Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama, di negeri kita yang beriklim tropis, Alam berpuasa pada saat puncak musim kemarau. Pada kondisi tersebut sangat tidak produktif dan tidak kondusif untuk bercocok tanam. Lahan harus diistirahatkan, sedangkan untuk tanaman keras atau tahunan, akan menggugurkan atau melayukan sebagian daunnya, mengurangi fontosintesis dan berhenti berbuah. Tidak perlu disiram, ataupun dipupuk. Ternak-ternak pun akan mengurangi konsumsi makanannya dan menurunkan produktivitasnya.
Kesemuanya itu adalah proses alami guna pemulihan keseimbangan, mengembalikan kesuburan tanah, dan memutus siklus perkembangan hama dan penyakit. Di saat itulah manusia seharusnya berpuasa pula, menahan diri, berhemat, mengurangi aktivitas dan tidak mengganggu proses puasa Alam yang sedang berjalan. Dengan kata lain, idealnya jadwal puasa manusia harus sejalan dengan puasa Alam, sehingga terjadi harmonisasi perbaikan keseimbangan, baik keseimbangan Alam, maupun keseimbangan fisik perilaku manusia.
Namun sayang, akibat menetapkan jadwal puasa manusia yang tidak sejalan dengan Alam, dan diperparah oleh dorongan ambisi keserakahan, massal manusia justru memperkosa dan merekayasa kondisi Alam. Lahan yang seharusnya diistirahatkan karena situasi yang tidak produktif dan kondusif, dipaksa diairi, ditebarkan pupuk, diolah dan ditanami untuk mengejar keuntungan berlebih. Siklus perkembangan hama dan penyakit menjadi tidak terputus, namun justru berkembang. Populasi hama tikus, burung, serangga, dan lain-lain meledak, wabah penyakit tanaman semakin marak, dan semua itu disiasati dengan penggunaan racun-racun kimia, seperti peptisida, fungisida, herbisida, dan lain-lain. Akibatnya, mencemari tanaman dan lingkungan, sehingga berujung pada merusak sistem keseimbangan atau kesehatan dalam tubuh manusia. Semua ini adalah upaya melawan kodrat Alam dan mendurhakai Sunnatullah.Â
Bukan itu saja, seharusnya ketika manusia berpuasa akan terjadi penghematan ekonomi secara signifikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bulan Ramadhan justru menjadi puncak decision economics, kebutuhan konsumsi meningkat tajam, mulai bahan-bahan pokok sampai dengan barang-barang mewah. Maka secara otomatis, semua kegiatan produksi dan distribusi juga meningkat. Puasa yang seharusnya menjadikan tubuh semakin sehat, ekonomi semakin tahan dan kokoh, namun realitanya tidaklah demikian. Selesai bulan Puasa, justru Rumah Sakit kebanjiran pasien yang mengalami gangguan metabolisme akibat kelebihan makanan. Ekonomi rumah tangga banyak yang sakit akibat terbelit hutang di pegadaian-pegadaian, maupun dari para rentenir.Â
Jadi, implementasi puasa saat ini tidak sesuai dengan kehendak Allah, karena ada kesalahan fatal dalam menjalankan ketentuan puasa. Puasa yang seharusnya menciptakan penghematan nasional, justru membikin pemborosan ekonomi yang luar biasa! Proses perbaikan keseimbangan tidak berjalan, baik keseimbangan Alam, keseimbangan fisik maupun keseimbangan perilaku manusia. Dari gambaran tersebut, tentunya harus ada perbaikan ketentuan dalam pelaksanaan puasa, baik dari sisi teknis pelaksanaan maupun penentuan jadwal puasa yang tepat. Sehingga tujuan Puasa untuk perbaikan keseimbangan dan melatih ketahanan akan tercapai.Â
Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa idealnya puasa manusia dilakukan sejalan dan menyesuaikan dengan puasa Alam, yang berarti penetapan jadwal puasa manusia harus mengacu pada kalender Masehi, bukan kalender Hijriah. Mengapa demikian?
Perlu dipahami bersama, bahwa kalender dibuat untuk menandai kejadian-kejadian Alam yang ada di Bumi ini. Kalender Masehi atau Syamsiyah mengacu pada peredaran Bumi terhadap Matahari, sehingga menandai pengaruh Matahari terhadap kejadian-kejadian Alam di Bumi. Sementara, kalender Hijriah atau Qamariyah mengacu pada peredaran Bulan terhadap Bumi selama 12 bulan atau 1 tahun, dan menandai pengaruh Bulan terhadap Bumi. Yang jelas, pengaruh Matahari terhadap Bumi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan pengaruh Bulan terhadap Bumi. Sebagian besar kejadian Alam, seperti perubahan iklim atau musim, semuanya akibat pengaruh Matahari, sehingga kalender Masehi lebih tepat untuk menentukan kapan kita harus puasa, menyesuaikan dengan puasa Alam.Â
Namun sayang, sebagian Umat berpikiran sempit dan jahiliah, justru memisahkan dan membenturkan antara kalender Masehi dengan kalender Hijriah. Kalender Hijriah diklaim sebagai kalender milik umat Muslim, sedangkan Kalender Masehi adalah kalender milik orang-orang Kafir. Inilah fanatisme yang tidak berdasar dan sangat menyesatkan.Â
Bila orang mau berpikir waras, mereka akan memandang bahwa kalender Syamsiyah atau kalender Masehi, kalender Qamariyah atau Hijriah, dan kalender-kalender lainnya adalah saling melengkapi, menandai semua kejadian-kejadian Alam di Bumi. Semakin banyak jenis kalender, semakin lengkap kita bisa membaca kejadian-kejadian Alam, dan akan mampu membuat perencanaan yang lebih tepat dengan menyesuaiakan kondisi Alam.Â
Jadi, sekali lagi kami tandaskan, bahwa semua kalender-kalender adalah saling melengkapi, dan kalender Masehi harus dijadikan pedoman utama, karena dominasi pengaruh Matahari adalah yang paling besar terhadap kejadian-kejadian Alam di Bumi.Â
Mari ditelaah lebih mendalam! Apa jadinya ketika puasa wajib ditetapkan dengan menggunakan kalender Hijriah? Sadarilah, bahwa jumlah hari dalam kalender Hijriah, berbeda 11 hari dengan kalender Masehi. Maka penetapan puasa di bulan Ramadhan setiap tahunnya akan selalu maju, kurang lebih 11 hari, bila dikaitkan dengan kalender Masehi. Puasa pada 2021 jatuh pada 13 April, namun pada 2022 maju menjadi 03 april. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya akan selalu bergeser maju kurang lebih 11 hari. Dan, pada akhirnya sampailah puasa jatuh pada bulan-bulan produktif di negeri kita, yakni pada musim penghujan. Di saat air melimpah, kelembaban cuaca ideal, kesuburan tanah meningkat, justru manusia harus berpuasa, mengurangi aktivitas dan mengistirahatkan diri. Sementara, pada saat puncak musim kemarau, justru kita giat beraktivitas dan tidak wajib puasa. Inilah yang akan menjadikan kontra produktif, melemahkan ketahanan pangan dan ekonomi, melawan Sunnatullah dan merusak sistem keseimbangan. Jadi, akan menjadi lebih tepat, bila jadwal puasa mengacu pada kalender Masehi dan ditetapkan pada puncak bulan kering atau kemarau.Â