Mohon tunggu...
DWY NOVIALITAYOVANDA
DWY NOVIALITAYOVANDA Mohon Tunggu... Lainnya - كُنْ فَيَكُونُ

Dwy Novialita Yovanda_190402080021

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Pendengar

8 Juni 2021   17:57 Diperbarui: 8 Juni 2021   18:07 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terimakasih," ucap si pohon lirih.

Perempuan itu tersenyum, mata coklatnya menatap sendu, lantas berdiri bersandar pada pohon tua itu. "Aku tak melakukan hal yang berarti."

Pohon itu sedikit bergoyang, terkejut. Gadis itu, sepertinya bisa mendengar, pikirnya. Kemudian lengang, keduannya diam. Matahari sudah meninggalkan kaki langit, lampu-lampu berjajar di bahu jalan dinyalakan, tampak terang. Bulan purnama bertengger, tapi entah kenapa sepertinya bintang enggan menemaninya malam ini.

"Padahal di sini dulu, aku sering bermain lompat tali. Biasanya aku membuatnya bersama teman-teman dari karet gelang," tiba-tiba perempuan itu berbicara, memecah hening. "Dan tempat kakak bermain bola hingga petang, dia selalu saja dimarahi bunda kalau pulang kesorean."

Suara klakson mobil menyahut dari arah jalan raya, orang-orang berseru marah karena mereka tidak berjalan sama sekali. Bahu jalan juga ramai dengan orang-orang yang berjalan tanpa mengurangi sedikit kecepatan langkahnya. Ini memang jam pulang kerja, tapi kenapa orang menjadi selalu terburu-buru? Perempuan itu menatap hiruk pikuk di depannya, "sekarang di depan lapangan lama ini jadi jalan raya, padahal dulu hanya tanah yang jika hujan jadi kubangan lumpur."

"Kalau kau berbicara tentang belasan tahun lalu, sudah banyak perubahan terjadi, tidak ada lagi lapangan bermain atau jalan tanah yang kau bicarakan," pohon tua akhirnya menanggapi perkataan perempuan yang bersandar padanya.

Perempuan itu menyeringai, "ya, tak ada lagi. Itu sudah jadi masa lalu kota ini."

Lantas kembali terdiam, mereka berdua menatap pemandangan kota yang masih ramai meski matahari telah beranjak sejak tadi, perempuan itu menyampirkan anak rambut di dahinya, lantas duduk di atas akar pohon tua yang mencuat. "Orang-orang berkembang dengan cepat, mereka selalu berlomba untuk menjadi yang terbaik," mulut perempuan itu kembali berbicara.

Dahan pohon tua itu bergetar sedikit mendengarnya, "menjadi yang terbaik?" Mungkin jika saja pohon punya dahi, dahinya sekarang tengah berkerut.

Perempuan berambut gelombang itu menganggukan kepala, menunjuk langit malam yang kosong hanya bersisa bulan, tanpa bintang maupun awan. "Dulu menyentuh langit adalah hal yang mustahil, menyentuh bulan adalah hal yang tak mungkin. Tapi lihat, sekarang orang bahkan bisa mencapai planet Mars."

"Mars?" Pohon itu sekali lagi tak mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun