Pada masa kekuasaan feodal, warga desa hanya memahami hidup dengan keterbatasan interaksi. Â Saat terjadi interaksi dengan elemen luar lingkungan sistem hidup mereka, yang terjadi adalah penaklukkan. Warga desa harus merelakan kepemilikan tanah mereka digunakan untuk kepentingan penguasa feodal. Hal yang sama juga terjadi saat kekuasaan kolonial masuk dan semakin memperparah keadaan. Lalu pada masa kemerdekaan hingga saat ini, apakah terjadi perubahan yang lebih baik?
Tanpa menegasikan semua upaya pembangunan yang dilakukan, hasilnya belum mampu mewujudkan kualitas talenta manusia Indonesia. Â Baik di kota maupun di desa, saat ini sistem sosialnya sudah menjadi subsistem dari ekonomi dan politik. Alokasi nilai otoritatif yang dimiliki oleh kekuasaan politik, membuat masyarakat menjauh dari lingkungannya sediri. Situasi ini yang disebut oleh Marx sebagai alienasi. Masyarakat terdidik patuh mengabdi pada sistem ekonomi politik untuk mempertahankan hidupnya, kendati tereduksi kemanusiaannya.
Pendidikan Sebagai Infrastruktur Tujuan
Komitmen Presiden Jokowi untuk membangun talenta manusia Indonesia yang mumpuni, tentu harus disambut hangat. Sumberdaya manusia yang sekarang sering disebut dengan talenta itu, memang telah lama menjadi problem bangsa. Awal kemerdekaan kita memulai dengan 90% Â warga yang buta huruf.Â
Saat ini, setelah 74 tahun merdeka angkanya berkurang signifikan, tinggal 1,93% yang setara dengan sekitar 3 juta penduduk (BPS,2018). Namun ada fakta lain cukup memprihatinkan, survey Programe for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, menempatkan Indonesia di peringkat ke-62 dari 72 negara yang disurvei. Tentu ada yang salah dengan kondisi ini, kemampuan membaca tidak diikuti dengan minat membaca yang memadai.
Rendahnya minat baca akan dihadapkan pada kerapuhan bangsa untuk mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang berkarakter dan berdaulat. Kecendrungan tersebut juga diidap oleh para elit yang semakin miskin dengan narasi kebangsaaan, kecuali mengulang-ulang komitmen para pendiri bangsa tanpa mengkontekstualisasikannya pada situasi kekinian.
Narasi singkat dan padat yang ditawarkan, hanya terbatas pada stabilitas dan pembangunan ekonomi. Â Hal ini sudah dilakukan sejak zaman Orde Baru yang terbukti gagal, Â bahkan membawa kemerosotan yang saat ini menjadi sulit untuk dinaikan.Â
Jika cara yang sama dilakukan, maka pada dasarnya tidak ada terobosan berarti yang dilakukan walau kerap pemerintah disebut melakukan sesuatu  yang out of the box, seperti ditunjuknya Nadiem sebagai Mendikbud.Â
Pada masa Orba, Soeharto juga melakukan sesuatu yang dianggap out of the box, dengan mengubah arah relasi kerjasama negara dengan blok barat dan menggunakan isu komunisme untuk mendapatkan bantuan luar negeri.
Hal yang sama dengan isu berbeda juga dilakukan oleh pemerintah saat ini, kekayaan sumberdaya alam dan bonus demografi dijadikan dasar untuk mendapatkan dukungan berupa investasi. Hal ini yang telah berhasil dilakukan Nadiem pada bisnis Gojeknya. Di usia yang relatif muda, dengan cerdas dia mampu melihat keunggulan tersebut sebagai potensi bisnis yang luar biasa.Â
Hanya terbilang sedikit tahun, valuasi asset Gojek mencapai 75 trilyun yang berarti 12 kali lebih tinggi dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang sudah berumur setara dengan usia republik ini. Â Nadiem sendiri diperkirakan memiliki kekayaan sebesar 1,45 trilyun. Angka ini mungkin tidak terbayang oleh para pengemudi gojek yang setiap harinya harus berjibaku di keruwetan lalu lintas jalan raya. Dengan segala resiko yang harus ditanggung sendiri, mereka berhasil membangun pundi-pundi kekayaan untuk Gojek dan pemiliknya.