Putnam (1993) menegaskan bahwa social capital yang terbentuk melalui keterlibatan warga dalam komunitas dapat memperkuat institusi demokrasi dan mendorong pemerintahan yang lebih akuntabel dan transparan.
Warga negara perlu berperan sebagai mitra aktif dalam pemerintahan, bukan sekadar sebagai pengamat pasif. Ini sejalan dengan konsep deliberative democracy yang diuraikan oleh Habermas (1996), di mana keputusan politik yang legitimatif harus melibatkan diskusi publik yang partisipatif.Â
Dengan menjadi mitra aktif, warga tidak hanya memastikan bahwa pejabat terpilih tetap bertanggung jawab dan transparan, tetapi juga mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Apatisme politik bukan hanya ancaman bagi kualitas demokrasi, tetapi juga bagi keberlanjutan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, membangun budaya partisipasi aktif harus menjadi prioritas nasional untuk menjaga Indonesia tetap berada di jalur demokrasi yang sehat dan dinamis.
Kekuatan Pemerintahan Kolaboratif
Pemimpin daerah harus menyadari bahwa dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, model pemerintahan top-down sudah tidak relevan lagi. Pemerintahan yang efektif harus bersifat partisipatif, inklusif, dan kolaboratif. Kekuatan Indonesia terletak pada keberagamannya, yang mencakup lebih dari 1.300 kelompok etnis dan lebih dari 700 bahasa daerah (BPS, 2021).Â
Kepemimpinan yang mampu merangkul keberagaman ini akan menciptakan kebijakan yang tidak hanya representatif, tetapi juga mampu menyuarakan aspirasi semua lapisan masyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Mansuri dan Rao (2013) dalam Localizing Development: Does Participation Work?, tata kelola partisipatif yang melibatkan masyarakat sipil, organisasi pemuda, kelompok perempuan, dan masyarakat terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah.
 Model ini memungkinkan masyarakat untuk merasa dilibatkan dalam pembangunan, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi kebijakan serta menumbuhkan rasa kepemilikan bersama (shared ownership).
Perubahan dari tata kelola tradisional ke pendekatan inklusif ini juga dapat meningkatkan kohesi sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Fukuyama (1995) dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity menegaskan bahwa kohesi sosial dan kepercayaan merupakan fondasi penting bagi keberhasilan pembangunan jangka panjang.Â
Ketika masyarakat merasa didengar dan terlibat, mereka lebih mungkin mendukung kebijakan pemerintah serta berkontribusi secara aktif dalam pelaksanaan program pembangunan di tingkat lokal.