Warga Jogja, baik yang tinggal di lereng gunung, pinggir laut, maupun tengah kota, sejak turun-temurun sudah memiliki budaya malu membuang sampah sembarangan dan budaya malu membakar sampah. Tidak pernah terpikirkan dalam benak mereka untuk membuang sampah sembarangan di ujung jalan desa yang sepi, di pinggir sungai, di hutan yang sepi, atau di tempat-tempat kosong. Juga tidak pernah terbayangkan dalam pikiran mereka untuk membakar sampah. Mereka merasakan betul betapa sesaknya nafas dan nyengkriknya tenggorokan apabila terpapar asap sampah. Itu yang mereka rasakan ketika terpapar asap sampah saat bepergian ke luar Jogja.
Pengolahan sampah mandiri oleh warga
Beberapa kampung dan desa di Jogja mengolah sendiri sampah mereka. Setiap rumah tangga dengan disiplin memilah sampah ke dalam (1) wadah sampah organik (tumbuhan/sayur), (2) wadah sampah anorganik yang bisa didaur ulang, dan (3) wadah sampah yang sulit diolah oleh mereka sendiri.
Sampah dari rumah-rumah warga dikumpulkan dan diolah di lokasi yang jauh dari pemukiman. Lokasi pengolahan dikelilingi hutan desa, sehingga bau dan debu tidak sampai ke pemukiman, tersaring dedaunan lebat. Sampah organik diolah menjadi kompos. Kompos yang dihasilkan digunakan sendiri oleh warga setempat. Sisanya dijual ke luar desa.
Sampah anorganik kertas, plastik, dan logam tertentu dipilah-pilah. Sebagian hasil pilahan disetor ke pabrik kertas dan plastik, dan pabrik lainnya yang mendaur ulang limbah. Sebagian lain dari hasil pilahan digunakan untuk membuat kerajinan, seperti tas, hiasan dinding, dan hiasan gantung.
Pendapatan dari penjualan kompos, pilahan sampah, dan kerajinan tangan digunakan untuk mendanai pengolahan sampah itu sendiri, termasuk untuk pembelian peralatan dan menggaji koordinator dan karyawan. Sisa pendapatan digunakan untuk membantu pembangunan desa, seperti perawatan jalan dan lampu desa.
Sampah yang tidak bisa didaur ulang, diangkut oleh truk sampah ke Tempat Pengolahan Sampah Akhir (TPSA). TPSA dikelolah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan lokasinya terpencil, jauh dari pemukiman warga. Saking terpencilnya, warga tidak bisa melihat gundukan sampah yang dikelola. Bau dan debu sampah tidak sedikitpun sampai ke pemukiman, karena, selain lokasinya terpencil, TPSA dikelilingi bukit buatan yang tingginya melebihi gundukan sampah. Bukit yang lebarnya 50 meter itu seluruhnya tertutup hutan, dengan pohon yang besar-besar dan lebat daunnya.
Ada banyak pohon buah di hutan TPSA, seperti pohon mangga, rambutan, kelengkeng, durian, nangka, dan pisang. Saat panen, warga yang tinggal di desa-desa sekitar TPSA diperbolehkan memetik buahnya. Mereka, dengan dikoordinasi oleh desa, bahkan boleh memetik buah dalam jumlah besar dan menjualnya. Keuntungan yang diperoleh masuk kantong pemetik dan kas pembangunan desa.
Setiap TPSA di provinsi Jogja memiliki peralatan yang sangat canggih dan betul-betul ramah lingkungan. Peralatan sampah yang mereka gunakan mengubah sampah menjadi kompos dan energi listrik tanpa menghasilkan polusi sedikit pun.Â
Proses pengolahan sampah di TPSA sama sekali sekali tidak mencemari udara, tanah, dan air. Sehingga tidak ada ceritanya di Jogja sumur warga airnya tercemar gara-gara rembesan limbah cair TPSA. Tidak ada ceritanya di Jogja warga batuk-batuk saat memasuki bagian pengolahan terakhir di TPSA.
Pengangkutan sampah dari level terbawah, RT/RW, sampai kecamatan, sampai TPSA ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Tukang pengangkut sampah di level RT/RW dan desa, sopir truk sampah, dan tukang pengangkut sampah yang ikut truk semuanya digaji pemerintah.