GTR 150 yang terbeli beberapa bulan yang lalu membulatkan tekadku untuk menantang  diri  menahlukkan rute menuju Gunung Bromo. Kalau tenaganya kurang di tanjakan, minimal bisa main di koplingnya.  Sebenarnya ada rasa was-was dengan tanjakan maupun turunan curam di Penanjakan. Apalagi menyeberangi lautan pasirnya yang tidak bisa diprediksi kedalamannya. Sewaktu berkendara dengan anak muda yang energinya prima saja kami terjatuh beberapa kali, apalagi dengan aku yang biasa manja duduk manis di bagian belakang. Alamaa...kk apa aku mampu untuk mengemudi? Â
Dengan energi yang sudah tidak  muda lagi. Dengan tulang dan sendi yang tidak sefleksibel dua puluh tahun yang lalu. Biasanya travelling terima beres, duduk, menikmati perjalanan, kalau capek tidur dan tiba di tempat tujuan tanpa ada tanggung jawab sebagai pengemudi.  Membuat hati ini menjadi lemah, banyak kawatir akan kemampuan diri.
Sengaja kami berdua, aku dan anak perempuanku berangkat pagi sekitar jam tujuh, setelah sarapan dan bersih-bersih rumah. Sesuai dengan tujuan, travelling yang santuy saja. Menikmati pemandangan di perjalanan, bukan mengejar target sunrise di puncak Bromo seperti pelancong pada umumnya. Â
Kali ini aku memilih rute melewati Nongkojajar karena waktu tempuhnya yang tidak terlalu lama yaitu tidak sampai satu setengah jam dari Malang Utara. Sepanjang perjalanan, lalu lintas masih tergolong sepi. Apalagi memasuki daerah Nongkojajar sungguh nikmat rasanya. Pohon-pohon pinus berjajar di kanan dan kiri jalan. Kabut tipis, jurang dan gunung yang tinggi menjulang. Jalan aspal yang halus, luasnya cukup untuk simpangan enam mobil. Kelokan demi kelokan kami nikmati dengan irama bosanova.
Empat puluh lima menit perjalanan, kami tiba di gerbang pemeriksaan tiket. Alamakkk.. kami lupa belum beli tiket. Rasa sedih dan kawatir mulai menyerang. Perjalanan sejauh ini apa meski batal untuk bisa masuk area wisata? Padahal ada pembatasan pengunjung setiap harinya. Dengan was-was kami memeriksa, mencari celah bagaimana bisa sampai di Gunung Bromo.
Untungnya hari ini bukan week end para pembeli tiket memenuhi tujuan ke Penanjakan dan kawah Bromo. Kami membeli tiket yang menuju ke padang Savana. Dalam hati aku sebenarnya sudah tahu kalau tiket dengan tujuan manapun juga bisa bebas mengunjungi semua destinasi di Gunung Bromo.
Proses pembelian tiket online dengan mengisi biodata membuat perasaan tidak aman. Akan tetapi, nasib baik ternyata masih berpihak pada Ibu-ibu ini yang berusaha memberikan pengalaman nyata kepada anak perempuannya. Dengan kelincahannya mengikuti petunjuk pembelian tiket online, akhirnya kami mengantongi izin melewati gerbang tiket tersebut. Tombol pengingat harus diaktifkan agar mempersiapkan pembelian tiket online jauh-jauh hari sehingga tidak perlu ada drama merasa di ujung tanduk bisa lanjut perjalanan atau tidak.
Aku sempat melirik beberapa pemuda yang touring memakai Tiger 2000nya. Motor tua yang dicat ulang dan terawat dengan baik. What a nice motorcycle! My son said, having an antique is like you are an old money person. Aku pernah mengendarai beberapa tahun motor serupa. Mesinnya yang halus dan tenaganya yang kuat membuatku ingin mencobanya lagi. Tapi kuurungkan karena kawatir membuat malu anak perempuannku ha ha .. Â aku sangat menikmati naik motor kemanapun.
Kamipun melanjutkan perjalanan dengan jalanan yang makin sempit dan curam. Kadang tanpa terasa jalan yang kami lalui ternyata sama tingginya dengan gunung di sekitar kami. Gunung yang puncaknya tertutup awan dan jurang puluhan meter mengiringi perjalanan kami. Hutan pinus, kebun sayur mayur, bunga edelweis, dingin yang menusuk tulang menciptakan pengalaman yang seru. Beribu ucapan hamdalah mengalir deras karena nikmat kesempatan merekam keelokan yang terpampang di sepanjang perjalanan kami.
Beberapa papan petunjuk kadang membuat kami ragu untuk memilih jalan. Akan tetapi, sebagai pengemudi aku harus segera memutuskan. Berbekal pengalaman pernah satu kali melewati rute ini maka aku mengikuti naluri saja. Memilih jalan yang lebih lebar insyaallah akan membawa ke tempat dimana banyak orang yang melaluinya. Meski kadang ragu apa benar sudah memilih rute yang tepat tetapi tetap percaya diri menarik gas ini. Google map tidak banyak membantu karena sinyal di gunung tidak bagus. Rumah penduduk hanya berkelompok-kelompok di bagian tertentu saja. Sehingga jarang bertemu orang yang bisa memberi informasi. Selebihnya adalah hutan pinus yang diselingi dengan kebun sayur.
Akhirnya kami menemukan persimpangan dengan papan petunjuk bertuliskan dua panah. Panah ke kanan bertuliskan lautan pasir sedangkan panah ke kiri bertuliskan penanjakan. Aku ragu sejenak, dan memutuskan untuk menuju ke penanjakan. Lima puluh meter dari persimpangan, manik hijau kami menangkap sebuah pemandangan yang sungguh mengundang decak kagum. Jauh di bawah sana berdiri megah pegunungan Bromo, kawah yang mengepulkan asap dan beberapa dayang-dayang pegunungan yang mendampinginya. Tak kalah cantik di sebelahnya sebuah gunung yang tergambar rapi dengan awan kecil di puncaknya. Aku tebak itu pasti gunung Semeru. Tertulis di pintu masuk tadi selamat datang di wilayah cagar alam Gunung  Bromo dan Gunung Semeru. Â
Kami tidak mau melewatkan momen yang indah tersebut. Aku parkir motorku di trotoar dan kami mengambil gambar dengan latar surga tersebut. Rupanya perjalanan dan udara yang sangat dingin membuat tukang bakso yang sengaja mangkal tak jauh dari kami terlihat memprovokasi he he .... Kamipun menghampirinya dan memesan bakso yang diteruh di kantong dan memakannya kering tanpa kuah. Hanya untuk mengganjal perut agar tidak kukuruyuk. Sebab, kalau kami kenyang kawatir ngantuk dan perjalanan kami menjadi terganggu.
Setelah merasa cukup menikmati pemandangan di persimpangan penanjakan dan jalan menuju lautan pasir kamipun menuju ke inti dari perjalanan ini. Aku membuka kaca penutup muka di helmku agar lebih jelas dan waspada saat berkendara. Sebuah papan kuning bertuliskan "jalanan menurun tajam, gunakan gigi satu." Akupun patuh dengan kewaspadaan tinggi. Gas aku tarik sepelan mungkin sehingga kecepatan sesuai dengan gigi satu. Kurang lebih 500meter menjelang lautan pasir, jalanan benar-benar menurun tajam disertai dengan tikugan tajam. Aku harus benar-benar harus konsentrasi. Untuk membuat kesadaranku prima, aku menggumamkan surah Alfatihah dan beberapa wirid yang lain. Sempat terbayang bagaimanakah nanti perjuanganku saat pulang dengan tanjakan yang benar-benar maut ini? Aku merasa ketar-ketir tapi bisa aku kendalikan dengan mengatakan pada diri "Pelan-pelan insyaallah bisa, motormu dalam keadaan prima."
Dengan masih konsentrasi tinggi akhirnya aku melihat akhir dari turunan tajam ini. Akan tetapi aku tak boleh mengurangi kewaspadaan. Gas dan gigi masih stabil diangka 15km/jam. Sangat lambat tetapi ini yang terbaik. Sedikit mengurangi dan menekan rem beberapa kali agar rem tetap pakem. Akhirnya dengan mulus kamipun mendarat di awal lautan pasir gunung Bromo ini. Welcome to the next real challenge ha ha ...
Hal penting yang aku pelajari saat mengendalikan si roda dua di jalan berpasir adalah jangan melawan ketika kemudi berbelok. Usahakan kecepatan tinggi sehingga tidak ada kesempatan roda terbenam. Yang tak kalah penting kurangi tekanan angin di dalam bannya.
Awal masuk ke jalan berpasir saya masih bisa memilih dengan tepat mana yang pasirnya tipis sehingga motor masih dalam kendali. Lima puluh meter selanjutnya aku benar-benar tidak boleh melawan dan menambah kecepatan karena pasir mulai menebal. Kemudiku berkelok-kelok mengikuti sang roda yang berusaha terus menggelinding maju. Anak perempuanku menepuk-nepuk pundakku dengan panik.
"Ibu-Ibu.. berhenti-berhenti aku jalan saja." Â
Setengah berteriak aku menjawab kekawatiran anakku.
Kamu harus percaya ke Ibu memang harus seperti ini, cepat dan belok-belok tidak boleh melawan pasirnya agar tetap bisa jalan. Tidak mungkin dia jalan kaki menuju kawah masih kurang lebih tiga kilo meter lagi."Â
Memang sepertinya cara berkendara yang ugal-ugalan. Menanggapi kekawatiran anakku maka aku pelankan kecepatan motorku. Satu, dua, tiga .. kamipun jatuh bersama .. roda kami tenggelam di pasir. Meledak tertawa kami ketika motor ambruk. Â Sebelah kaki kami tertindih sepeda motor. Tetapi, tidak ada kerusakan di motor kami, maupun luka di tubuh kami karena terjatuh di pasir.
Kamipun bekerja sama membuat motor berdiri, kali ini untuk terbebas dari pasir yang dalam anakku berlari duluan, di tidak mau aku bonceng. Akupun memperhatikan sekitar berusaha mencari jalan yang sekiranya ketebalan pasirnya masih bisa membuat motorku berjalan. Beberapa pengunjung yang lewat hanya melemparkan senyum. Mereka bisa melenggang dengan baik karena skill mengemudi di pasir yang baik ditambah percaya diri. Ada beberapa orang yang ingin membantu tapi kami bilang kami baik-baik saja masih bisa mengatasinya.
Di bawah teriknya matahari susah membedakan mana jalan yang pasirnya tebal dan tipis. Dimana ada orang bisa mengendarai motornya dengan baik maka kami mengikutinya. Beberapa kali kami terjebak karena anakku masih kawatir tingkat tinggi dengan kecepatan tinggi dan setir belok-belok maka lebih dari enam kali kami harus terjatuh dan tertawa terbahak-bahak lagi. Memikirkan betapa kami harus berkendara ugal-ugalan untuk bisa mencapai kawah. Â
Berkali-kali kami terjebak di jalan dengan pasir yang tebal, maka kami harus melihat kira-kira rute mana yang bisa kami lalui agar roda ini tetap menggelinding. Terjatuh, bangun, berusaha keluar dari pasir dan anakku berlari duluan. Aku berusaha menuju jalan yang lebih tipis pasirnya. Berkali-kali kami jatuh, bangun, memacu kendaraan dengan tinggi dengan setir yang belok-belok sungguh membuat adrenalin terpacu tinggi. Kadang aku tidak segera bangun karena kurang tenaga untuk membangunkan motor kami. Mungkin tenaga kami banyak berkurang sehingga makin lama makin berat saja untuk membuat motor berdiri kembali.
Sekilas aku berpikir bagaimana caraku kembali nanti kalau masih menuju ke kawah saja tantangannya begitu berat? Aku pengemudi, insyaallah bisa. Ini hanya butuh usaha yang pantang menyerah. Setelah bergulat dengan jalanan berpasir selama setengah jam maka kamipun bisa melihat rute menuju kawah. Aku menuju tempat parkir di kaki gunung menuju kawah. Gelak tawa selalu menghiasi bibir kami memikirkan kebodohan, keseruan dan keberhasilan melewati rintangan yang kadang terasa di luar nalar.
Matahari pukul 09.30 WIB sudah terasa terik sekali. Kami mulai berjalan kaki menuju puncak yang terdapat kawah. Jalanan menanjak, bau kotoran kuda dan debu yang tebal membuat pernapasan terganggu. Baru seratus meter naik, aku harus berhenti untuk mengatur napas. Tiba-tiba seluruh tubuh merinding, kepala mulai berat, napas sesak, aku mau pingsan! Aku berusaha mengendalikan diri, menetralkan diri dengan mengatur napas, jangan sampai pingsan. Setelah berhenti beberapa menit, napasku mulai normal dan alhamdulilah aku tidak pingsan. Â Aku mulai berjalan lagi. Aku berhenti lebih dari lima kali karena bernapas sudah benar-benar susah dilakukan.
Meski lambat, semangat selalu aku tanamkan di dada. Aku pasti mampu tiba di puncak, melihat kawah seperti yang banyak orang lakukan. Ini seperti sebuah inti perjalanan ke gunung Bromo. Sulit dan butuh kesabaran tinggi dengan kemampuan diri ini. Finally .. aku tiba di tujuanku. Rasa syukur memenuhi dada, tak terasa meleleh air mataku karena sangat bahagia. Dengan energi yang sudah tidak dijaga dengan baik ini, saya masih mampu naik motor dan berjalan sampai di kawah ini. Aku berhasil mengalahkan kekawatiran dan membuktikan kalau raga ini masih mampu bergerak sampai di tempat ini.
Setelah berhenti beberapa puluh menit, kami memutuskan untuk kembali. Tidak butuh waktu lama ketika jalan turun ke tempat parkir karena napas baik-baik saja. Perjalanan melintasi lautan pasir menuju ke penanjakan masih diwarnai dengan rasa takjub bagaimana bisa mendobrak batas ketidaknormalan diri berkendara. Harus mengemudi dengan kencang, belok-belok agar bisa sampai tujuan. Tidak mudah mengikuti teori yang tidak biasa ini sehingga sering motor aku pacu dengan pelan dan akhirnya benar-benar jatuh lagi dan lagi.
Sampailaah kami di akhir perjalanan lautan pasir dan memantapkan hati menantang diri melewati tanjakan tajam. Terlihat tulisan pakai gigi satu, dan aku mematuhinya. Lima puluh meter pertama aku masih berterima kasih karena motorku terasa sehat. Tikungan tajam disertai tanjakan dengan kemiringan jalan 70 derajat, pelan-pelan sambil menjaga konsentrasi tinggi dengan menggumamkan surah Alfatihah dan kamipun sudah melewati seratus meter pertama. Tanjakan masih berlanjut dengan kemiringan bervariasi antara 60 sampai 75 derajat. Kurang lebih 500 meter tanjakan akhirnya bisak ami lalui. Cukup lega rasanya dua hal yang paling aku kawatirkan bisa aku lalui.
Banyak syukur atas nikmat sehat sehingga secara mental dan fisik bisa mengendalikan dengan baik tantangan-tantangan yang ada. Capek pasti, tetapi senyum kami merekah bak kuntum di musim semi. Mau kemana  petualangan kita selanjutnya?
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H