Banyak seniman, sastrawan, dan sineas telah membuktikan bahwa bahasa daerah dapat menjadi sumber penghasilan yang berkelanjutan, sekaligus menjaga identitas budaya.Â
Misalnya, film dan karya sastra berbasis bahasa daerah telah mendapatkan apresiasi internasional, seperti film Kucumbu Tubuh Indahku yang menggunakan bahasa Jawa dan memenangkan penghargaan di berbagai festival film dunia (Tempo, 2021).
Potensi ini menunjukkan bahwa bahasa daerah bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sumber daya ekonomi yang kompetitif jika dikelola dengan inovasi dan kolaborasi lintas sektor. Oleh karena itu, pelestarian bahasa daerah harus dilihat sebagai investasi masa depan, bukan sekadar upaya nostalgis untuk mempertahankan tradisi.
Pertanyaannya kini: apakah kita sebagai penutur siap menjadikan bahasa daerah sebagai warisan yang hidup, bukan sekadar kenangan?
Namun kini, saat surat suara dihitung dan pemenangnya diumumkan, satu pertanyaan penting muncul: Apa selanjutnya?
Selesainya pilkada bukan sekadar akhir dari kontes politik; ini menandai dimulainya babak baru dalam tata kelola, keterlibatan masyarakat, dan upaya mencapai pembangunan yang inklusif. Yang lebih penting, ini merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukkan model demokrasi dan multikulturalisme yang unik kepada masyarakat internasional.
Melampaui Kotak Suara: Dari Pemilih Menjadi Warga Negara Aktif
Salah satu tantangan paling mendesak yang dihadapi Indonesia pascapemilu adalah meningkatnya risiko apatisme politik. Banyak warga negara masih menganggap pemungutan suara sebagai puncak kewajiban mereka dalam demokrasi, lalu menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pemerintahan kepada para pemimpin terpilih. Pola pikir ini perlu diubah secara fundamental.Â
Seperti yang dikemukakan Huntington (1991), demokrasi bukanlah sekadar mekanisme elektoral, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang membutuhkan partisipasi aktif dan berkesinambungan dari warga negara.Â
Tanpa partisipasi yang berkelanjutan, demokrasi dapat terjebak dalam democratic fatigue, di mana warga menjadi pasif dan sistem politik kehilangan vitalitasnya.
Di negara yang beragam secara etnis, agama, dan budaya seperti Indonesia, partisipasi warga negara aktif menjadi lebih krusial. Keterlibatan politik seharusnya tidak berhenti pada bilik suara, tetapi harus meluas ke ranah pemantauan kinerja pemerintah, partisipasi dalam konsultasi publik, serta pengembangan inisiatif berbasis masyarakat.Â