Sampai kapan kita membiarkan diri dan anak cucu tercekik asap bakar sampah dan hidup bergelimang sampah?Â
Bagaimana kita bisa maju sebagai sebuah bangsa bila untuk bernafas saja sulit?
Bagaimana anak-anak bangsa bisa berpikir dan belajar normal bila paru-paru mereka dijejali asap beracun setiap hari?Â
Ada menteri lingkungan hidup dan kehutanan, dan juga ada menteri kesehatan, tapi mengapa sampah masih dibuang sembarangan? Tapi mengapa masih ada sampah dibakar?
Bukankah menteri lingkungan hidup dan kehutanan tahu betul bahwa masalah lingkungan yang paling mendasar dan yang paling mengenai hajat hidup orang banyak adalah masalah sampah yang dibuang sembarangan dan/atau dibakar.
Bukankah menteri kesehatan tahu betul bahwa mencegah penyakit itu lebih baik daripada mengobati. Bukankah mereka tahu bahwa polusi tanah, air, dan udara akibat sampah yang dibuang sembarangan dan/atau dibakar menjadi salah satu pemicu utama penyakit, mulai dari batuk, sesak nafas, pusing, penyakit kulit, kanker, dan penyakit-penyakit berat lainnya. Para menteri kesehatan telah membangun ribuan puskesmas dengan peralatan yang canggih dan tenaga medis yang hebat, tapi mereka tidak begitu mempedulikan masalah sampah, salah satu sumber utama penyakit.
Peraturan tentang sampah sudah ada. Seharusnya kementerian lingkungan hidup dan kehutanan dan kementerian kesehatan bekerja bahu membahu mengadakan penyuluhan dan kampanye Indonesia bersih bebas sampah. Di sisi lain pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya membangun Tempat Pengolahan Sampah Akhir (TPSA) yang betul-betul memadai di setiap kabupaten/kota dan mengadakan pengangkutan sampah mulai dari level RT/RW, desa, kecamatan, sampai kabupaten/kota.
Jogja sebagai harapan
Orang tahunya Jogja itu pusat budaya dan pusat wisata. Tidak ada yang tahu bahwa Jogja adalah provinsi terbersih di Indonesia. Tidak ada buang sampah sembarangan, tidak ada bakar sampah di Jogja. Mulai dari Sleman di lereng Merapi, sampai kota Jogja pemangku Keraton, sampai Kulonprogo tempat bandara baru, sampai Bantul dengan Parang Tritisnya, sampai Gunung Kidul penopang Gunung Berapi Purba Ngelanggeran, tidak ada sampah satu onggokpun dan tidak ada asap sampah satu hembus pun.
Keluar dari Stasiun Tugu, pengunjung disambut udara bersih dan segar. Kesejukan oksigen begitu terasa. Pepohonan lebat dan taman indah terhampar di depan stasiun, menjalar ke berbagai wilayah utama, ke Malioboro, ke Keraton, terus berpuluh-puluh kilometer ke selatan sampai ke Pantai Parang Tritis. Hutan dan taman ini juga menjalar ke atas melewati Tugu Pal Putih, sampai ke daerah wisata Kaliurang.
Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan disatukan oleh hutan dan taman terpanjang di dunia ini. Lebih dari itu, bila keluar dari jalur hijau dan masuk perkampungan, baik yang mengarah ke Candi Prambanan di timur maupun ke Wates di barat, pengunjung tidak akan menemukan satu tas sampah kresekpun, satu puntung rokokpun, satu cuwil sampah plastikpun. Di seluruh kampung dan desa, udara begitu bersih dan segar (kecuali yang berada di samping jalan raya) karena tumbuhan ada di mana-mana dan tidak ada asap sampah.
Warga Jogja, baik yang tinggal di lereng gunung, pinggir laut, maupun tengah kota, sejak turun-temurun sudah memiliki budaya malu membuang sampah sembarangan dan budaya malu membakar sampah. Tidak pernah terpikirkan dalam benak mereka untuk membuang sampah sembarangan di ujung jalan desa yang sepi, di pinggir sungai, di hutan yang sepi, atau di tempat-tempat kosong. Juga tidak pernah terbayangkan dalam pikiran mereka untuk membakar sampah. Mereka merasakan betul betapa sesaknya nafas dan nyengkriknya tenggorokan apabila terpapar asap sampah. Itu yang mereka rasakan ketika terpapar asap sampah saat bepergian ke luar Jogja.
Pengolahan sampah mandiri oleh warga
Beberapa kampung dan desa di Jogja mengolah sendiri sampah mereka. Setiap rumah tangga dengan disiplin memilah sampah ke dalam (1) wadah sampah organik (tumbuhan/sayur), (2) wadah sampah anorganik yang bisa didaur ulang, dan (3) wadah sampah yang sulit diolah oleh mereka sendiri.
Sampah dari rumah-rumah warga dikumpulkan dan diolah di lokasi yang jauh dari pemukiman. Lokasi pengolahan dikelilingi hutan desa, sehingga bau dan debu tidak sampai ke pemukiman, tersaring dedaunan lebat. Sampah organik diolah menjadi kompos. Kompos yang dihasilkan digunakan sendiri oleh warga setempat. Sisanya dijual ke luar desa.
Sampah anorganik kertas, plastik, dan logam tertentu dipilah-pilah. Sebagian hasil pilahan disetor ke pabrik kertas dan plastik, dan pabrik lainnya yang mendaur ulang limbah. Sebagian lain dari hasil pilahan digunakan untuk membuat kerajinan, seperti tas, hiasan dinding, dan hiasan gantung.
Pendapatan dari penjualan kompos, pilahan sampah, dan kerajinan tangan digunakan untuk mendanai pengolahan sampah itu sendiri, termasuk untuk pembelian peralatan dan menggaji koordinator dan karyawan. Sisa pendapatan digunakan untuk membantu pembangunan desa, seperti perawatan jalan dan lampu desa.
Sampah yang tidak bisa didaur ulang, diangkut oleh truk sampah ke Tempat Pengolahan Sampah Akhir (TPSA). TPSA dikelolah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan lokasinya terpencil, jauh dari pemukiman warga. Saking terpencilnya, warga tidak bisa melihat gundukan sampah yang dikelola. Bau dan debu sampah tidak sedikitpun sampai ke pemukiman, karena, selain lokasinya terpencil, TPSA dikelilingi bukit buatan yang tingginya melebihi gundukan sampah. Bukit yang lebarnya 50 meter itu seluruhnya tertutup hutan, dengan pohon yang besar-besar dan lebat daunnya.
Ada banyak pohon buah di hutan TPSA, seperti pohon mangga, rambutan, kelengkeng, durian, nangka, dan pisang. Saat panen, warga yang tinggal di desa-desa sekitar TPSA diperbolehkan memetik buahnya. Mereka, dengan dikoordinasi oleh desa, bahkan boleh memetik buah dalam jumlah besar dan menjualnya. Keuntungan yang diperoleh masuk kantong pemetik dan kas pembangunan desa.
Setiap TPSA di provinsi Jogja memiliki peralatan yang sangat canggih dan betul-betul ramah lingkungan. Peralatan sampah yang mereka gunakan mengubah sampah menjadi kompos dan energi listrik tanpa menghasilkan polusi sedikit pun.Â
Proses pengolahan sampah di TPSA sama sekali sekali tidak mencemari udara, tanah, dan air. Sehingga tidak ada ceritanya di Jogja sumur warga airnya tercemar gara-gara rembesan limbah cair TPSA. Tidak ada ceritanya di Jogja warga batuk-batuk saat memasuki bagian pengolahan terakhir di TPSA.
Pengangkutan sampah dari level terbawah, RT/RW, sampai kecamatan, sampai TPSA ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Tukang pengangkut sampah di level RT/RW dan desa, sopir truk sampah, dan tukang pengangkut sampah yang ikut truk semuanya digaji pemerintah.
Sebagian pendapatan dari penjualan listrik ke PLN dan penjualan pilahan limbah daur ulang digunakan untuk biaya pengangkutan sampah. Sisa pendapatan digunakan untuk membantu pembiayaan proses pengolahan di TPSA dan perawatan peralatan. Tentu saja sekian banyak persen pendanaan berasal dari pemerintah.
Yang saya sampaikan di atas hanyalah sebuah harapan besar. Saya berharap Jogja bisa benar-benar bersih dari sampah dan bakar sampah, persis seperti yang saya harapkan di atas.
Mengapa yang saya harapkan Jogja? Karena, pertama, para pemimpin Jogja, Sri Sultan dan jajaran kepemimpinan di bawah beliau, sangat dicintai dan dihormati warganya, dan karena mereka terkenal dengan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat dan pro-lingkungan. Alasan kedua, warga Jogja adalah orang-orang yang berpikiran maju, enak diajak diskusi, dan mencintai lingkungan.
Belajar dari Bu Risma, Walikota Surabaya
Jogja bisa belajar dari Surabaya dalam mengelola sampah. Bu Risma sangat berhasil dalam menjadikan Surabaya super bersih (dan memiliki 'ribuan' taman dan hutan).Â
Surabaya yang dulunya kotor dan pengap, kini berudara bersih dan segar karena sampah hilang dari jalan-jalan dan kampung-kampungnya. Juga tidak ada bakar sampah di Kota Pahlawan ini. Dalam jiwa warga Surabaya sudah tertanam budaya malu membuang sampah dan budaya malu membakar sampah.
Sampah di kota bunga Tabebuya ini dikelola dengan sangat baik di TPSA di ujung barat kota. Bekas TPSA di ujung timur kota, di wilayah Keputih, disulap menjadi hutan bambu. Dulu Surabaya belajar ke Singapura tentang penghijauan kota, kini Singapura yang belajar ke Surabaya.
Sungai-sungai di Surabaya yang dulu kumuh dan bau penuh sampah sekarang diubah menjadi taman-taman nan indah dan bersih. Tidak perlu ke Yarra River di Melbourne untuk menikmati wisata tepi sungai.Â
Cukup ke Surabaya, ibukota Jawa Timur. Di sana akan kita temukan tepian sungai yang indah dan bersih, yang mengular dari taman Waduk Jagir Wonokromo, sampai taman-taman di sekitar Delta Plaza, Balai Pemuda, dan Gedung Grahadi, sampai Pelabuhan Ujung di Selat Madura.
Gerakan Risma, Khofifah, Ganjar, Sri Sultan, dan Ridwan Kamil untuk Indonesia bebas sampah
Peraturan tentang pengolahan sampah sudah lama ada, tapi pelaksanaannya secara nasional belum optimal, masih sporadis, dan bahkan di beberapa wilayah sangat menyedihkan. Perlu ada gerakan Indonesia bersih, gerakan Indonesia bebas sampah dan bebas bakar sampah, dari level bawah, dari daerah, dari kabupaten/kota, dari provinsi.
Bu Risma telah memelopori Gerakan Indonesia Bebas Sampah dengan teladan dahsyatnya. Bu Khofifah bisa meneruskannya dengan menggerakkan Jawa Timur. Bayangkan apabila seluruh Jawa Timur bebas sampah dan bebas bakar sampah, betapa bersih udara dan tanah airnya. Betapa sehat paru-paru warganya. Betapa banyak penyakit bisa dicegah. Betapa banyak dana negara bisa dihemat karena sakitnya warga bisa dicegah.
Pak Ganjar yang dikenal proaktif, cerdas, dan cekatan itu bisa menggerakkan Jawa Tengah. Sri Sultan yang begitu dicintai warganya itu bisa memimpin gerakan di Jogja. Pak Ridwan Kamil yang dikenal sistemis dalam bertindak dan mencintai keindahan bisa menghidupkan semangat Bu Risma di Jawa Barat.
Gerakan Indonesia Bebas Sampah yang mereka pelopori pasti akan menginspirasi daerah-daerah lain untuk ikut bergerak. Akan ada budaya malu nasional, yaitu rasa malu yang muncul di kampung, desa, kecamatan, kabupaten, dan kota, apabila membuang sampah walaupun hanya seonggok, dan apabila membakar sampah walaupun hanya satu kepulan hitam. Apabila sebagian besar daerah bergerak, pemerintah pusat pasti akan tergerak untuk bergerak.
Sudah saatnya inisiatif dan gerakan muncul dan dilaksanakan dari daerah.
Keterlibatan pakar
Banyak sekali pakar lingkungan dan kesehatan telah memberikan saran, usulan, dan pendapat kepada pemerintah tentang pentingnya pembersihan Indonesia dari sampah dan bakar sampah, dan cara-cara pengolahan sampah yang tepat.Â
Mereka telah berulang kali mendesak pemerintah pusat untuk benar-benar menerapkan aturan pengolahan sampah di seluruh Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan yang mereka buat sendiri, namun sampai sekarang saran dan desakan mereka banyak yang tak terhiraukan.Â
Gerakan dari daerah untuk Indonesia Bebas Sampah yang saya sampaikan di atas selaras dengan desakan mereka, dan para pemimpin daerah pelopor Indonesia Bebas Sampah jelas membutuhkan keahlian mereka.
Institut Teknologi 10 November 1945 Surabaya (ITS) memiliki banyak ahli lingkungan yang sangat berkualitas yang bisa memberi pemikiran bagus tentang pengelolaan sampah. Demikian pula pakar-pakar lingkungan dari UGM, UNDIP, ITB, dan IPB. Pakar sampah dari lembaga non-perguruan tinggi juga perlu dilibatkan, seperti H. Asrul Hoesein, Ketua Green Indonesia Foundation. Ahli-ahli kesehatan dan kedokteran dari UNAIR, UGM, dan UI, misalnya, juga wajib dilibatkan.
Satgas Indonesia Bebas Sampah
Apabila Gerakan Indonesia Bebas Sampah yang diawali dari daerah tersebut berhasil, dan apabila gerakan tersebut kemudian berhasil menggerakkan pemerintah pusat untuk bergerak, pemerintah pusat bisa membentuk semacam Satgas Indonesia Bebas Sampah, untuk mempercepat, secara terpadu dan sistematis, pembersihan sampah dan asap sampah secara nasional.
Pemimpin sekaliber Letnan Jenderal Doni Monardo bisa diberi amanah untuk memimpin Satgas Indonesia Bebas Sampah. Jenderal Doni sangat peduli lingkungan dan telah terbukti berhasil memimpin beberapa gerakan pelestarian dan penyelamatan lingkungan.
Indonesia bukan negara sampah
Sampai kapan kita membiarkan diri kita dan anak cucu kita tercekik asap bakar sampah dan hidup bergelimang sampah?Â
Sudah saatnya kita bergerak.Â
Sekarang juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H