Mohon tunggu...
Dwi Klik Santosa
Dwi Klik Santosa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis Dongeng Nusantara dan Menulis Apa Saja demi Memanja Kecintaan kepada Hidup yang Damai dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Tukulisme Seorang Ganjar

10 September 2023   17:23 Diperbarui: 10 September 2023   17:26 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Selama menjadi Gubernur Jateng, dijelek-jelekkan seringkali dialami Ganjar Pranowo. Apalagi soal kasus Wadas. Ada beberapa pihak menuduhkan kepada Gubernur tidak pro rakyat.

Tidak hanya itu, soal banyak hal tentang kebijakan yang selalu dibuatnya, lantas ada saja yang bilang ia pemimpin yang “kemlinthi”. Kemlinthi itu kata lain dari sok-sokan.

Apa sikap Ganjar menanggapi asumsi buruk itu?

“Biasa saja,” begitu kata Ganjar, “Pimpinan itu tempatnya dimarah-marahin. Kalau tidak mau dimarahi jangan jadi pemimpin.”

Ganjar bersikap terbuka dan menerima segala ekpresi perasaan yang diungkapkan warga. Termasuk ungkapan kemarahan. Daripada menanggapi dengan pembenaran, ia lebih memilih mengoreksi diri sendiri.

Ketika dalam posisi marah, seseorang akan membuang segala hal yang rasional. Karena itu Ganjar lebih memilih berkaca menggunakan ilmu Tukul.

Ilmu Tukul itu Ganjar menyebutnya sebagai Tukulisme. Asal-usul logika yang dipakai  berasal dari gestur dan pemikiran seorang Tukul Arwana dalam membawakan Talkshow program televisi.

 

Ketika dijelek-jelekkan dengan apapun tuduhan, yang dilakukan Tukul adalah dengan selalu mengoreksi dirinya sendiri. Justru Tukul menertawakan dirinya sendiri. Artinya apa? 

 

“Nggak usah nyalahin orang dulu,” begitu kata Ganjar. 

 

Pemimpin itu selalu berkilah ketika dituduh, bahkan berusaha mencoba cuci tangan. Memang berat rasanya dituduh apalagi dijelek-jelekkan. Namanya politik apa saja bisa terjadi.

 

Ganjar menganggap mengoreksi dan menertawakan diri sendiri itu hal sulit dilakukan. Menjadi seorang pemimpin itu memang tidak mudah. Tidak senampaknya mentereng karena ditempatkan dan menjadi pusat dari perhatian.

 

Justru menempati posisi dan mendapat sorotan itu menjadi inti dari kepemimpinan. Bisa tidak dalam menempatkan diri pantas dan layak menjadi perhatian. Kalau mendapatkan masalah dan tuduhan suka berkilah dan cuci tangan, memang benar belaka jika kemudian banyak yang mencemooh.

 

Menertawakan diri sendiri itu sehat. Jika terkandung di dalamnya introspeksi untuk mengukur diri sendiri. Apakah sudah benar, sesuai atau belum, jangan-jangan ada yang kurang.

 

Namun begitu, kepemimpinan bukan hanya milik seorang Gubernur. Milik siapa saja yang punya posisi mengatur dan membawahi anak buah. Ilmu tukulisme itu tidak saja berlaku hanya untuk Ganjar. Tapi juga kepada siapapun itu.

 

Memberi kritik apalagi menjelek-jelekkan, apakah sudah pada tempatnya? Apakah sesuai dengan fakta? Apa tujuan sebenarnya?

 

Jika banyak hal tentang tuduhan itu memang dimaksudkan sebagai koreksi tentu punya sinergi bahkan empati. Tidak semata-mata dilesakkan hanya demi mengumbar ketidakpuasan. 

 

Atau jangan-jangan karena merasa dirugikan lantas memberi pernyataan dengan menjelek-jelekkan. Dirugikan karena apa? Ini juga harus objektif. Harus melihat faktual dari proses dan data. 

 

Sehingga tuduhan yang bernada miring dan menyudutkan, kemlinthi dan sebagainya itu tidak harus mengemuka. Tapi benar, bahwa dalam politik, apa saja bisa dilakukan. 

 

Orang-orang yang merasa dirugikan lantas membuat pernyataan senonoh seringkali menggunakan politik sebagai caranya untuk melampiaskan atau menutupi kebobrokannya. 

 

Karenanya, politik sebagai salah satu cabang keilmuan untuk andil menegakkan kebenaran jadi konotatif maknanya.

 

Realita seperti itu menjadi sebuah kebiasaan. Karenanya, ketika ditanya tentang perasaannya ketika dijelek-jelekkan, Ganjar menjawab, biasa saja. Karena memang ia seorang politikus, tentu tahu dan sangat paham dengan habit seperti itu sebagai medan politik.

 

Memilih menjadi “tukulisme” adalah hak seorang Ganjar. Karena memang untuk apa harus menjawab dengan ketus pula. Banyak waktu terbuang. Lebih baik fokus menjalani tugas dan tanggungjawab yang lain. Tanpa mengabaikan adanya kritik itu, jika memang dimaksudkan sebagai koreksi.

 

Jika gara-gara dijelek-jelekkan dan disebut kemlinthi Ganjar marah, hanya akan mengendorkan saja semangat juangnya untuk terus bisa bekerja dengan baik.

 

(Dwi Klik Santosa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun