Mohon tunggu...
DafanovKoliska
DafanovKoliska Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis adalah sebuah seni untuk mengukir nama di prasasti kehidupan ini.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

SOL Infratentorial is My Soulmate

8 Februari 2023   11:45 Diperbarui: 10 Februari 2024   21:15 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ku pandangi Wanita cantik ber-jas putih yang duduk di depanku. Tangan kanannya sibuk memegang mouse sambil beberapa kali menge-click dataku. Sedang tangan kirinya bersandar di meja kerjanya. Matanya sibuk mempelajari foto-foto yang terpampang di layar computer itu. Tidak jauh dari mejanya, berdiri perempuan manis berseragam putih hijau dengan topi warna senada  yang bertugas mendampinginya.

Sebentar-sebentar Wanita cantik berjas putih itu menarik nafas panjang.  Kadang-kadang matanya melirik ke arahku. Dokumenku di atas mejanya pun di bolak-baliknya. Rasanya lumayan lama ia mendiamkan aku. Aku semakin penasaran dibuatnya.

Aku tidak begitu bisa menebak ekspresinya, karena Sebagian besar wajahnya tertutup masker. Hanya bagian matanya saja yang terlihat. Aku berusaha duduk di depannya dengan tenang dan sabar sambil menunggu hasilnya. Ku lirik perempuan berseragam putih hijau yang sedang berdiri agak jauh dari kami. Ia pun tampak berdiri dengan sabar menunggu hasil.

Akhirnya, setelah penantian yang terasa lama, wanita cantik berjas putih itu melepaskan pandangan dari arah computer ke arahku. Tangan kanannya dilepaskan dari mouse dan ia duduk tegak di kursinya sambil matanya memandang tajam ke arahku. Mata dan tubuhnya terlihat menegang.

“Ibu ke sini dengan siapa?” Itulah kalimat pertama yang ia luncurkan setelah beberapa menit mendiamkan aku.

“Sendiri, Dok.” Jawabku. Ada rasa penasaran kenapa dokter itu menanyakan hal tersebut.

“Ibu ke sini naik apa?” tanyanya lagi.

“Naik mobil, Dok.” Jawabku lagi. Aku semakin penasaran. Baru sekali ini aku konsul, ada dokter yang bertanya kendaraan yang aku pakai.

“Ibu nyetir sendiri?” Tanya Dokter cantik itu lagi.

“Iya, Dok.” Jawabku.

Dokter cantik itu terdiam mendengar jawabanku. Ia menarik nafas dalam sekali lagi. Ia termenung lama. Aku tahu, sepertinya ada hal yang memberatkan pikirannya.

Dari pertanyaan yang barusan diajukan, aku dapat menangkap ada berita penting yang akan ia sampaikan, namun ia masih menimbang-nimbang bagaimana cara menyampaikannya.

Akhirnya, Dokter Dwi menarik nafas sekali lagi dan mulai menatap tajam ke arahku. Mata dan tubuhnya terlihat semakin tegang.

“Ada berita penting yang hendak saya sampaikan, tapi ini harus saya sampaikan kepada keluarga Ibu. Tidak bisa saya sampaikan ke Ibu langsung. Apalagi ibu berkendara sendirian. Saya mengkhawatirkan keadaan Ibu.” Dokter Dwi berkata dengan nada serius. Matanya menatap tajam ke arahku.

Aku terdiam sambil berfikir. Aku menjadi semakin penasaran. Berita apa yang hendak ia sampaikan. Dari bahasa tubuhnya, sepertinya aku dapat menebak, bahwa ia hendak menyampaikan kabar buruk. Namun seburuk apa?

“Sampaikan saja ke saya, Dok. Nanti biar saya yang meneruskan berita dari Dokter kepada keluarga saya.” Kataku akhirnya dengan tegas ke Dokter Dwi.

Lagi-lagi Dokter Dwi terdiam lama. Aku tahu ia pasti sedang mempertimbangkan banyak hal. Aku terus memaksa dan meyakinkannya. Sampai akhirnya Dokter Dwi bersedia memberiku kabar.

“Ibu lihat foto Ibu yang ini?” Dokter Dwi menunjukkan foto-foto hasil MRI Kepalaku di layar komputernya. Lalu Ia memperbesar sebuah foto irisan otakku. Mouse di layar menunjuk sebuah titik yang letaknya persis di tengah-tengah kepalaku.

Aku memperhatikan foto isi kepalaku dengan seksama. Meskipun aku tidak mengerti, aku mengangguk-anggukkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku mengerti dengan perintah dokter untuk melihat foto itu.

“Ini adalah batang otak milik Ibu. Di depan batang otak ini, di belakang mata Ibu ada sebuah massa berukuran empat centimeter. Massa itu namanya tumor.” Kata Dokter Dwi menjelaskan foto di layar komputernya sambil menggerak-gerakkan mouse-nya.

Deg!

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Hanya itu yang sanggup aku ucapkan. Aku terdiam. Terus terang. Aku shock. Sangat Shock mendengar berita itu. Dunia rasanya runtuh menimpa kepalaku. Bayangan kematianku yang sudah sangat dekat tergambar di benakku.

Perlahan-lahan mataku mulai hangat ingin menumpahkan air yang dari tadi aku tahan agar tidak keluar dari mataku. Ku Tarik nafas dalam agar aku jauh lebih tenang.

Ya. Aku harus tenang dalam menyikapi berita ini. Aku harus bisa pulang ke rumah dengan selamat dan menyampaikan kabar buruk ini kepada keluargaku. Aku tidak boleh memperburuk keadaanku yang sudah buruk.


Dokter Dwi juga terdiam. Ia memperhatikan aku. Suster Cantik yang dari tadi hanya berdiri agak jauh dari kami perlahan mulai mendekatiku. Sepertinya, ia terlihat berjaga-jaga jika sampai hal terburuk terjadi kepadaku.

“Hal terburuk apa yang akan terjadi pada saya dengan adanya massa ini di batang otak saya?” Akhirnya ku beranikan bertanya hal yang mungkin akan membuatku lebih shock lagi.

“Ibu bisa saja tiba-tiba kehilangan kesadaran, atau mungkin koma, bahkan mungkin titik” Jelas dokter Dwi singkat.

Jleb!

Jawaban dokter Dwi membuatku tambah shock lagi. Namun aku telah bertekat untuk menguatkan diriku sendiri. Aku berusaha tenang. Alhamdulillah ada juga manfaatnya keahlianku sebagai hipnoterapist dalam kondisi ini. Minimal aku bisa menenangkan pikiran dan tubuhku sendiri.

“Apa yang bisa saya lakukan untuk penyakit saya? Apakah ada obat atau tindakan untuk mengambil tumor ini?” Tanyaku lagi dengan berusaha tenang.

“Untuk kasus tumor pada batang otak, penyakit ini tidak ada obatnya, dan tidak bisa dilakukan tindakan operasi atau apapun dikarenakan masalah ‘lokasi’ tumor yang berada di depan batang otak.” Dokter Dwi menjawab dengan singkat. “Batang Otak adalah pusat keseimbangan tubuh Manusia, karena itu, tidak mungkin kita mengotak-atik lokasi tersebut.”

Buk!

Lagi-lagi jawaban Dokter Dwi membuatku shock untuk yang ketiga kalinya dalam waktu kurang dari setengah jam ini. Ku tenangkan lagi tubuh dan pikiranku yang tadi hampir saja membuatku pingsan.

Setelah cukup tenang, Kembali aku bertanya:

“Berapa lama lagi waktu saya yang tersisa, Dok?” Tanyaku dengan suara bergetar menahan emosi yang menggelora.

“Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.” Jawab Dokter Dwi berusaha menenangkanku. Namun dari tatapan matanya dan dari bahasa tubuhnya, aku tahu bahwa sebenarnya ia bisa memprediksi sisa waktuku, namun ia enggan memberitahukan kepadaku. Jawaban ini setidak-tidaknya memberiku semangat baru. Bahwa aku harus berpacu dengan waktu untuk segera mengumpulkan amal dan bekalku sebanyak-banyaknya.

“Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” Tanyaku pada akhirnya setelah ketenanganku pulih.

“Ibu tenang saja. Mau tidak mau, ibu harus berdamai dengan penyakit Ibu. Saya melihat Ibu sangat tegar dan tenang menerima kabar dari saya. Saya yakin, Ibu pun bisa tenang menghadapi ujian yang ibu jalani. Semoga ujian ini bisa meninggikan derajat Ibu.” Jawab dokter Dwi sedikit lebih panjang dari jawaban-jawaban sebelumnya. Mungkin karena melihat aku yang tetap tenang, maka Dokter Dwi pun berani berbicara panjang lebar menjelaskan tentang kondisiku yang terburuk.

Jawaban Dokter Dwi sedikit menenangkanku. Meskipun Dokter Dwi tidak memberiku solusi atas penyakitku, tapi setidaknya, ia telah memberiku support dalam menyikapi ujian yang aku hadapi.

“Tidak ada resep yang bisa saya berikan, tidak ada tindakan juga yang saya sarankan. Kompetensi saya sebagai dokter spesialis syaraf sampai disini, namun jika ibu ingin second opinion dari dokter spesialis lain, saya akan memberikan surat pengantar.” Dokter Dwi kembali menatap wajahku. Sekarang ia pun terlihat lebih tenang. Tidak tampak lagi ketegangan di matanya.

Aku terdiam dan merenungkan ucapannya. Pikiranku berputar-putar mencoba mencari solusi atas masalahku. Apa yang bisa kulakukan untuk kebaikanku sendiri? Bahkan penyakitku sendiri ini tidak bisa disembuhkan dan tidak bisa diotak-atik.

“Bolehkan saya konsultasi dengan Dokter Bedah Syaraf?” Tanyaku pada Dokter Dwi akhirnya setelah berfikir lama.

Dokter Dwi mengangguk dan menuliskan surat pengantar ke Dokter Spesialis Bedah Syaraf. Sempat ku baca diagnosanya: SOL infratentorial

“Sehat selalu ya, Bu. Kalau ada apa-apa segera ke UGD terdekat. Dan jangan berkendara sendirian lagi.” Ucap Dokter Dwi sambil menyerahkan surat rujukan itu kepadaku. Aku pun segera berpamitan.

Sesampai di mobil, kutumpahkan semua air mataku yang tadi aku bendung sewaktu di depan Dokter Dwi. Setelah aku tenang, kutepati janjiku ke Dokter Dwi,segera kukirimkan pesan voice Note tentang kondisiku ke keluargaku. Lalu aku mulai menjalankan mobilku pulang ke rumah.

***

Seminggu kemudian aku, suami dan anakku sudah duduk di hadapan Dokter Firman spesialis bedah syaraf dan mendapatkan penjelasan yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Dokter Dwi sebelumnya.

Tumor di Batang otak adalah tumor yang tidak bisa di otak-atik. Berdamai dengan penyakitku adalah solusinya. Artinya, aku harus menerima pusing sebagai bagian dari hidupku, aku harus mampu mengatasi ketidaknyamanan di tubuhku tanpa obat, Aku tetap beraktifitas seperti biasa, aku harus lebih mengerti kondisi tubuhku. 

Aku disarankan tidak berkendara sendirian karena takut tiba-tiba drop. Dan yang paling penting dari semua itu, aku dan keluargaku harus bersiap-siap jika sesuatu yang terburuk tiba-tiba menimpaku. Namun sebelum itu terjadi, aku sudah harus mengumpulkan amal yang banyak sebagai bekalku menuju perjalanan abadiku.

Inilah ujianku; Hidup berdampingan dengan musuh yang selalu siap membunuhku kapan saja. 

Apa ujianmu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun