"Manusia semakin pintar, bahkan tiap tahun selalu saja ada hal baru yang mereka ciptakan," ucapnya. Desir angin malam membelai lembut, satu daun dari beberapa yang tersisa di pohon tua itu jatuh, tepat di kepala perempuan yang tengah memandang langit. Dia memegannya, memperhatikan daun yang sudah kecoklatan itu, menatap getir. " Sayang, mereka juga semakin pintar membodohi dunia. Agar semakin maju katanya, omong kosong."
Pohon itu mulai mengerti tentang apa yang dibicarakan. "Kau membicarakan tabiat kotor para manusia?"
Sekali lagi, kepala perempuan itu mengangguk. "Kau kesal terhadap mereka?"
Pohon terdiam sejenak, ingatan masa lalunya sedang menyeruak masuk. "Jika kau datang lebih cepat, setidaknya beberapa tahun lalu. Saat masih banyak kawanku hidup, meski dengan menyokong paksa tubuhnya. Tiap hari, kau akan dengar keluhan dan kekesalan mereka, gadis manis."
Tiba-tiba perempuan itu tertawa. "Aku sudah kenyang mendengar semua keluhan dari yang lain. Bahkan sejak aku bisa mengingat. Udara saja sekarang tengah mengumpat karena tubuh mereka terkotori buangan para mesin jalan raya itu."
Ranting pohon sedikit bergoyang mendengar gurauan perempuan bermata coklat itu. "Kalaupun kesal, apa yang bisa aku perbuat? Pohon tua ini tak memiliki kuasa apa-apa."
Tawa tadi seketika terhenti, perempuan itu kembali terdiam. Benar saja, apa yang bisa dilakukan oleh pohon tua yang bahkan tak bisa berpindah dari tempatnya sekarang. Dia hanya bisa diam ketika satu persatu kawannya dibabati. Melihat ketika perlahan hamparan tanah berubah menjadi aspal, bangunan bangunan tinggi mulai menggantikan luasnya hijau. Apa yang bisa dilakukan oleh pohon tua itu? Dia hanya bisa jadi saksi bisu betapa manusia benar-benar merubah tatanan dunia, betapa mereka mulai lupa untuk membatasi diri.
"Mereka benar-benar bodoh ya, menggali lubang diri sendiri." Perempuan itu mendengus, dia nampak kesal.
"Tapi, bukankah kau termasuk salah satu dari mereka, para manusia?"
Tawa tanggung terdengar. "Jangan masukkan aku dalam urutan bedebah-bedebah itu.
Mereka yang telinganya benar-benar rusak ketika ada seruan untuk berhenti membodohi dunia. Oh ya dan ingat, aku memang manusia, dalam kutipan 'berbeda'." Mulut perempuan itu manyun sebentar, dia masih memegang daun kecoklatan tadi. "Kenapa kalian menerima begitu saja?"