Mohon tunggu...
Dwi Jati Marta
Dwi Jati Marta Mohon Tunggu... Administrasi - Kepulauan Bangka Belitung

Seorang pegawai di Lingkungan Pemerintahan Daerah yang mencoba mengembangkan opini melalui penulisan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Semenanjung Korea: Titik Api Nuklir dan Menguncang Dunia

13 Agustus 2024   14:20 Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:25 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, program nuklir dan rudal Korea Utara menarik perhatian internasional lagi, terutama setelah Korea Utara menembakkan tiga rudal ke laut di tengah pandemi COVID-19. Sebuah lembaga think tank AS, Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan bahwa Korea Utara saat ini sedang membangun fasilitas yang cukup besar untuk menyimpan rudal balistik, menurut gambar satelit yang dianalisis. Menurut kompas.com (7 Mei 2020), fasilitas yang dibangun di dekat Bandara Internasional Pyongyang sudah hampir selesai dan diyakini berhubungan dengan Hwasong-15, program pengembangan rudal balistik antarbenua Korea Utara.

Menurut para analis, uji coba dan pengembangan rudal Korea Utara menunjukkan bahwa, meskipun perundingan nuklir dengan AS telah dihentikan, Korea Utara terus memperbaiki kemampuan persenjataannya (Kompas, 26 Juni 2020). Setelah pertemuan tiga kali antara Presiden Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, tidak ada perkembangan yang signifikan. Sekarang, agenda pemilihan presiden AS telah menghalangi perundingan tentang denuklirisasi Semenanjung Korea. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena ancaman nuklir terus mengintai di Semenanjung Korea, dan rezim Korea Utara saat ini kembali mengadopsi kebijakan isolasi dan menarik diri dari perundingan tentang denuklirisasi dan perdamaian.

Penyebab Korea Utara Menarik Diri Dari Perundingan

Korea Utara telah terlibat dalam berbagai perundingan multilateral, termasuk Perundingan Enam Pihak yang disebut "Perundingan Denuklirisasi" yang melibatkan Korea Selatan, Jepang, Cina, Rusia dan Amerika Serikat. Namun, Korea Utara berulang kali menarik diri dari perundingan tersebut. Kebijakan isolasi Korea Utara dalam bentuk penarikan diri dari perundingan terkait denuklirisasi dan proses perdamaian di Semenanjung Korea memang cukup mengejutkan jika dikaitkan dengan proses interaksi antar-kedua Korea. Beberapa alasan utama termasuk kegagalan dalam mencapai kesepakatan yang memadai mengenai penghentian sanksi, keinginan untuk mendapatkan jaminan keamanan yang lebih kuat dari Amerika Serikat, serta persepsi bahwa program nuklir adalah satu-satunya kartu as yang dimiliki Pyongyang dalam negosiasi internasional.

Konsekuensi dan Prospek Perdamaian serta Stabilitas Internasional

Ancaman nuklir Korea Utara telah mengganggu stabilitas di Asia Timur dan di seluruh dunia. Dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan mempertimbangkan untuk meningkatkan kekuatan militer mereka, ketegangan di Semenanjung Korea dapat menyebabkan perlombaan senjata di wilayah tersebut. Di tingkat global, ancaman ini mendorong organisasi internasional untuk terus berusaha untuk mencegah konflik besar melalui diplomasi, sanksi, dan metode pencegahan lainnya.

Kemungkinan perdamaian Semenanjung Korea masih tidak pasti. Kemajuan menuju denuklirisasi masih sangat lambat meskipun ada periode detente dan diplomasi, seperti pertemuan puncak antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Ancaman nuklir di Semenanjung Korea akan terus menjadi ancaman besar bagi perdamaian dan stabilitas dunia jika tidak ada komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat, termasuk tindakan untuk menciptakan kepercayaan dan mencapai penyelesaian yang komprehensif.

Kebijakan Korea Utara untuk mengisolasi diri akan membuat negara tersebut memilih untuk lebih memprioritaskan kepentingannya, bahkan mungkin mengabaikan kekhawatiran negara-negara lain di kawasan akan isu nuklir Korea Utara. Jika sudah demikian, konsekuensi yang akan muncul dari kebijakan isolasi Korea Utara adalah potensi bagi terjadinya konflik antara Korea Utara dengan negara-negara penentangnya di kawasan Semenanjung Korea akan semakin terbuka, khususnya dengan Korea Selatan dan AS. Situasi seperti itu sudah terlihat belakangan ini, ketika para pejabat tinggi Korea Utara, termasuk Kim Yo Jong, saudara perempuan Kim Jong Un, menyikapi aktivitas anti-Korea Utara di Korea Selatan dengan menetapkan bahwa kerja sama dengan Korea Selatan harus sepenuhnya berubah menjadi pekerjaan melawan musuh (japantimes.co., 16 Juni 2020).

Oleh karena itu, kebijakan isolasi Korea Utara dapat menyebabkan ketegangan dan bahkan konflik jika Korea Utara tidak bersedia lagi berbicara dan berbicara tentang denuklirisasi Semenanjung Korea. Selain itu, prospek perdamaian di Semenanjung Korea semakin dipertanyakan karena menjadi tempat konflik antara Korea Utara dan AS, terutama terkait masalah nuklir. Korea Utara menganggap sanksi PBB sebagai pelanggaran keras terhadap kedaulatan Korea Utara dan menganggapnya sebagai tindakan perang yang akan menghancurkan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.

Pandangan Korea Utara tentang sanksi PBB tersebut secara tidak langsung mencerminkan kebijakan isolasi Korea Utara, termasuk program nuklirnya, dan upayanya untuk menghindari tuduhan. Jika Korea Utara terus menerapkan kebijakan isolasi ini, itu dapat mengganggu proses perdamaian di Semenanjung Korea dan mengancam stabilitas keamanan wilayah tersebut. Ada kemungkinan bahwa isolasi diri kembali Korea Utara akan menyebabkan anarki internasional baru di Asia Pasifik dan reaksi yang salah dari negara-negara besar yang terancam dapat menyebabkan konflik militer.

Karena implikasinya yang luas bagi stabilitas keamanan di seluruh wilayah, termasuk Asia Tenggara, konflik terbuka dalam bentuk perang antarnegara tidak seharusnya menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi isolasi Korea Utara. Oleh karena itu, pendekatan seperti perundingan, diskusi, dan diplomasi harus terus diupayakan. Untuk mendorong kembali dialog perdamaian di Semenanjung Korea, khususnya antara Korea Utara dan Korea Selatan dan AS, masyarakat internasional, khususnya negara-negara di kawasan yang berkepentingan dengan perdamaian di Semenanjung Korea, termasuk ASEAN, harus berperan. ASEAN dapat melakukan ini melalui forum Regional ASEAN (ARF), di mana Korea Utara juga berpartisipasi. Karena Indonesia memiliki hubungan diplomatik dan hubungan baik dengan Korea Utara, jelas bahwa Indonesia juga harus berpartisipasi dalam proses perdamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun