Mohon tunggu...
Dwi Yuliati
Dwi Yuliati Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Freelancer | Badminton Lovers

Man Jadda Wajadda

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Rush Money dan Krisis, Apa Kaitannya dengan Stabilitas Keuangan?

25 Juni 2019   22:15 Diperbarui: 25 Juni 2019   22:18 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu, isu rush money (penarikan uang secara besar-besaran) kembali menyeruak ke permukaan. Hal itu ditengarai dengan adanya ajakan untuk menarik seluruh uang yang dimiliki dari rekening bank saat aksi 22 Mei. Untungnya isu rush money tersebut urung terjadi. Seperti yang diberitakan oleh KOMPAS.com (24/05/2019), Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menampik isu rush money atau penarikan uang secara besar-besaran akibat aksi 22 Mei.

Isu rush money juga sempat bergulir tahun 2016 silam. Ajakan rush money ini bertujuan untuk menuntut proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap telah menistakan agama. Peristiwa rush money juga pernah terjadi pada tahun 1997 -- 1998 saat terjadi krisis di Indonesia. Kala itu nilai rupiah anjlok yang berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada bank.

Gerakan rush money tentu bisa merusak perekonomian Indonesia. Banyak ahli yang berpendapat bahwa rush money membawa kerugian untuk negara dan masyarakat. Bahkan bisa sampai membuat ekonomi menjadi lumpuh. Dampak paling parah dari rush money adalah terjadinya resesi. Ini lah yang dikhawatirkan, sebab bisa membuat sengsara sebagaimana krisis 1998.

Dampak Rush Money Bagi Stabilitas Ekonomi Negara

Rush money sangat merugikan bagi negara. Jika hal itu terjadi, maka perbankan akan mengalami krisis. Perbankan dapat mengalami kesulitan likuiditas dan membuat kepanikan publik. Imbasnya bermacam-macam, misalnya saja terjadi kenaikan inflasi yang berakibat lemahnya nilai tukar rupiah. Singkat kata, rush money akan merugikan negara secara keseluruhan. Stabilitas ekonomi menjadi terganggu.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menegaskan bahwa stabilisasi sektor keuangan sangat erat hubungannya dengan upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja hingga menuntaskan kemiskinan. Seandainya masyarakat berbondong-bondong menarik uangnya dari bank, maka akan berdampak sangat besar bagi perekonomian Indonesia.

Ekonom Sebut Dua Faktor Ini Bisa Jadi Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia

Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah yang dilansir dari kontan.co.id, ada dua faktor yang bisa menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Faktor pertama adalah tekanan yang dialami Indonesia, imbas dari perang dagang Amerika Serikat-China misalnya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati melalui akun facebook-nya menjelaskan bahwa kondisi ekonomi global saat ini harus mewaspadai isu ketidakpastian karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Bila tahun lalu (Juli 2018), banyak lembaga internasional yang memperkirakan perang dagang ini akan dapat dihindari dan tidak akan memburuk, namun kenyataan yang terjadi berbeda.

Menurut beberapa studi, bila trade war mencapai puncak, ekonomi China berpotensi melemah 1%, sedang ekonomi Amerika Serikat akan melemah 0,8% dari GDP. Dengan dua perlemahan dua ekonomi terbesar ini, maka akan berdampak cukup signifikan pada ekonomi global dan negara-negara berkembang.

Faktor lainnya bisa berasal dari potensi krisis di sejumlah negara yang berdampak pada modal yang sulit masuk. Akibatnya, pemerintah mengalami kendala untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).


Merespons krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997/1998, maka Bank Indonesia melakukan penyusunan kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabiltias Sistem Keuangan (BSSK). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Apa Itu Stabilitas Sistem Keuangan?

Dilansir dari laman Bank Indonesia, disitu dijelaskan bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional (PBI 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial).

Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan

Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian yang berfungsi untuk menglokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada yang mengalami defisit. Apabila sistem keuangan ini tidak stabil dan tidak berfungsi dengan baik, maka pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatan.

Secara umum, ketidakstabilan sistem keuangan dapat mengakibatkan timbulnya beberapa kondisi yang tidak menguntungkan seperti transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal, fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi, ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan dan tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan apabila terjadi krisis yang bersifat sistemik.

Otoritas yang Berwenang Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Otoritas yang berwenang dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, diperlukan kerja sama antara berbagai otoritas yang berwenang.

Adapun peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan antara lain, koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan permasalahan bank sistemik, baik ketika sistem keuangan berada dalam kondisi normal maupun krisis.

Kebijakan Makroprudensial

Menurut IMF, makroprudensial merupakan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik (IMF, 2011). Adapun kebijakan makroprudensial antara lain diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system wide perspectives), dan diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya risiko sistemik. Pendekatan yang digunakan dalam penerapan kebijakan makroprudensial bersifat top down sehingga mencakup seluruh elemen sistem keuangan.

Dari pengalaman krisis yang telah terjadi, menunjukkan bahwa stabilitas moneter dan mikroprudensial saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya krisis, mengingat krisis 2008 terjadi di tengah kondisi makroekonomi yang sehat. Kebijakan moneter cenderung tidak dapat menangkap sinyal pemupukan risiko yang bersumber dari perilaku ambil risiko elemen sistem keuangan, misalnya peningkatan mortgage loan secara massal di perbankan.

Sementara itu, kebijakan mikroprudensial yang melihat tingkat kesehatan individual lembaga juga belum mampu menangkap pemupukan risiko dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, diperlukan penerapan kebijakan makroprudensial yang dapat melengkapi kebijakan moneter, mikroprudensial dan fiskal untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Pengawasan Makroprudensial

Berdasarkan kewenangannya, Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan makroprudensial dengan cara o-site (tidak langsung) maupun on-site (langsung) dengan melakukan pemeriksaan tematik. Hasil pengawasan makroprudensial ini akan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam bentuk pemberian sinyal risiko hasil monitoring dan analisis risiko sistemik.

Pengawasan makroprudensial akan ditindaklanjuti dengan pengembangan instrumen kebijakan apabila pemberian sinyal risiko mengindikasikan adanya pembentukan (build-up) risiko sistemik.

Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis?

Protokol Manajemen Krisis (PMK) merupakan protokol yang dipergunakan untuk mengelola dan mengatasi kondisi krisis. Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem aturan yang menjelaskan praktik-praktik (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal. PMK dalam sistem keuangan menjadi penting dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) karena PMK akan membantu para otoritas keuangan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat.

Secara spesifk, opsi kebijakan Bank Indonesia dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis berkaitan erat dengan peran bank sentral: 1) sebagai Lender of the Last Resort (LOLR) yang merupakan fungsi inheren bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan; dan 2) dalam memelihara stabilitas nilai tukar dan sektor eksternal. Berkaitan dengan fungsi LOLR, Bank Indonesia dapat memberikan opsi penyediaan likuiditas yang bersifat intervensi pasar atau Liquidity Providing (Market Intervention) Options dalam mekanisme Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facility, atau memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).

Stabilitas Sistem Keuangan Kuartal I 2019 Terjaga

Dilansir dari laman resmi Kementerian Keuangan (www.kemenkeu.go.id), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) triwulan I 2019 terjaga. Hal ini berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan lembaga anggota KSSK terhadap perkembangan ekonomi nasional dan global.

KSSK terus memperkuat koordinasi kebijakan moneter, fiskal, makroprudensial, mikroprudensial, dan penjaminan simpanan untuk terus menjaga stabilitas ekonomi, sistem keuangan menopang momentum pertumbuhan ekonomi kita.

Di bidang moneter, Bank Indonesia memfokuskan kebijakan suku bunga dan nilai tukar untuk memperkuat stabilitas eksternal perekonomian. Di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatakan Stabilitas Sistem Keuangan masih terjaga dengan baik didukung oleh tingkat permodalan dan likuiditas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang memadai.

Sementara, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memaparkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keamanan simpanan mereka tetap tinggi, dimana tidak terdapat pergerakan dana yang luar biasa.

Akhir kata, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa rush money dan krisis ekonomi bisa berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi negara. Apalagi isu yang sedang memanas saat ini yaitu perang dagang Amerika Serikat dan China bisa berimbas terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Namun demikian, Bank Indonesia beserta otoritas yang berwenang lainnya telah banyak mengambil pelajaran dari krisis yang pernah menimpa Indonesia tahun 1998 silam dengan menyusun Kerangka Stabilitas Sistem Keuangan. Semoga dengan adanya ini perekonomian Indonesia bisa terus stabil dan terhindari dari krisis ekonomi.

Sumber Referensi :

(1) Gubernur BI Bantah Ada Rush Money Akibat Kerusuhan 22 Mei. KOMPAS.com

(2) Rush Money Jadi Cara Selamatkan Uang atau Justru Bikin Negara Krisis? Ini Faktanya. Moneysmart.id

(3) Sri Mulyani : Gerakan "Rush Money" Bukan Sekadar Salurkan Aspirasi. KOMPAS.com

(4) Mengupas Kebijakan Makroprudensial. Bank Indonesia.

(5) www.bi.go.id

(6) Ekonom Sebut Dua Faktor Ini Bisa Jadi Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia. www.kontan.co.id

(7) www.kemenkeu.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun