Mohon tunggu...
dyah ayu
dyah ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Ayu hanya 'anak-anak' yang ingin melihat betapa banyak dunia yang ingin ia jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kucing-kucing Manusia

2 Februari 2023   01:23 Diperbarui: 2 Februari 2023   01:35 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Sebuah pasar kumuh ramai orang berlalu-lalang. Kepala-kepala menengok mengamati los-los penjual satu persatu. Sesekali tangan lancang ikut menyentuh daging, sayur, membolak-balik untuk memastikannya tetap segar.

     “Pindang berapaan, Mas Bejo?”

     “Sepuluh ribuan, Mik.”

     “Lha kok cek mahalnya. Tujuh ribuan lah. Di Mbak Nik malah cuma enam ribu, Mas”

     Ya beli saja di Mbak Nik, Mik… kok susah. Batin Mas Bejo sebelum menjawab, “Yaudah, Mik, delapan ribu.” Wanita paruh baya yang dipanggil Umik pun tersenyum. Membayar sesuai harga yang disebut Mas Bejo. Lalu kembali berjalan mengitari pasar.

     Kok pingin buah ya?

     Keinginannya membuat langkah wanita tersebut berhenti tepat di depan sol penjual buah. Penjualnya perempuan yang seharusnya sudah menghabiskan masa tuanya, bukan malah berjualan di pasar kumuh ini.

     “Ini berapaan, Bu?” Sambil menunjuk pepaya.

     “Enam belas.” Bicara Ibu renta sudah putus-putus.

     “Enam belas ribu yang itu, Bu.” menepuk pepaya paling besar. “Kalo ini_” telunjuknya kembali ke pepaya pertama. “_ya, sepuluh ribu lah, Bu.” Si penjual menghela nafas lelah. Menggeleng. Padahal pergelangan tangan dan jari wanita di hadapannya penuh perhiasan berkilau, tapi kalau nawar tidak masuk akal. Dia sudah pasang harga sesuai, kok.

     “Sepuluh ribu, Bu.” Wanita itu ngotot. Tetap memaksa. Si penjual tetap menggeleng. Membuat pembelinya memutuskan berbalik, pura-pura pergi tapi berharap dipanggil untuk pepaya enak sepuluh ribuan.

     Ish, kok nggak dipanggil, tho.

     Menoleh kembali pada wanita renta penjual buah. “Sepuluh ribu, Bu.” Saking pegalnya, penjual itu melambaikan tangannya. Wanita yang dipanggil Umik mendengus melihat gestur mengusir itu.

     Saat menyusuri lorong, Umik merasa kresek digenggamannya bergemerisik, seperti ada yang mengendusnya. Umik menoleh. Mendapati kucing kecil berwarna putih dengan banyak bercak rusuh, kotor, rembes, bau comberan. Ugh. Ia tak tau kucing jelek itu milik siapa. Yang ia tau, ia menendang kucing kurus itu untuk melampiaskan perasaan dongkolnya pada penjual buah tadi.

     Kucing berbulu putih itu mencicit. Dari sudut pandang si kucing, dunia ini hanya abu-abu. Seperti menonton TV dengan tampilan hitam-putih. Untuk mencari makan saja kucing itu harus memaksa empat kaki kurusnya berjalan. Maka tendangan pada kepala kecil barusan membuat pandangan si kucing bau gelap seketika.

     Hewan berkaki empat itu kaget. Ia mencoba berlarian, mencari cahaya. Barangkali dapat mengembalikan pandangan abu miliknya.

Namun nihil. Kepala kecil itu malah membentur tembok rendah berlapis keramik, sol para pedagang.

     “NGEOOONG!” Jeritan yang pilu dari si hewan malang.

     Satu minggu. Pandangan kelabu si kucing kembali, tapi kali ini seperti menonton TV hitam-putih dengan kualitas paling buruk, buram. Jadi hewan malang itu mengandalkan hidungnya untuk membawa kemana ia harus mencari makan.

     Indra si kucing mencium sesuatu. Mengikuti bau pindang goreng dengan pandangan kabur. Tidak bisa menghindar, seseorang dengan tumpukan kotak telur memenuhi kedua tangan tidak sengaja menendang tubuh kecilnya.

     “Ngeong….” Aduh….

     Setelah memulihkan diri, si kucing mempercepat larinya–Hei, perutnya sudah kosong sejak seminggu karena syok dengan pandangannya yang selalu menampilkan warna hitam–tanpa sadar ia sekarang sedang menyebrangi jalan besar depan pasar. Satu dua mobil berseliweran.

     Tiiin! 

     Suara memekakkan itu berhasil membuat sikucing melompat. Andaikata tidak, mungkin kucing malang itu sudah gepeng terlindas. Kucing itu beruntung, selalu lewat sebelum atau sesudah motor dan mobil lewat, jaraknya tipis sekali.

     Penglihatan abu-abu membawa empat kaki kurus itu memasuki pekarangan luas tanpa tau di sana ada dua manusia. Bapak-bapak berkolor dan berkaos kutang sedang memandikan mobil dengan sayang. Dan bocah yang terlihat mengumpulkan dedaunan kering lalu mencoba menciptakan apinya sendiri menggunakan korek. Yang kucing itu tau, pindang goreng ini akan cocok memenuhi perut kecilnya.

     Melihat kucing rembes, bau, dan kotor melintasi pekarangan rumah, karena takut kaki menjijikkan itu mengotori lantai mahalnya, Papa–bapak-bapak berkolor dan berkaos kutang–menggerakkan selang di tangannya lurus menghadap si kucing. Air telak membasi hewan itu.

     Si kucing berjingkat merasakan dingin air menusuk kulit tanpa dagingnya. Langsung lari terbirit-birit lalu mengibaskan tubuh setelah cukup jauh. Menjilat bulu. Berharap jilatan lemah tersebut membantu tubuhnya cepat kering.

     Belum selesai sialnya, kucing itu tak menyadari seorang bocah berjalan mengendap ke arahnya. Menangkap ekor panjangnya. Membuat si kucing mengeong kesakitan. Tubuhnya dijungkirkan. Kepala jadi ekor. Ekor jadi kepala. 

     Terus mengeong sambil mencakar-cakar udara kosong.

     Bocah itu terkikik. Punya ide. Mengambil korek dari sakunya. Menggesek pemantiknya. Percobaan pertama. Gagal. Percobaan kedua. gagal. Kucing malang itu terus meronta. Percobaan ketiga. Berhasil. Udara di sekitar perut kucing menghangat seiring bocah itu mengarahkan pemantik ke perut si kucing yang masih kering.

     Hewan itu tak tahu menahu sampai merasakan sesuatu yang begitu panas merambati perut kurusnya. Menghanguskan bulu. Melepuhkan kulit.

     Kucing malang itu langsung mencakar tangan si bocah yang dalam jangkauan, yang memegang korek. Bocah itu terkejut kemudian refleks melepas cengkraman pada ekor panjang itu.

     Kucing itu langsung lari kemana saja kaki kurus membawa pergi. Dengan api masih merambati perut. Mengeong dengan suara paling lantang. Mengutuk siapa saja yang telah menyakitinya.

     Sebelum sesuatu dingin menghampiri tubuh hangusnya. Seseorang menyiramnya. Membuat api di perut seketika padam. Tapi entah apakah masih bisa diselamatkan atau tidak, kucing malang itu tergeletak seketika.

     Gadis kecil berkepang penyelamat meletakkan ember sembarangan lalu bergegas membawa tubuh lemah si kucing menuju rumah.

     “BUUUK! ADA KUCING KEBAKAR!” Tadinya gadis itu sontak mengambil air begitu melihat seekor kucing lucu berlari ke arahnya dengan api membakar perutnya. Untungnya api itu tak sampai membakar seluruh tubuhnya yang basah.

     1 bulan kemudian.

     Seekor kucing putih berbulu sehat, bersih, wangi, lucu–masih sama lucunya seperti pertama kali ia menyelamatkannya–dengan mata berbinar duduk dalam pangkuannya. Mendengkur ketika ia membelainya lembut.

     Ia ingat pertama kali memegang Chiko–nama pemberian gadis itu–setelah siuman, kucing itu mendesis marah. Ketakutan sambil mendempis tidak mau dipegang.

     “Nduk, siapkan mukenah sama sajadah. Tamunya mau sholat.”

     Gadis itu akan beranjak saat tamu ibu memasuki rumah. Keluarga terpandang berisi tiga orang. Kepala keluarga, ibu, dan bocah lelaki. Berwudhu.

     Melihat kucing putih lucu, anak lelaki keluarga itu langsung berlari menghampiri. Tapi kucing lucu itu mendesis tanpa sebab sehingga gadis itu harus turun tangan menenangkan kucingnya. Barulah bocah itu bisa mengelus bulu si kucing dengan sayang.

     “Ih, Ma… Kucingnya bagus. Aku pengen punya.”

     “Lucu ya? Sana tanya Papa, boleh apa nggak.”

     “Boleh Pa?”

     “Boleh. Tapi dirawat yang bener.”

     Mereka bertiga adalah orang yang sama yang menendang kucing putih ini saat masih bau. Orang yang sama yang menyiram si kucing saat masih kotor. Orang yang sama yang membakar separuh badan si kucing.

     Dan ketika ia berubah menjadi kucing lucu, bersih, dan wangi mereka baru mau memelihara satu. Padahal tak tau proses panjang apa yang harus gadis itu lalui saat merawat si kucing. Rutin mengobatinya, memandikan, dan memberinya makan.

     Ah, dirinya lupa. Bukankah manusia memang selalu seperti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun