Mohon tunggu...
Dwiki Setiyawan
Dwiki Setiyawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

#Blogger #Solo #Jakarta | Penyuka #Traveling #Sastra & #Politik Indonesia| Penggiat #MediaSosial; #EventOrganizer; #SEO; http://dwikisetiyawan.wordpress.com https://www.facebook.com/dwiki.setiyawan http://twitter.com/dwikis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilham pada Proses Lahirnya Puisi "Rakyat" Karya Hartojo Andangdjaja

9 November 2009   09:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Rakyat ialah Kita Beragam Suara di Langit Tanah Tercinta (http://www.kompas.com)"][/caption]

SALAH satu puisi wajib yang acapkali dilombakan dan dibacakan menjelang atau saat Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, yakni puisi Rakyat karya Hartojo Andangdjaja. Puisi tersebut memang menggigit. Memiliki kedalaman makna dan suasana, serta yang pasti mengedepankan pesan bahwa "rakyat merupakan sumber kedaulatan dan cikal bakal bagi tegak dan berdirinya negara." Namun tahukah pembaca, bagaimana proses lahirnya ilham pada puisi Rakyat karya Hartojo Andangdjaja tersebut?

Sebelum saya memaparkan proses kreatif lahirnya ilham puisi ini, terlebih dahulu kita resapi bait-bait puisi karya Hartojo Andangdjaja dimaksud. Sebuah puisi yang amat relevan dengan situasi nasional yang kita hadapi hari-hari ini...


RAKYAT


hadiah di hari krida

buat siswa-siswa SMA Negeri

Simpangempat, Pasaman.


Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
dibumi tanah tercinta
jutaan tangan yang mengayun bersama
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik dikota
menaikan layar, menebar jala
meraba kelam ditambang logam batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak disimpangsiur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara dilangit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi dipegunungan jelita
suara bonang mengambang dipendapa
suara kecak dimuka pura
suara tifa dihutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna diwajah semesta
didarat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
dilaut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi diwajah semesta

Rakyat ialah kita
darah ditubuh bangsa
debar sepanjang masa

***

Sering dikatakan, sastra adalah cermin masyarakat. Puisi karya Hartojo Andangdjaja sebagai karya sastra diatas, hemat saya bukan saja cermin akan tetapi merupakan potret masyarakatnya. Sejatinya, melalui karya itu kita bukan hanya dapat memahami kontekstualisasi tatkala karya itu lahir, namun juga mampu melihat keterkaitan antara seorang pengarang dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.

Sehubungan dengan itu, Pamusuk Eneste, editor buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, mengatakan bahwa sebuah karya sastra sudah barang tentu tidak mungkin lepas dari pengarangnya. "Sebelum karya itu sampai kepada pembaca, sudah pasti ia melewati suatu proses yang panjang (proses yang sering kali tidak diketahui pembaca awam dan sering pula disepelekan para penelaah sastra). Mulai dari dorongan untuk menulis, pengendapan ide (ilham), penggarapannya, sampai akhirnya tercipta sebuah karya sastra yang utuh dan siap untuk dilemparkan kepada publik." ungkapnya dalam kata pengantar buku jilid kedua yang diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Juli 2009.

Hartojo Andangdjaja sendiri, di harian Sinar Harapan edisi 13 Juli 1971, mengungkapkan bagaimana puisi Rakyat diatas lahir, sebagaimana dikutip oleh Aoh K Hadimadja dalam buku Seni Mengarang terbitan Pustaka Jaya Jakarta Cetakan Ketiga Tahun 1981.

Menurut Hartojo, puisi tersebut tidak ditulis sekaligus. Melainkan terputus-putus, diselang-seling hingga beberapa bulan antara satu bait dengan bait lain.

Penyair berasal dari Solo Jawa Tengah ini pernah menjadi guru di Simpangempat, Pasaman, Sumatera Barat. Di Simpangempat itulah ia turut bergotong royong membuka sebidang ladang ilalang menjadi lapangan olah raga dan tempat sekolah. Pada saat itulah timbul gagasan untuk menulis puisi, yang menggambarkan semacam kebanggaan rakyat. Akan tetapi ia tidak ingin menulis puisi yang dangkal, dan berisi propaganda dan bombasme seperti yang tampak pada puisi-puisi bertema sosial.

Beberapa bulan ide tersebut menguasai pikirannya, namun satu baris pun tidak ada yang tergores diatas kertas, hingga akhirnya ia merasa kehilangan kemampuan untuk mengerjakannya. Sampailah saatnya Hartojo berliburan ke Padang melalui jalur laut, naik motorboat, tetapi di tengah jalan juru mudi berteriak: "Badai." Maka diarahkannya kapalnya ke sebuah pulau dan berlindung di sana. Semua penumpang selamat, tetapi yang tetap dalam ingatan Hartojo, ialah:

"awan menyimpan topan."

yang bukan saja mengandung kenyataan, akan tetapi juga mengandung kehebatannya.

Sesampai di Padang, dalam suasana santai, ia kembali teringat pekerjaannya tentang gotong royong dengan mencangkul dan memikul batu dari singai untuk lapangan olah raga itu. Terlintas pula dalam ingatannya nelayan-nelayan yang menebar jala di pantai Sasak. Maka demikianlah alhir bait yang pertama.

Di Padang Hartojo tinggal di sebuah wisma. Beruntunglah ia dari kamar sebelah mendengar bunyi kecapi Sunda. Dan di wisma itu tinggal bermacam-macam suku. Pendengaran itu membuat pikirannya bergerak dari satu daerah ke daerah lain dan terbentuklah baris-baris yang tersusun dalam bait ketiga.

Di ibukota Sumatera Barat itulah pula dilihatnya keuletan rakyat berdagang, kecerdasannya untuk tidak bisa ditipu, kelihaiannya untuk mencari jalan sendiri guna mencapai sukses dalam perdagangan. Maka terbentuklah bait yang lain pada malam itu, yang dijadikannya sebagai bait kedua.

Maka sampai d tertulis tiga bait yang pertama dengan kesadaran, bahwa menurutnya, rakyat itulah kita, yang bekerja dan bukan mereka yang hanya pandai berpidato dan melambai-lambaikan janji-janji kosong seperti yang diucapkan pemimpin-pemimpin kita.

Dilihatnya rakyat yang baik dan tenang itu dalam awan tenang pula, akan tetapi sewaktu-waktu bisa meledak bagaikan topan. Hanya saja saat itu ia belum bisa didapatkan gagasan, di manakah kalimat itu akan diletakkannya? Namun baris itu telah membawa lamunannya kembali ke laut. Dan sekonyong-konyong teringatlah ia akan angin, waktu akan terjadi topan itu. Maka terkatalah dalam benaknya:

"angin yang menyapu kabut."

Waktu itu bukan di laut, melainkan Hartojo sudah kembali ke Simpangempat. Di tengah hari pula, yang terasa menyengat panansnya. Panas itu seolah membuat dia terlihat tubuh seorang epatni, yang sedang mencangkul di ladang sebelah rumahnya. Tampak olehnya keringat petani yang berkilat-kilat, yang kemudian melengkapi bait keempat.

Puisi berjudul Rakyat itu ditutupnya dengan baris-baris yang telah menjadi keyakinannya sejak sekian lama, bahwa:

"rakyat ialah kita, darah di tubuh bangsa, debar sepanjang masa."

***

Menyimak proses lahirnya puisi Rakyat berdasarkan penuturan penulisnya di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam mencipta seorang penulis dituntut untuk mengasah kepekaannya dengan memperhatikan segala hal yang bisa ditangkap melalui pancaindera. Dengan membaca, melihat, mendengar, merasai, dan membaui fenomena sosial yang ada di sekelilingnya. Dengannya seorang penulis tidak mungkin kekeringan sumber ilham.

Apabila ada seorang penulis yang menyatakan dirinya kekeringan ide, itu sebenarnya pernyataan kurang tepat. Mengalami kebuntuan ide, mungkin, sebagaimana pernah dialami Hartojo Andangdjaja tatkala ia menulis puisi Rakyat di atas. Sebab, jika kekeringan ide maka sesungguhnya si penulis telah menutup rapat-rapat pancaindera yang dimilikinya....

***

SEKILAS PROFIL HARTOJO ANDANGDJAJA:

Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada 4 Juli 1930. Ia dan meninggal di kota kelahirannya Solo pada 30 Agustus 1991. Karya-karya aslinya: Simphoni Puisi (1954; bersama D.S. Moeljanto), Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, et. al.), Buku Puisi (1973), Dari Sunyi ke Bunyi (1991; kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud 1993). Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (1976; Rabindranath Tagore), Kubur Terhormat bagi Pelaut (1977; Slauerhoff), Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid al-Din Attar), Puisi Arab Modern (1984), Kasidah Cinta ( tentang puisi sufi Jallaludin Rumi).

*****

Sumber Foto: Klik Sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun