Ahok, terlalu stress. Menanggapi emosi: "Kan, KJP sudah lama berjalan (waktu itu, setahun lebih). Dilarang mencairkan, Ibu... Berarti, tokonya maling. Ibu juga maling."
Sejenak sepi. Lalu, Isnaeni menangis keras. Malu dilihat banyak wartawan. Direkam kamera, diberitakan media massa. Anak Isnaeni yang masih SD, kata Isnaeni, diledeki teman-teman sekolah, bahwa punya ibu maling.
Isnaeni melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya. Menggugat pula perdata Rp 100 miliar. Tapi, laporan Isnaeni tak pernah diproses. Macet. Barangkali, polisinya mumet juga.
Kasus Isnaeni cuma contoh ekstrem. Ekstrem negatif. Dari ribuan aduan masyarakat yang dilayani Ahok. Sukses. Menggembirakan rakyat. "Wong cilik melu gemuyu," kata Presiden Pertama RI, Soekarno.
Ribuan aduan warga di zaman Ahok. Bukan plintiran. Memang nyata. Sehari bisa 10 - 20 aduan. Sampai Ahok dihukum dua tahun penjara, penistaan agama, Selasa, 9 Mei 2017.
Mungkin, ada jutaan uneg-uneg publik Jakarta. Menunggu giliran mengadu. Katakanlah, sejuta problematika warga DKI Jakarta. Sehari, seorang mengadu. Butuh sejuta hari.
Konsekuensi buat pemimpin (yang ikhlas melayani warga) berat. Butuh pemimpin tenaga kuda. Otot kawat, tulang besi. Jujur sejujur balita. Cerdas sederdas 'the man of millennium', Albert Einstein. Mentalnya selembut susu (susu sapi, ya...). Gak gampang marah, kayak Ahok.
Kupikir: Anies Baswedan benar. Menutup aduan publik. Tak perlu ada aduan publik. Berat, Cing. Lha, janji rumah DP nol, ternyata angsuran per bulan Rp 9,2 juta.
Jelang akhir jabatan Anies, Kamis, 6 Oktober 2022, Jakarta banjir, parah. Dikutip dari Detikcom, Jumat, 7 Oktober 2022, judul: "Titik Banjir di Jakarta Jadi 90 RT, Tinggi Air Ada yang Capai 2 Meter".
Alamak... Kolam renang untuk kompetisi, pun dalamnya 1,8 meter. Airnya bening kinclong. Jakarta banjir dua meter. Berlumpur.
Jakarta, mah... emang banjir. Sejak dulu begitu. Sejak dulu, pemimpinnya ogah urus.