"awan menyimpan topan."
yang bukan saja mengandung kenyataan, akan tetapi juga mengandung kehebatannya.
Sesampai di Padang, dalam suasana santai, ia kembali teringat pekerjaannya tentang gotong royong dengan mencangkul dan memikul batu dari singai untuk lapangan olah raga itu. Terlintas pula dalam ingatannya nelayan-nelayan yang menebar jala di pantai Sasak. Maka demikianlah alhir bait yang pertama.
Di Padang Hartojo tinggal di sebuah wisma. Beruntunglah ia dari kamar sebelah mendengar bunyi kecapi Sunda. Dan di wisma itu tinggal bermacam-macam suku. Pendengaran itu membuat pikirannya bergerak dari satu daerah ke daerah lain dan terbentuklah baris-baris yang tersusun dalam bait ketiga.
Di ibukota Sumatera Barat itulah pula dilihatnya keuletan rakyat berdagang, kecerdasannya untuk tidak bisa ditipu, kelihaiannya untuk mencari jalan sendiri guna mencapai sukses dalam perdagangan. Maka terbentuklah bait yang lain pada malam itu, yang dijadikannya sebagai bait kedua.
Maka sampai d tertulis tiga bait yang pertama dengan kesadaran, bahwa menurutnya, rakyat itulah kita, yang bekerja dan bukan mereka yang hanya pandai berpidato dan melambai-lambaikan janji-janji kosong seperti yang diucapkan pemimpin-pemimpin kita.
Dilihatnya rakyat yang baik dan tenang itu dalam awan tenang pula, akan tetapi sewaktu-waktu bisa meledak bagaikan topan. Hanya saja saat itu ia belum bisa didapatkan gagasan, di manakah kalimat itu akan diletakkannya? Namun baris itu telah membawa lamunannya kembali ke laut. Dan sekonyong-konyong teringatlah ia akan angin, waktu akan terjadi topan itu. Maka terkatalah dalam benaknya:
"angin yang menyapu kabut."
Waktu itu bukan di laut, melainkan Hartojo sudah kembali ke Simpangempat. Di tengah hari pula, yang terasa menyengat panansnya. Panas itu seolah membuat dia terlihat tubuh seorang epatni, yang sedang mencangkul di ladang sebelah rumahnya. Tampak olehnya keringat petani yang berkilat-kilat, yang kemudian melengkapi bait keempat.
Puisi berjudul Rakyat itu ditutupnya dengan baris-baris yang telah menjadi keyakinannya sejak sekian lama, bahwa:
"rakyat ialah kita, darah di tubuh bangsa, debar sepanjang masa."