Mohon tunggu...
Dwi Haryanti
Dwi Haryanti Mohon Tunggu... Relawan - Bukan Pewayang

Tulislah apa yang bisa kau tulis, Kerjakan apa yang bisa kau kerjakan, yang penting mah seneng.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Raden Mas Djokomono

7 Juli 2021   21:42 Diperbarui: 7 Juli 2021   22:36 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapasih yang dari kita ga kenal dengan sosok Minke? yah, pemeran utama dari karya tulis Pramoedya Ananta Toer. Sosok Minke yang digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetraloginya, bukan hanya sesosok pemuda fana, Pada kenyataannya ia ada, walau beberapa part kisahnya dalam tetralogi Pram, hanya sebagai cerita-cerita pemanis.

Tapi, dari kita tau gasih sosok Minke ini dalam dunia sebenarnya siapa? yaitu Radem Mas Tirto Adhi Soejo (Nama kecil : Djokomono), sosok yang dikenal dengan Bapak Pres Indonesia. 

Tetapi, jika kita lihat kembali, dari Tetralogi Karya Prmoedya Ananta Toer, RM Tirto Adhi Soejo adalah sosok pemuda yang banyak sekali sumbangsihnya pada Negeri ini, bukan hanya soal pres saja, tapi juga upaya kemerdekaan lainnya, seperti persatuan masyarakat, ekonomi, dan pendidikan.  Seorang pemuda mandiri yang sudah kritis sejak remaja.

Bahkan, untuk permulaan dari program kesatuan masyarakat Hindia Belanda atau mudahnya Organisasi Nasional Moderen, RM Tirto Adhi Sudjo-lah sosok pembangun dan pemula dari pendirinya. 

Organisasi pertama yang didirikannya pada tahun 1906 ialah Sarekat Prijaji (Organisasi yang berfokus pada niat untuk memajukan anak Negeri dengan membentuk lembaga dana pendidikan atau studiefonds). Tetapi masa kebangkitan dari Sarekat Prijaji hanya sampai tahun 1907, kabar dari penyebab padamnya-pun masih simpang siur.

Semangat juang RM Tirto Adhi Sudjo saat mendirikan Sarekat Prijaji tidak habis sampai situ, organisasi hasil diriannya tersebut, terdengar juga oleh mahasiswa-mahasiswa pribumi yang bersekolah dengannya dulu di STOVIA : School tot Opleiding van Indische Artsen (sekolah Kedokteran) dan juga dapat dukungan dari seorang pensiunan dokter-jawa bernama dr. Wahidin Sudirohusodo yang pada saat itu sedang mengunjungi STOVIA dan menyerukan kepada siswa-siswa di sana agar mendirikan satu organisasi.


Selang setahun dari padamnya Sarekat Prijaji, berdirilah organisasi nasional yang baru yang bernama BO (Budi Oetomo) pada tahun 1908 (yang kemudian dicetuskan menjadi organisasi pertama dan hari berdirinya dijadikan Harkitnas oleh ir. Soekarno). Budi Oetomo memiliki tipe cakupan yang tak jauh berbeda dengan SP, sama-sama jenis perhimpunan yang beranggotakan para priyayi atau bangsawan. 

Meskipun cakupannya tidak seluas SP, BO hanya sebatas jawa-madura saja). RM Tirto Adhi Sudjo-pun ikut mendukung pendirian Organisasi tersebut, dengan ikut mempropagandakan hal tersebut di Media Cetaknya (Medan Prijaji : Nama Media Cetak terbitan TAS) dan ia juga menjadi anggota BO Afdeeling II Bandung.

Tak jauh berbeda dengan Sarekat Prijaji, selang setahun perkembangan BO menurun. Hal itu dibuktikan dengan jatuhnya kepemimpinan BO pada angkatan tua (kubu Radjiman Wedyodiningrat), dan Kekuatan kolonial-pun ikut campur dalam pergeseran tersebut.

Setelah jatuhnya BO ke tangan angkatan tua,  RM. Tirto AS, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat mengundurkan diri dari BO. Kemudian Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat bergabung dengan E F E Douwes Dekker, yang nantinya tiga orang atau dikenal tiga serangkai ini ikut mendeklarasikan sebuah organisasi bernama Indische Partij (IP) di Bandung. Organisasi yang menyerukan kemerdekaannya lewat Media yang dinamai De Express.


Berlanjut dari setelah keluarnya RM Tirto Adhi Sudjo dari BO, RM Tirto Adhi Sudjo-pun berinisiatif untuk mendirikan organisasi nasional lagi yang cakupannya lebih luas, yaitu Serikat Dagang Islam (Landasan yang digunakan dalam pendirian SDI ialah "Kaum Mardika", terjemahan dari bahasa Belanda "Vrije Burgers", yaitu mereka yang mendapatkan penghidupanya bukan dari pengabdian pada Gubermen, Keanggotaannya mencakup seluruh golongan menengah yang terdiri dari pedagang, petani, pekerja, tukang, peladang. Sedang unsur pengikatnya adalah Islam)  

Kabar pendirian SDI tak selang lama sejak keluarnya RM TAS dari BO yaitu tahun 1909.

Perkembangan SDI sangatlah baik dan pesat, didukung dengan kantor Medan Prijajinya yang ikut menarik semangat para bumiputra dan rakyat cinta tanah air. Bisa dikatakan hampir tiap daerah, anggota SDI ditemukan. 

Tetapi, hal itu tentu berbalik dengan kekhawatiran kolonial Belanda yang merasa terancam dengan Kabar-kabar yang disampaikan TAS lewat korannya.

Dalam media cetaknya tersebut RM Tirto Adhi Sudjo, mengenalkan aksi Boykot pada Pribumi lewat Korannya. Hal tersebut RM Tirto Adhi Sudjo sampaikan, Supaya dapat dijadikannya senjata bagi orang-orang lemah untuk melawan para pemilik perusahaan gula pada saat itu. Serta mengajarkan pada Pribumi untuk menentang kediktatoran kolonial Belanda dan kediktatoran di masa selanjutnya.

Aksi-aksi kritis yang dilakukan TAS lewat tulisannya, tentu tak berjalan mulus. Pada saat SP belum dibangun, kabarnya TAS pernah diasingkan ke Lampung selama 2 bulan karena mengkritik seseorang. 

Setiap harinya TAS seolah-olah disajikan tatapan yang mengisyaratkan "hati-hati" hal itu bukan hanya ditunjukan oleh rakyat kolonial, tapi juga dari para priyayi yang berpihak pada kolonial.

Dan pada tahun 1912 keamanan RM Tirto Adhi Sudjo terancam lagi, dan berpuncak pada siaran kabar yang berisi kritikan Bupati Rembang ditambah kabar  hutang surat kabarnya yang tak terbayarkan (Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. 

Namun, karena gangguan kolonial, Medan Priayi, alat propaganda dan pengorganisiran yang sudah demikian kokoh itu, akhirnya runtuh dan omsetnya terus merosot, setoran dari para pelanggannya macet, serta beberapa perusahaan menolak pasang iklan). Karena itu, RM Tirto diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman pembuangan ke Ambon.

Sebelum pembuangan dilakukan, TAS sudah lebih awal merasakan ancaman pada dirinya semakin besar. Hal tersebut dipraktikan dengan diputuskannya mengalihkan kepemimpinan SDI pada seorang Saudagar Batik di Solo, Surakarta yaitu Hadji Samanhudi, dengan alasan hendak melakukan perjalanan kampanye di seluruh Hindia demi kepentingan organisasi.

Tak berselang lama, saat peralihan pimpinan dilakukan Serikat Dagang Islam diubah menjadi Serikat Islam beserta Aturan-aturan dasarnya. 

Terjadinya hal tersebut sampai saat ini (2021) masih belum dapat ditentukan, ada yang mengatakan pergantian tersebut terjadi pada akhir tahun 1911/ ada yang menyebutkan pula hal tersebut terjadi di awal tahun 1912.

Setelah pembentukan SI, Tirto Adhi Soerjo-pun ikut memainkan lakonnya. TAS terus meningkatkan skill perannya sebagai pemimpin redaksi harian Medan Prijaji yang berbahasa Melayu, sebuah harian yang kritis terhadap pemerintahan Hindia-Belanda.

Namun saat pengasingan dilakukan (1912/1913 (Masih simpang siur)), kolonial Belanda melakukan upaya-upaya penghapusan jejak-jejak TAS yang berkaitan dengan kritik-kritiknya mengenai penguasa-penguasa Hindia, sistem sosial, politik, dan kebudayaan tanah Hindia. Serta menobatkan Samanhudi sebagai pendiri dari Serikat dagang Islam.

*(Beberapa sumber mengatakan relasi antara TAS dan HS kurang baik, sehingga HS tidak melakukan pembelaan pada TAS serta seolah-olah setuju dengan tindakan kolonial. Tetapi dalam sumber lain nama RM Tirto Adhi Soejo sama sekali tidak disinggung dalam sejarah Serikat Dagang Islam)

2 Tahun Raden Mas Tirto Adhi Soejo diasingkan, dan selama dalam masa pengasingan, tak ada satupun kerabat atau sahabat yang mengunjunginya, bahkan kabarnya atas perintah kolonial, sengaja ia dijauhkan dari surat kabar dan berbagai macam alat tulis, sebarang yang menjadi belahan jiwanya. Tetapi walau begitu, semangatnya terhadap kemerdekaan Hindia tak kunjung padam.

Sepulangnya dari pengasingan, Ia harus dijumpai keadaan nasib yang berbanding balik dengan kobaran semangatnya.  TAS tinggal bersama Raden Goenawan yang pernah menjadi anak didiknya saat di Medan Prijaji. 

Goenawan menyediakan kamar di Hotel Samirono untuk ditinggali Tirto. Sebetulnya, penginapan ini sebelumnya kepunyaan Tirto yang diberi nama Hotel Medan Prijaji, sama seperti nama surat kabar dan perusahaan media yang dikelolanya sejak 1907. 

Namun, setelah Tirto terjerat kasus pada 1912, Goenawan mengambil alih hotel tersebut. Karena, Sebelum diasingkan ke Maluku, Tirto nyaris bangkrut. 

Seluruh aset dan hartanya terancam disita negara lantaran utang-utangnya yang menumpuk. Sebelum itu terjadi, Goenawan berusaha "menyelamatkan" aset mentornya itu dengan cara membelinya, termasuk Hotel Medan Prijaji.

Semua yang ia bangun sejak awal, runtuh sekaligus, TAS diserang habis-habisan secara mental oleh Pemerintah Kolonial. Bukan hanya harta bendanya, tapi juga kerabat sahabatnya, Semua dipantau untuk terus tidak berhubungan dengan TAS. 

Hingga pada tahun 1918, Ia meninggal dunia. Tidak ada iring-iringan besar dan orang-orang besar yang ikut mengantar, tidak ada yang menceritakan jasa-jasa dan amal dalam hidupnya yang cukup banyak walau tak panjang. Jenazahnya disemayamkan di Mangga Dua, Betawi.

Pada akhirnya, sekian rentet sumbangsihnya pada kemanusiaan yang terus diagungkan, yang tersisa hanya dirinya seorang, senyap, dan memilukan.

Seperti yang diungkapkan oleh Pram : 

"semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya."

Sangat tidak berlebihan kiranya, jika Penulis katakan RM Tirto Adhi Soerjo adalah sosok bapak dari para pahlawan setelahnya. Sejak mula sudah berani maju digaris terdepan, menunjukan sorot semangat dan harapan, seorang diri yang bernyali tinggi. Bukan hanya kolonial yang ia lawan, tapi kebathilan itu sendiri, baik dari kolonial ataupun bukan kolonial. Baginya kemanusiaanlah satu-satunya kehidupan. Dan hiduplah untuk kemanusiaan.

Dan dalam catatan Pram dalam karya non fiksinya : Sang Pemula: 

" Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?"

Sumber :


Arah Juang

Tirto

Menara Madinah

Medium

Tirto.

Tetralogi Pramoedya Ananta Toer : Jejak Langkah dan Rumah Kaca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun