Kerumunan kini mengerikan. Polisi ogah kecolongan, lagi. Acara Berdendang Bergoyang di Istora Senayan, Jakarta, Minggu, 30 Oktober 2022 malam, dibatalkan polisi. Biarkan, calon pengunjung kecewa.
Acara itu dijadwalkan tiga malam. Jumat, Sabtu, Minggu. Nah, di malam terakhir dibatalkan. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Komarudin kepada pers, Minggu, 30 Oktober 2022, mengatakan:
"Semula izinnya, jumlah pengunjung tiga ribu. Kemudian dibatasi maksimal sepuluh ribu. Semalam (Sabtu, 29 Oktober 2022, malam) kami temukan jumlah pengunjung 21.500 lebih, di luar panitia."
Menyalahi aturan. Bisa membahayakan.
Untung, sluman-slumun slamet. Di dua malam sebelumnya, aman. Tidak terjadi tragedi. Padahal, sudah hampir.
Menurutnya, pada Sabtu malam sempat terjadi insiden. Massa saling dorong di sekitar kawasan Gelora Bung Karno. Kebetulan, malam itu  juga ada panggung dari acara lain. Campur-aduk.
Waktu itu, di area panggung Berdendang Bergoyang sudah sesak. Sekitar 21.500 orang. Eee... massa di luar merangsek maju, berniat masuk. Terjadilah saling-dorong. Belasan wanita pingsan. Diangkut ambulance. Puluhan polisi cepat mengatasi. Tidak ada tragedi. Slamet.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes E Zulpan kepada pers, Minggu, 30 Oktober 2022, mengatakan lebih detil.
"Konsernya tiga hari. Nah, setelah konser malam pertama, kami adakan rapat evaluasi bersama pihak penyelenggara. Ternyata mereka banyak yang tidak hadir."
Mungkin, penyelenggara ngeri juga. Izinnya jumlah penonton tiga ribu, tapi cetak tiket tujuh kali lipatnya, karena peminat membeludak. Mereka senang, sebab laris. Tapi ngeri kayak Kanjuruhan.
Apalagi, Sabtu, 29 Oktober 2022 malam, pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korsel, ambyar. Sampai Minggu, 30 Oktober 2022 malam, Resuters melaporkan 151 korban tewas, dan cenderung bertambah. Dari jumlah itu, 19 warga negara asing. Dari Australia, Iran, Uzbelistan, China dan Norwegia.
Ratusan orang terluka, tersebar dirawat di beberapa rumah sakit.
Dikutip dari Kantor berita Korsel, Yonhap, Minggu, 30 Oktober 2022, saksi mata, warga negara Australia, Nathan Taverniti, menceritakan, ia dari Australia berlibur ke Korsel bersama teman wanita (identitas rahasia). Ikut acara Halloween.
Taverniti: "Saya benar-benar tidak percaya. Saya berada di depan, di mana tragedi itu terjadi. Yang bisa saya lihat hanyalah tembok orang... Lalu bergerak mendorong. Tidak mungkin saya menyelamatkan dia."
Taverniti bisa selamat, karena ia merangkak di atas banyak tubuh manusia. Tertendang, terinjak, ia tetap menguatkan diri merangkak. Seumpama ia tertelungkup, pasti mati.
Sekitar sejam kemudian, ia melihat temannya digotong tandu, sudah meninggal. "Keluarganya di Australia, jadi saya walinya. Tapi mereka tidak mengizinkan saya melihat jenazahnya," Taverniti.
Banyak kepala negara mengucap duka cita buat keluarga korban. Termauk Presiden Indonesia, Jokowi, via Twitter, Minggu, 30 Oktober 2022:
"Deeply saddened to learn about the tragic stampede in Seoul. My deepest condolences to those who lost their loved ones."
Evgenii Evtushenko, dalam bukunya: "Mourners Crushed at Stalin's Funeral" (1963), menyatakan, jika terjadi sesuatu kejadian mengetjutkan di kerumunan massa, sangat berbahaya.
Sebab, kerumunan massa itu mencair (bergerak seperti air). Kalau sudah telanjur bergerak, tidak mungkin dicegah lagi. Di situlah tragedi.
Korban tewas umumnya dua jenis: Sesak napas akibat tergencet manusia. Atau remuk-redam terinjak-injak.
Evtushenko menulis itu, setelah sepuluh tahun tragedi di Moskow. Ketika prosesi pemakaman Pemimpin Uni Sovyet, Joseph Stalin, 5 Maret 1953 di usia 74. Stalin tokoh legendaris dunia.
Masyarakat Sovyet dari mana-mana datang ke Moskow. Sekadar memberi penghormatan terakhir kepada Stalin. Semua orang ingin mendekati peti mati. Berdesakan. Terjadilah tragedi.
Ratusan orang mati, terinjak-injak. Nikita Khrushchev pemimpin Uni Sovyet 1958--1964, menyatakan, 109 orang tewas. Ratusan terluka.
Tapi, tidak semua kerumunan berbahaya. Malah, jarang yang menjadi tragedi. Asalkan, ada pemimpin yang paham psikologi massa.
Prof John Drury, guru besar Psikologi Sosial di The University of Sussexdi dekat London, Inggris, diakui para psikolog internasional sebagai pakar kerumunan. Ia sering jadi pembicara, khusus soal itu.
Dalam wawancara dengan reporter The Crowd Magazine, yang dimuat 13 Oktober 2019, ia menjelaskan detil tentang kerumunan. Bentuknya, psikologi massa yang menyatukan massa. Bahayanya. Sampai manajemen kerumunan.
Menurutnya, logika individu hilang ketika berkerumun. Berubah jadi logika massa. Artinya, jika di antara massa ada yang mengawali melakukan sesuatu, atau berkata sesuatu, maka kerumunan bakal ikut-ikutan.
Bagai kerumunan bebek. Jika tidak dikendalikan, bisa berpencaran. Tapi kalau ada penggembala, mereka akan nurut arahan penggembala. Aman.
Bahaya, jika terjadi sesuatu yang mendadak. Sedangkan, gembala tidak mengantisipasi sesuatu yang terjadi itu. Maka, kerumunan bakal semburat berpencar. Liar. Semakin sesuatu itu bersifat bahaya, dampak terhadap kerumunan semakin bahaya. Dan cepat.
Prof Drury memberikan ilmu psikologi kerumunan. Ditujukan kepada mereka yang akan menggelar kerumunan. Supaya aman. Ada tiga:
Pertama, mengenal psikologi kelompok.
Ketahui tentang konsep identitas sosial dan norma kelompok. Tanamkan ini dalam pelatihan dan bimbingan Anda sehari-hari. Tidak perlu jadi pakar psikologi.Tapi, pelajari norma kelompok.
Kedua, ketahui identitas sosial audiens.
Pahami-lah nilai dan norma mereka. Budaya dan bahasa mereka. Lalu bicaralah dalam bahasa mereka. Lebih bagus lagi bergayalah dalam gaya budaya mereka.
Ketiga, berkomunikasi.
Ini terpenting. Bukan hanya memberi informasi. Melainkan komunikasi. Jaga komunikasi terus-menerus dengan kerumunan. Mengantisipasi kala-kalau terjadi sesuatu yang tak terduga.
Seumpama terjadi sesuatu yang tak terduga, Anda harus berpikir cepat. Agar massa tidak semburat gak karuan. Komunikasi dengan massa. Katakan, agar massa tetap tenang. Jangan bertindak sendiri-sendiri, karena sangat berbahaya.
Kemudian berikan arahan jalan keluar yang paling aman. Semua itu harus dilakukan dalam tempo sangat singkat. Karena, massa (seperti halnya gerombolan bebek) sedang panik. Kalau tidak cepat, mereka keburu ambyar.
Jadi, Polri membatalkan panggung Berdendang Bergoyang, sudah diperhitungkan matang. Daripada-daripada. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H