Apalagi, Sabtu, 29 Oktober 2022 malam, pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korsel, ambyar. Sampai Minggu, 30 Oktober 2022 malam, Resuters melaporkan 151 korban tewas, dan cenderung bertambah. Dari jumlah itu, 19 warga negara asing. Dari Australia, Iran, Uzbelistan, China dan Norwegia.
Ratusan orang terluka, tersebar dirawat di beberapa rumah sakit.
Dikutip dari Kantor berita Korsel, Yonhap, Minggu, 30 Oktober 2022, saksi mata, warga negara Australia, Nathan Taverniti, menceritakan, ia dari Australia berlibur ke Korsel bersama teman wanita (identitas rahasia). Ikut acara Halloween.
Taverniti: "Saya benar-benar tidak percaya. Saya berada di depan, di mana tragedi itu terjadi. Yang bisa saya lihat hanyalah tembok orang... Lalu bergerak mendorong. Tidak mungkin saya menyelamatkan dia."
Taverniti bisa selamat, karena ia merangkak di atas banyak tubuh manusia. Tertendang, terinjak, ia tetap menguatkan diri merangkak. Seumpama ia tertelungkup, pasti mati.
Sekitar sejam kemudian, ia melihat temannya digotong tandu, sudah meninggal. "Keluarganya di Australia, jadi saya walinya. Tapi mereka tidak mengizinkan saya melihat jenazahnya," Taverniti.
Banyak kepala negara mengucap duka cita buat keluarga korban. Termauk Presiden Indonesia, Jokowi, via Twitter, Minggu, 30 Oktober 2022:
"Deeply saddened to learn about the tragic stampede in Seoul. My deepest condolences to those who lost their loved ones."
Evgenii Evtushenko, dalam bukunya: "Mourners Crushed at Stalin's Funeral" (1963), menyatakan, jika terjadi sesuatu kejadian mengetjutkan di kerumunan massa, sangat berbahaya.
Sebab, kerumunan massa itu mencair (bergerak seperti air). Kalau sudah telanjur bergerak, tidak mungkin dicegah lagi. Di situlah tragedi.
Korban tewas umumnya dua jenis: Sesak napas akibat tergencet manusia. Atau remuk-redam terinjak-injak.