Mohon tunggu...
DafanovKoliska
DafanovKoliska Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis adalah sebuah seni untuk mengukir nama di prasasti kehidupan ini.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

SOL Infratentorial is My Soulmate

8 Februari 2023   11:45 Diperbarui: 10 Februari 2024   21:15 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah cukup tenang, Kembali aku bertanya:

“Berapa lama lagi waktu saya yang tersisa, Dok?” Tanyaku dengan suara bergetar menahan emosi yang menggelora.

“Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.” Jawab Dokter Dwi berusaha menenangkanku. Namun dari tatapan matanya dan dari bahasa tubuhnya, aku tahu bahwa sebenarnya ia bisa memprediksi sisa waktuku, namun ia enggan memberitahukan kepadaku. Jawaban ini setidak-tidaknya memberiku semangat baru. Bahwa aku harus berpacu dengan waktu untuk segera mengumpulkan amal dan bekalku sebanyak-banyaknya.

“Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” Tanyaku pada akhirnya setelah ketenanganku pulih.

“Ibu tenang saja. Mau tidak mau, ibu harus berdamai dengan penyakit Ibu. Saya melihat Ibu sangat tegar dan tenang menerima kabar dari saya. Saya yakin, Ibu pun bisa tenang menghadapi ujian yang ibu jalani. Semoga ujian ini bisa meninggikan derajat Ibu.” Jawab dokter Dwi sedikit lebih panjang dari jawaban-jawaban sebelumnya. Mungkin karena melihat aku yang tetap tenang, maka Dokter Dwi pun berani berbicara panjang lebar menjelaskan tentang kondisiku yang terburuk.

Jawaban Dokter Dwi sedikit menenangkanku. Meskipun Dokter Dwi tidak memberiku solusi atas penyakitku, tapi setidaknya, ia telah memberiku support dalam menyikapi ujian yang aku hadapi.

“Tidak ada resep yang bisa saya berikan, tidak ada tindakan juga yang saya sarankan. Kompetensi saya sebagai dokter spesialis syaraf sampai disini, namun jika ibu ingin second opinion dari dokter spesialis lain, saya akan memberikan surat pengantar.” Dokter Dwi kembali menatap wajahku. Sekarang ia pun terlihat lebih tenang. Tidak tampak lagi ketegangan di matanya.

Aku terdiam dan merenungkan ucapannya. Pikiranku berputar-putar mencoba mencari solusi atas masalahku. Apa yang bisa kulakukan untuk kebaikanku sendiri? Bahkan penyakitku sendiri ini tidak bisa disembuhkan dan tidak bisa diotak-atik.

“Bolehkan saya konsultasi dengan Dokter Bedah Syaraf?” Tanyaku pada Dokter Dwi akhirnya setelah berfikir lama.

Dokter Dwi mengangguk dan menuliskan surat pengantar ke Dokter Spesialis Bedah Syaraf. Sempat ku baca diagnosanya: SOL infratentorial

“Sehat selalu ya, Bu. Kalau ada apa-apa segera ke UGD terdekat. Dan jangan berkendara sendirian lagi.” Ucap Dokter Dwi sambil menyerahkan surat rujukan itu kepadaku. Aku pun segera berpamitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun