Pendahuluan
Semenanjung Korea menarik perhatian media dunia akhir-akhir ini, bukan karena pemberitaan akan harapan terciptanya perdamaian sebagaimana pernah tercetusnya pasca-pertemuan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Tahun 2018 lalu. Akan tetapi ketegangan kembali terjadi setelah Korea utara menutup diri terhadap Korea Selatan yang diperkirakan akan memicu ketegangan kembali. Semenanjung Korea telah lama menjadi salah satu titik panas geopolitik dunia, dengan ketegangan yang terus bergejolak antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang didukung oleh sekutu-sekutu internasional masing-masing. Ketegangan  Salah satu faktor yang paling menonjol dan berbahaya dari ketegangan ini adalah ancaman nuklir dari Korea Utara. Dengan kemampuan senjata nuklir yang terus berkembang, Korea Utara telah menimbulkan kekhawatiran besar bagi perdamaian dan stabilitas global.
Sejarah Nuklir di Dunia
Senjata nuklir pertama kali dikembangkan selama Perang Dunia II dengan Proyek Manhattan oleh Amerika Serikat, yang berujung pada pengeboman Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada tahun 1945. Setelah itu, senjata nuklir menjadi simbol kekuatan militer dan alat tawar-menawar politik, dengan berbagai negara, termasuk Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan China, mengikuti jejak Amerika Serikat dalam mengembangkan kemampuan nuklir mereka sendiri. Perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin membawa dunia pada ambang kehancuran, dengan konsep "Mutual Assured Destruction" (MAD) menjadi pencegah utama dari konflik nuklir skala penuh.
Dampak Positif dan Negatif Nuklir
Senjata nuklir, meskipun sangat merusak, juga memiliki dampak positif dalam bentuk pencegahan konflik besar melalui ancaman timbal balik. Kekuatan penghancur dari senjata nuklir telah membuat negara-negara adidaya berpikir dua kali sebelum terlibat dalam perang skala penuh. Namun, dampak negatifnya jauh lebih besar, termasuk risiko kehancuran masif, kontaminasi radioaktif yang dapat berlangsung selama ribuan tahun, serta biaya moral dan etika yang terkait dengan penggunaan senjata yang bisa memusnahkan jutaan nyawa dalam sekejap. Selain itu, proliferasi senjata nuklir menimbulkan risiko bahwa teknologi ini dapat jatuh ke tangan aktor-aktor non-negara, seperti kelompok teroris.
Program Senjata Nuklir di Korea Utara
Korea Utara mulai mengembangkan program senjata nuklirnya pada akhir 1980-an dan melaksanakan uji coba nuklir pertamanya pada tahun 2006. Sejak saat itu, Korea Utara telah melakukan beberapa uji coba nuklir dan pengembangan teknologi rudal balistik, yang meningkatkan kemampuan serangan jarak jauh mereka. Program nuklir Korea Utara dipandang sebagai cara bagi negara tersebut untuk memastikan kelangsungan hidup rezimnya, memperoleh pengaruh di kancah internasional, dan menangkis ancaman dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Melihat ke belakang, pemikiran Kim Il-sung, pendiri Korea Utara, memengaruhi dan mendominasi inisiatif pengembangan nuklir Korea Utara. Dia percaya bahwa tindakan yang dia lakukan akan membawa keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur dalam jangka panjang. Selain itu, Kim Jong-il, putra sulung Kim Il-sung, yang akan menjadi pemimpin Korea Utara berikutnya, sangat tertarik untuk membangun program nuklir (Kompas.com, 12 Juni 2018).
Kim Jong Un, yang menjabat pada awal 2012 setelah ayahnya, Kim Jong-il, meninggal pada 2011, tidak berhasil mencegah Korea Utara untuk berhenti mengembangkan program nuklirnya, bahkan membuat keadaan keamanan di Semenanjung Korea semakin memburuk. Secara politis, nuklir, terutama senjata nuklir, memberi Korea Utara daya tawar dalam menghadapi dunia internasional dan membantu mempertahankan rezim yang dapat meningkatkan dukungan domestik dan menangkal potensi ancaman dari luar, terutama dari AS dan Korea Selatan. Namun demikian, nuklir Korea Utara, termasuk persenjataan rudalnya, telah menimbulkan perhatian internasional pada saat yang sama.
Akhir-akhir ini, program nuklir dan rudal Korea Utara menarik perhatian internasional lagi, terutama setelah Korea Utara menembakkan tiga rudal ke laut di tengah pandemi COVID-19. Sebuah lembaga think tank AS, Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan bahwa Korea Utara saat ini sedang membangun fasilitas yang cukup besar untuk menyimpan rudal balistik, menurut gambar satelit yang dianalisis. Menurut kompas.com (7 Mei 2020), fasilitas yang dibangun di dekat Bandara Internasional Pyongyang sudah hampir selesai dan diyakini berhubungan dengan Hwasong-15, program pengembangan rudal balistik antarbenua Korea Utara.
Menurut para analis, uji coba dan pengembangan rudal Korea Utara menunjukkan bahwa, meskipun perundingan nuklir dengan AS telah dihentikan, Korea Utara terus memperbaiki kemampuan persenjataannya (Kompas, 26 Juni 2020). Setelah pertemuan tiga kali antara Presiden Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, tidak ada perkembangan yang signifikan. Sekarang, agenda pemilihan presiden AS telah menghalangi perundingan tentang denuklirisasi Semenanjung Korea. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena ancaman nuklir terus mengintai di Semenanjung Korea, dan rezim Korea Utara saat ini kembali mengadopsi kebijakan isolasi dan menarik diri dari perundingan tentang denuklirisasi dan perdamaian.
Penyebab Korea Utara Menarik Diri Dari Perundingan
Korea Utara telah terlibat dalam berbagai perundingan multilateral, termasuk Perundingan Enam Pihak yang disebut "Perundingan Denuklirisasi" yang melibatkan Korea Selatan, Jepang, Cina, Rusia dan Amerika Serikat. Namun, Korea Utara berulang kali menarik diri dari perundingan tersebut. Kebijakan isolasi Korea Utara dalam bentuk penarikan diri dari perundingan terkait denuklirisasi dan proses perdamaian di Semenanjung Korea memang cukup mengejutkan jika dikaitkan dengan proses interaksi antar-kedua Korea. Beberapa alasan utama termasuk kegagalan dalam mencapai kesepakatan yang memadai mengenai penghentian sanksi, keinginan untuk mendapatkan jaminan keamanan yang lebih kuat dari Amerika Serikat, serta persepsi bahwa program nuklir adalah satu-satunya kartu as yang dimiliki Pyongyang dalam negosiasi internasional.
Konsekuensi dan Prospek Perdamaian serta Stabilitas Internasional
Ancaman nuklir Korea Utara telah mengganggu stabilitas di Asia Timur dan di seluruh dunia. Dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan mempertimbangkan untuk meningkatkan kekuatan militer mereka, ketegangan di Semenanjung Korea dapat menyebabkan perlombaan senjata di wilayah tersebut. Di tingkat global, ancaman ini mendorong organisasi internasional untuk terus berusaha untuk mencegah konflik besar melalui diplomasi, sanksi, dan metode pencegahan lainnya.
Kemungkinan perdamaian Semenanjung Korea masih tidak pasti. Kemajuan menuju denuklirisasi masih sangat lambat meskipun ada periode detente dan diplomasi, seperti pertemuan puncak antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Ancaman nuklir di Semenanjung Korea akan terus menjadi ancaman besar bagi perdamaian dan stabilitas dunia jika tidak ada komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat, termasuk tindakan untuk menciptakan kepercayaan dan mencapai penyelesaian yang komprehensif.
Kebijakan Korea Utara untuk mengisolasi diri akan membuat negara tersebut memilih untuk lebih memprioritaskan kepentingannya, bahkan mungkin mengabaikan kekhawatiran negara-negara lain di kawasan akan isu nuklir Korea Utara. Jika sudah demikian, konsekuensi yang akan muncul dari kebijakan isolasi Korea Utara adalah potensi bagi terjadinya konflik antara Korea Utara dengan negara-negara penentangnya di kawasan Semenanjung Korea akan semakin terbuka, khususnya dengan Korea Selatan dan AS. Situasi seperti itu sudah terlihat belakangan ini, ketika para pejabat tinggi Korea Utara, termasuk Kim Yo Jong, saudara perempuan Kim Jong Un, menyikapi aktivitas anti-Korea Utara di Korea Selatan dengan menetapkan bahwa kerja sama dengan Korea Selatan harus sepenuhnya berubah menjadi pekerjaan melawan musuh (japantimes.co., 16 Juni 2020).
Oleh karena itu, kebijakan isolasi Korea Utara dapat menyebabkan ketegangan dan bahkan konflik jika Korea Utara tidak bersedia lagi berbicara dan berbicara tentang denuklirisasi Semenanjung Korea. Selain itu, prospek perdamaian di Semenanjung Korea semakin dipertanyakan karena menjadi tempat konflik antara Korea Utara dan AS, terutama terkait masalah nuklir. Korea Utara menganggap sanksi PBB sebagai pelanggaran keras terhadap kedaulatan Korea Utara dan menganggapnya sebagai tindakan perang yang akan menghancurkan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.
Pandangan Korea Utara tentang sanksi PBB tersebut secara tidak langsung mencerminkan kebijakan isolasi Korea Utara, termasuk program nuklirnya, dan upayanya untuk menghindari tuduhan. Jika Korea Utara terus menerapkan kebijakan isolasi ini, itu dapat mengganggu proses perdamaian di Semenanjung Korea dan mengancam stabilitas keamanan wilayah tersebut. Ada kemungkinan bahwa isolasi diri kembali Korea Utara akan menyebabkan anarki internasional baru di Asia Pasifik dan reaksi yang salah dari negara-negara besar yang terancam dapat menyebabkan konflik militer.
Karena implikasinya yang luas bagi stabilitas keamanan di seluruh wilayah, termasuk Asia Tenggara, konflik terbuka dalam bentuk perang antarnegara tidak seharusnya menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi isolasi Korea Utara. Oleh karena itu, pendekatan seperti perundingan, diskusi, dan diplomasi harus terus diupayakan. Untuk mendorong kembali dialog perdamaian di Semenanjung Korea, khususnya antara Korea Utara dan Korea Selatan dan AS, masyarakat internasional, khususnya negara-negara di kawasan yang berkepentingan dengan perdamaian di Semenanjung Korea, termasuk ASEAN, harus berperan. ASEAN dapat melakukan ini melalui forum Regional ASEAN (ARF), di mana Korea Utara juga berpartisipasi. Karena Indonesia memiliki hubungan diplomatik dan hubungan baik dengan Korea Utara, jelas bahwa Indonesia juga harus berpartisipasi dalam proses perdamaian.
Kesimpulan
Ancaman nuklir di Semenanjung Korea merupakan isu kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensi untuk mencapai solusi jangka panjang. Sejarah nuklir dunia menunjukkan bahwa senjata ini bukan hanya alat pertahanan tetapi juga sumber ketidakstabilan global. Dengan mempertimbangkan dampak positif dan negatif nuklir, program nuklir Korea Utara dan penyebab penarikannya dari perundingan, penting bagi komunitas internasional untuk terus mencari solusi diplomatik dan strategis yang dapat mengurangi ancaman ini dan mempromosikan perdamaian yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H