Ada lagi. Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Ned Price, menyoal pasal zina itu juga. Nadanya mengancam iklim investasi dari AS ke Indonesia.
Di konferensi pers, dikutip dari AFP, ia mengatakan: "Kami juga prihatin tentang bagaimana undang-undang tersebut dapat berdampak pada warga AS yang berkunjung dan tinggal di Indonesia, serta iklim investasi bagi perusahaan AS."
Bisa ditafsirkan, investasi AS ke Indonesia punya konsekuensi datangnya ekspatriat ke sini. Kalau mereka berzina di sini, melanggar Pasal 411 KUHP.
Pemerintah Indonesia sudah menanggapi itu. Plt Dirjen Peraturan Perundang Undangan, Kemenkumham, Dhahana Putra dalam siaran pers, Rabu (7/12) mengatakan:
"Secara a contrario, pengaturan itu menutup ruang dari masyarakat atau pihak ketiga lainnya, untuk melaporkan terjadinya tindak pidana tersebut, sekaligus mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri."
Dilanjut: "Itu karena suatu pengaduan juga tidak dapat dipilah-pilah. Artinya tidak mungkin dalam pengaduan hanya salah satu pelaku saja yang diproses, sehingga keputusan untuk membuat pengaduan itu juga akan betul-betul dipertimbangkan oleh mereka yang berhak mengadu."
Gampangnya begini: Pasal 411 'kan delik aduan. Orang yang berhak mengadu, diatur di Ayat 2. Tidak sembarang orang boleh mengadu. Pun, seandainya tidak ada pengaduan, ya... aman-aman saja.
Diakhiri: "So, please come and invest in remarkable Indonesia."
Tapi, user yang akan membawa duit ke Indonesia, 'kan mereka (turis Australia dan ekspatriat AS). Dan, kekhawatiran mereka tentang kemungkinan dihukum setahun penjara, tidak mungkin surut oleh ucapan: "So, please..."
Pernyataan pihak Australia dan AS itu, mungkin bukan sekadar gertak sambal. Sebab, pastinya mereka maklum, bahwa KUHP yang sudah disahkan, tidak mungkin direvisi. Sudah final.
Jadi, travel warning itu bisa ditafsirkan sebagai komentar mereka terhadap hukum formal Indonesia yang baru. Mereka selaku pemegang duit, bisa memilih ke negara lain, selain Indonesia.