Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tak ayal menimbulkan berbagai reaksi. Sosok Nadiem sebagai representasi generasi millenials yang cerdas dan sukses dalam bisnis, tentu saja mampu memikat banyak orang. Namun pertanyaan yang nanti akan dijawab oleh kinerjanya, apakah dengan segala kelebihan yang dimilikinya akan mampu membawa peningkatan kualitas talenta manusia Indonesia, terutama generasi muda di Indonesia.
Banyak pihak yang optimis walau tak kurang yang pesimis akan hal itu. Secara empiris sejarah negeri ini, tak lepas dari peran kaum mudanya. Sumpah Pemuda yang dianggap millestone menuju kemerdekaan Indonesia adalah bukti yang tak bisa dipungkiri.Â
Jika  Soekarno menyebut kemerdekaan adalah gerbang jembatan emas, di gerbang itulah kita selama 74 tahun berdiam. Analogi jembatan tentunya harus dipahami sebagai infrastruktur menuju tujuan. Logika ini tidak boleh diubah menjadikan jembatan atau pun infrastruktur sebagai tujuan.
Budaya masyarakat yang sakit
Memahami pendidikan di Indonesia, tentu bukan perkara yang mudah. Kualitasnya tidak bisa serta merta dianggap baik dengan banyaknya jumlah sekolah dan perguruan tinggi, serta tenaga pengajar yang menyandang gelar akademik yang tinggi.Â
Meminjam terminologinya Erich Fromm tentang Masyarakat yang Sehat, pada kenyataannya mayoritas masyarakat di Indonesia masih jauh dari gambaran tersebut. Industrialisasi dan modernisasi membentuk lingkungan sosial yang membuat manusia menjadi mahluk yang tamak, egois dan mementingkan diri sendiri.Â
Kondisi ini diperjelas di wilayah perkotaan. Begitu warganya keluar dari rumah, ia akan masuk dalam arus mobilitas yang padat dan banal yang selalu berusaha melanggar aturan dan norma yang telah ditentukan.
Siapa mereka itu? Mereka adalah warga negara yang cukup beruntung karena terakomodir dalam dunia kerja. Syarat menjadi seperti mereka, tidak sederhana. Mereka harus menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya dan lulus dari seleksi yang ketat untuk punya aktivitas harian yang disebut kerja.Â
Dari rangkaian perjalanan hidup mereka, sudah tentu pendidikan mereka miliki. Lalu, seberapa berpengaruh pendidikan tersebut dengan persaingan di jalan raya. Â Kesemrawutan menjadi tontonan harian yang berulang itu tanpa penyikapan yang jelas, kalau pun ada cendrung manipulatif dan koruptif. Â Secara alamiah perilaku yang berulang akan masuk dalam memori bawah sadar dan berubah menjadi budaya.
Bagaimana dengan warga di pedesaan? Perkembangan teknologi informasi ternyata tidak diantisipasi dengan kesiapan yang cukup. Virus modernisme yang dikendalikan oleh industri, hanya tinggal menunggu sedikit waktu untuk mengubah sistem kehidupan masyarakat desa.
Romantisme kehidupan desa yang dulu dianggap sebagai kesahajaan, saat ini sudah mulai tergerus dengan perilaku gaya hidup yang semakin modern. Situasi ini justru akan membawa dampak yang lebih parah lagi.
Penyebutan frasa kesahajaan perlu dicurigai prespektif berpikirnya. Cara hidup mayarakat desa tempo dulu tidak tercipta dengan sendirinya. Sistem sosial mereka tergolong kokoh untuk lingkungan di mana mereka tinggal. Sebagaimana masyarakat tradisional, mereka berhimpun di satu wilayah dengan mengupayakan sumber daya alam yang ada untuk penghidupannya. Namun lambat laun sistem itu dipengaruhi secara determinan oleh kekuasaan yang berada jauh dari lingkungan  (extrasocietal) tersebut.Â
Pada masa kekuasaan feodal, warga desa hanya memahami hidup dengan keterbatasan interaksi. Â Saat terjadi interaksi dengan elemen luar lingkungan sistem hidup mereka, yang terjadi adalah penaklukkan. Warga desa harus merelakan kepemilikan tanah mereka digunakan untuk kepentingan penguasa feodal. Hal yang sama juga terjadi saat kekuasaan kolonial masuk dan semakin memperparah keadaan. Lalu pada masa kemerdekaan hingga saat ini, apakah terjadi perubahan yang lebih baik?
Tanpa menegasikan semua upaya pembangunan yang dilakukan, hasilnya belum mampu mewujudkan kualitas talenta manusia Indonesia. Â Baik di kota maupun di desa, saat ini sistem sosialnya sudah menjadi subsistem dari ekonomi dan politik. Alokasi nilai otoritatif yang dimiliki oleh kekuasaan politik, membuat masyarakat menjauh dari lingkungannya sediri. Situasi ini yang disebut oleh Marx sebagai alienasi. Masyarakat terdidik patuh mengabdi pada sistem ekonomi politik untuk mempertahankan hidupnya, kendati tereduksi kemanusiaannya.
Pendidikan Sebagai Infrastruktur Tujuan
Komitmen Presiden Jokowi untuk membangun talenta manusia Indonesia yang mumpuni, tentu harus disambut hangat. Sumberdaya manusia yang sekarang sering disebut dengan talenta itu, memang telah lama menjadi problem bangsa. Awal kemerdekaan kita memulai dengan 90% Â warga yang buta huruf.Â
Saat ini, setelah 74 tahun merdeka angkanya berkurang signifikan, tinggal 1,93% yang setara dengan sekitar 3 juta penduduk (BPS,2018). Namun ada fakta lain cukup memprihatinkan, survey Programe for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, menempatkan Indonesia di peringkat ke-62 dari 72 negara yang disurvei. Tentu ada yang salah dengan kondisi ini, kemampuan membaca tidak diikuti dengan minat membaca yang memadai.
Rendahnya minat baca akan dihadapkan pada kerapuhan bangsa untuk mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang berkarakter dan berdaulat. Kecendrungan tersebut juga diidap oleh para elit yang semakin miskin dengan narasi kebangsaaan, kecuali mengulang-ulang komitmen para pendiri bangsa tanpa mengkontekstualisasikannya pada situasi kekinian.
Narasi singkat dan padat yang ditawarkan, hanya terbatas pada stabilitas dan pembangunan ekonomi. Â Hal ini sudah dilakukan sejak zaman Orde Baru yang terbukti gagal, Â bahkan membawa kemerosotan yang saat ini menjadi sulit untuk dinaikan.Â
Jika cara yang sama dilakukan, maka pada dasarnya tidak ada terobosan berarti yang dilakukan walau kerap pemerintah disebut melakukan sesuatu  yang out of the box, seperti ditunjuknya Nadiem sebagai Mendikbud.Â
Pada masa Orba, Soeharto juga melakukan sesuatu yang dianggap out of the box, dengan mengubah arah relasi kerjasama negara dengan blok barat dan menggunakan isu komunisme untuk mendapatkan bantuan luar negeri.
Hal yang sama dengan isu berbeda juga dilakukan oleh pemerintah saat ini, kekayaan sumberdaya alam dan bonus demografi dijadikan dasar untuk mendapatkan dukungan berupa investasi. Hal ini yang telah berhasil dilakukan Nadiem pada bisnis Gojeknya. Di usia yang relatif muda, dengan cerdas dia mampu melihat keunggulan tersebut sebagai potensi bisnis yang luar biasa.Â
Hanya terbilang sedikit tahun, valuasi asset Gojek mencapai 75 trilyun yang berarti 12 kali lebih tinggi dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang sudah berumur setara dengan usia republik ini. Â Nadiem sendiri diperkirakan memiliki kekayaan sebesar 1,45 trilyun. Angka ini mungkin tidak terbayang oleh para pengemudi gojek yang setiap harinya harus berjibaku di keruwetan lalu lintas jalan raya. Dengan segala resiko yang harus ditanggung sendiri, mereka berhasil membangun pundi-pundi kekayaan untuk Gojek dan pemiliknya.
Nah, kita semua menunggu langkah apa yang akan ditempuh oleh Nadiem untuk mengatasi masalah pendidikan dan kebudayaan di negeri ini. Referensi utama manusia adalah pengalaman hidupnya.Â
Apakah cara yang sama seperti mengelola bisnisnya akan ditempuh oleh Nadiem? Ataukah ada cara lain agar yang dimaksud dengan out of the box atas pemilihannya memang benar-benar terjadi. Atau sebenarnya kita hanya sekadar memperjelas ketertundukan pada oligarki pasar, hingga pendidikan dan kebudayaan yang merupakan infrastruktur tujuan diarahkan pada orientasi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H