Para pejabatnya cenderung mempunyai mindset aji mumpung tentu lebih girang menganggap jabatan adalah kesempatan memperkaya diri. Banyak mahasiswa yang dulu sering menggebu-gebu melakukan orasi politik di parlemen jalanan ketika masuk ke pemerintahan, menjadi wakil rakyat ternyata tergoda untuk melakukan KKN. Mereka lupa pada luapan emosi saat menggebu turun ke jalan melakukan demonstrasi.
Sudut pandang oposisi dalam mengartikan demokrasi berbeda dengan penguasa. Oposisi mengatakan rezim represif, padahal secara tidak sadar mereka diberi keleluasaan melakukan demonstrasi, bebas menyindir dan nyinyir berdasarkan asumsi mereka masih bisa bebas bicara di forum-forum debat.
Partai Politik dan Pembelajaran DemokrasiÂ
Partai politik pun banyak mengajarkan hal yang cukup buruk untuk masyarakat dengan politik balas dendam, politik sakit hati, politik berkilah dan politik tidak mau mengakui kekalahan dan kemenangan. Yang kalah merasa selalu dicurangi, yang menang kadang merasa bahwa apa yang dicapainya karena dukungan rakyat.Â
Saling klaim pemilik suara rakyat mengajarkan bahwa partai politik Indonesia ternyata belum dewasa dalam berdemokrasi. Menyerang ketika kalah, jumawa ketika menang. Dan masyarakatnyapun belum siap menyambut demokrasi dengan segala intrik-intrik politik di dalamnya.
Namun di kegaduhan medsos dengan segala buncahan emosi, maki-makian dan perang kata-kata antar netizen dan konten kreator sebenarnya di lingkungan masyarakat sendiri kedewasaan sudah muncul. Mereka menerima kekalahan dan kemenangan dengan legowo, jauh dari para petinggi parpol yang tampak emosional menempatkan diri sebagai pihak teraniaya yang merasa sama senasib sepenanggungan denga "rakyat jelata"
Yang terpikirkan oposisi belum tentu kenyataan di dalam masyarakat sendiri. Dalam perkembangan ekonomi, dunia yang penuh persaingan masyarakat perlu belajar bertahan, bertarung, bersaing untuk menjadi terbaik.Â
Ada yang melesat ke atas ada yang berguguran di perjalanan. Bila mereka mempunyai mental kuat akan bangkit lagi dengan inovasi baru, usaha baru dan juga gagasan baru.Â
Tumbang dan gagal adalah sebuah proses. Hanya saja pendidikan di Indonesia jarang yang mengajarkan bagaimana tetap survive menghadapi kegagalan, yang diajarkan adalah bagaimana sukses mengejar nilai untuk bisa naik kelas dan lulus, tanpa mengerti proses dan bagaimana memahami ilmu pengetahuan dengan berbagai eksperimen dan riset mendalam.
Yang Visioner dan Para PenentangnyaÂ
Di Indonesia untuk menjadi visioner dan berpikir ke depan akan banyak rintangannya, sebab masih banyak masyarakat yang berpikir jangka pendek. Maka muncul berbagai persoalan ketika orang-orang hanya berpikir pendek dengan pembangunan yang hanya diusahakan untuk kepentingan partai politik yang banyak menyerap aspirasi berdasarkan kepentingan tertentu, tetapi tidak berpikir bahwa Indonesia harus dipersiapkan menuju masa depan yang gemilang dengan menyiapkan infrastruktur, midset baru dengan lompatan pemikiran ke depan, perilaku orang orang terdidik yang menghargai waktu dan peraturan, disiplin dan bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan, kesadaran membuang sampah untuk kepentingan kesehatan dan keseimbangan ekosistem.
Oposisi tampaknya lebih berpikir pendek, dengan membabi buta beda, mungkin ada yang tidak berpikir bahwa diantara yang buruk-buruk masih ada sisi baik yang mesti diapresiasi. Bahkan saking menggebunya riset, sumber bacaan kredibel dan valid tidak sempat dibaca, yang dibaca hanya hal-hal buruk yang pernah didengar dan mungkin hanya rumor yang santer beredar di masyarakat, lebih menyukai berita viral yang belum tentu benar, tetapi sudah dianggap benar.
Sudut pandang pemikiran seseorang terutama yang datang dari parpol yang merasa tersakiti, dikhianati, seperti ditusuk dari belakang hingga tantrum dengan menyerang membabi buta. Sebagai pemerhati mungkin penulis salah memahami pemikiran petinggi parpol yang tampak begitu membenci seseorang yang menurut mereka dianggap pengkianat.Â