Setelah pembentukan SI, Tirto Adhi Soerjo-pun ikut memainkan lakonnya. TAS terus meningkatkan skill perannya sebagai pemimpin redaksi harian Medan Prijaji yang berbahasa Melayu, sebuah harian yang kritis terhadap pemerintahan Hindia-Belanda.
Namun saat pengasingan dilakukan (1912/1913 (Masih simpang siur)), kolonial Belanda melakukan upaya-upaya penghapusan jejak-jejak TAS yang berkaitan dengan kritik-kritiknya mengenai penguasa-penguasa Hindia, sistem sosial, politik, dan kebudayaan tanah Hindia. Serta menobatkan Samanhudi sebagai pendiri dari Serikat dagang Islam.
*(Beberapa sumber mengatakan relasi antara TAS dan HS kurang baik, sehingga HS tidak melakukan pembelaan pada TAS serta seolah-olah setuju dengan tindakan kolonial. Tetapi dalam sumber lain nama RM Tirto Adhi Soejo sama sekali tidak disinggung dalam sejarah Serikat Dagang Islam)
2 Tahun Raden Mas Tirto Adhi Soejo diasingkan, dan selama dalam masa pengasingan, tak ada satupun kerabat atau sahabat yang mengunjunginya, bahkan kabarnya atas perintah kolonial, sengaja ia dijauhkan dari surat kabar dan berbagai macam alat tulis, sebarang yang menjadi belahan jiwanya. Tetapi walau begitu, semangatnya terhadap kemerdekaan Hindia tak kunjung padam.
Sepulangnya dari pengasingan, Ia harus dijumpai keadaan nasib yang berbanding balik dengan kobaran semangatnya. Â TAS tinggal bersama Raden Goenawan yang pernah menjadi anak didiknya saat di Medan Prijaji.Â
Goenawan menyediakan kamar di Hotel Samirono untuk ditinggali Tirto. Sebetulnya, penginapan ini sebelumnya kepunyaan Tirto yang diberi nama Hotel Medan Prijaji, sama seperti nama surat kabar dan perusahaan media yang dikelolanya sejak 1907.Â
Namun, setelah Tirto terjerat kasus pada 1912, Goenawan mengambil alih hotel tersebut. Karena, Sebelum diasingkan ke Maluku, Tirto nyaris bangkrut.Â
Seluruh aset dan hartanya terancam disita negara lantaran utang-utangnya yang menumpuk. Sebelum itu terjadi, Goenawan berusaha "menyelamatkan" aset mentornya itu dengan cara membelinya, termasuk Hotel Medan Prijaji.
Semua yang ia bangun sejak awal, runtuh sekaligus, TAS diserang habis-habisan secara mental oleh Pemerintah Kolonial. Bukan hanya harta bendanya, tapi juga kerabat sahabatnya, Semua dipantau untuk terus tidak berhubungan dengan TAS.Â
Hingga pada tahun 1918, Ia meninggal dunia. Tidak ada iring-iringan besar dan orang-orang besar yang ikut mengantar, tidak ada yang menceritakan jasa-jasa dan amal dalam hidupnya yang cukup banyak walau tak panjang. Jenazahnya disemayamkan di Mangga Dua, Betawi.
Pada akhirnya, sekian rentet sumbangsihnya pada kemanusiaan yang terus diagungkan, yang tersisa hanya dirinya seorang, senyap, dan memilukan.