Dari pertanyaan yang barusan diajukan, aku dapat menangkap ada berita penting yang akan ia sampaikan, namun ia masih menimbang-nimbang bagaimana cara menyampaikannya.
Akhirnya, Dokter Dwi menarik nafas sekali lagi dan mulai menatap tajam ke arahku. Mata dan tubuhnya terlihat semakin tegang.
“Ada berita penting yang hendak saya sampaikan, tapi ini harus saya sampaikan kepada keluarga Ibu. Tidak bisa saya sampaikan ke Ibu langsung. Apalagi ibu berkendara sendirian. Saya mengkhawatirkan keadaan Ibu.” Dokter Dwi berkata dengan nada serius. Matanya menatap tajam ke arahku.
Aku terdiam sambil berfikir. Aku menjadi semakin penasaran. Berita apa yang hendak ia sampaikan. Dari bahasa tubuhnya, sepertinya aku dapat menebak, bahwa ia hendak menyampaikan kabar buruk. Namun seburuk apa?
“Sampaikan saja ke saya, Dok. Nanti biar saya yang meneruskan berita dari Dokter kepada keluarga saya.” Kataku akhirnya dengan tegas ke Dokter Dwi.
Lagi-lagi Dokter Dwi terdiam lama. Aku tahu ia pasti sedang mempertimbangkan banyak hal. Aku terus memaksa dan meyakinkannya. Sampai akhirnya Dokter Dwi bersedia memberiku kabar.
“Ibu lihat foto Ibu yang ini?” Dokter Dwi menunjukkan foto-foto hasil MRI Kepalaku di layar komputernya. Lalu Ia memperbesar sebuah foto irisan otakku. Mouse di layar menunjuk sebuah titik yang letaknya persis di tengah-tengah kepalaku.
Aku memperhatikan foto isi kepalaku dengan seksama. Meskipun aku tidak mengerti, aku mengangguk-anggukkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku mengerti dengan perintah dokter untuk melihat foto itu.
“Ini adalah batang otak milik Ibu. Di depan batang otak ini, di belakang mata Ibu ada sebuah massa berukuran empat centimeter. Massa itu namanya tumor.” Kata Dokter Dwi menjelaskan foto di layar komputernya sambil menggerak-gerakkan mouse-nya.
Deg!
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Hanya itu yang sanggup aku ucapkan. Aku terdiam. Terus terang. Aku shock. Sangat Shock mendengar berita itu. Dunia rasanya runtuh menimpa kepalaku. Bayangan kematianku yang sudah sangat dekat tergambar di benakku.