan memperbaiki Keseimbangan Sosial Ekonomi, yakni Zakat sebagai program perbaikan keseimbangan sosial ekonomi . Bagaimanakah dengan penjelasan selengkapnya? Silakan mengikuti artikel kami selanjutnya.Â
Sekian dan terima kasih, Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara  ...
Kota Malang, Sepekan Ramadhan, Dua ribu dua puluh dua.
@Channel Youtube : Penegak Tatanan Seimbang.id.com        Â
                Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H