Dalam dinamika politik tanah air, benarkah Indonesia menganut demokrasi sejati? Menurut pendapat oposisi, pemerintah sekarang termasuk pemerintahan yang tidak menghargai demokrasi, mewariskan politik dinasti, tidak menghargai aspirasi masyarakat terutama masyarakat yang sering melakukan demonstrasi.
Sudut pandang oposisi dipengaruhi oleh banyak hal, terutama oleh hasil pemilu, perubahan perkawanan di lingkup organisasi politik. Pemahaman tentang pengkianat dalam dunia politik yang berbeda.Â
Apa yang mendasari penulis membahas tentang sudut pandang antara penguasa dan oposisi. Sebab banyak simpang siur pendapat tentang oposisi, pro pemerintah atau penguasa, wakil rakyat dan rakyat jelata.
Pengertian Oposisi dan perannya dalam Masyarakat
Apa sih sebenarnya oposisi?
Menurut KBBI oposisi adalah partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.
Oposisi sering memanfaatkan kata-kata rakyat untuk menegasikan bahwa merekalah pembela rakyat yang menyuarakan ketidakadilan, suara-suara mereka yang merasa negara tidak hadir dan juga ketidakpedulian pemimpin negara dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Sementara negara dalam hal ini merasa sudah bekerja keras memperjuangkan kepentingan masyarakat, dengan program andalan, jaringan sosial, bantuan sosial subsidi pendidikan subsidi kesehatan dan berbagai bantuan lain.
Sementara di media sosial muncul wacana bahwa negara terlalu banyak utang, banyak janji pemerintah/penguasa yang tidak ditepati. Ada yang berpikir pemerintah gagal mengawal Indonesia menjadi negara yang adil dengan bantuan merata pada seluruh masyarakat yang membutuhkan.
Padahal dalam negara ada sistem yang seharusnya berjalan. Pemerintah pusat atau eksekutif bekerja sama dengan DPR merumuskan anggaran pembelanjaan negara, pemerintah mengeksekusi kebijakan dan mendistribusikan anggaran ke daerah.Â
Daerah diberi otonomi untuk memanfaatkan anggaran yang digelontorkan pemerintah pusat untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah. Ternyata tidak sepenuhnya pemerintah daerah melaksanakan instruksi dari pusat.Â
Banyak yang memanfaatkan jabatan dengan memotong bantuan keuangan dari pusat untuk kepentingan pribadi dan kepentingan partai. Muncullah pejabat yang korup yang tertangkap tangan menggelapkan uang untuk memperkaya diri dan kroni serta partai politik tempat bernaungnya.
Para pejabatnya cenderung mempunyai mindset aji mumpung tentu lebih girang menganggap jabatan adalah kesempatan memperkaya diri. Banyak mahasiswa yang dulu sering menggebu-gebu melakukan orasi politik di parlemen jalanan ketika masuk ke pemerintahan, menjadi wakil rakyat ternyata tergoda untuk melakukan KKN. Mereka lupa pada luapan emosi saat menggebu turun ke jalan melakukan demonstrasi.
Sudut pandang oposisi dalam mengartikan demokrasi berbeda dengan penguasa. Oposisi mengatakan rezim represif, padahal secara tidak sadar mereka diberi keleluasaan melakukan demonstrasi, bebas menyindir dan nyinyir berdasarkan asumsi mereka masih bisa bebas bicara di forum-forum debat.
Partai Politik dan Pembelajaran DemokrasiÂ
Partai politik pun banyak mengajarkan hal yang cukup buruk untuk masyarakat dengan politik balas dendam, politik sakit hati, politik berkilah dan politik tidak mau mengakui kekalahan dan kemenangan. Yang kalah merasa selalu dicurangi, yang menang kadang merasa bahwa apa yang dicapainya karena dukungan rakyat.Â
Saling klaim pemilik suara rakyat mengajarkan bahwa partai politik Indonesia ternyata belum dewasa dalam berdemokrasi. Menyerang ketika kalah, jumawa ketika menang. Dan masyarakatnyapun belum siap menyambut demokrasi dengan segala intrik-intrik politik di dalamnya.
Namun di kegaduhan medsos dengan segala buncahan emosi, maki-makian dan perang kata-kata antar netizen dan konten kreator sebenarnya di lingkungan masyarakat sendiri kedewasaan sudah muncul. Mereka menerima kekalahan dan kemenangan dengan legowo, jauh dari para petinggi parpol yang tampak emosional menempatkan diri sebagai pihak teraniaya yang merasa sama senasib sepenanggungan denga "rakyat jelata"
Yang terpikirkan oposisi belum tentu kenyataan di dalam masyarakat sendiri. Dalam perkembangan ekonomi, dunia yang penuh persaingan masyarakat perlu belajar bertahan, bertarung, bersaing untuk menjadi terbaik.Â
Ada yang melesat ke atas ada yang berguguran di perjalanan. Bila mereka mempunyai mental kuat akan bangkit lagi dengan inovasi baru, usaha baru dan juga gagasan baru.Â
Tumbang dan gagal adalah sebuah proses. Hanya saja pendidikan di Indonesia jarang yang mengajarkan bagaimana tetap survive menghadapi kegagalan, yang diajarkan adalah bagaimana sukses mengejar nilai untuk bisa naik kelas dan lulus, tanpa mengerti proses dan bagaimana memahami ilmu pengetahuan dengan berbagai eksperimen dan riset mendalam.
Yang Visioner dan Para PenentangnyaÂ
Di Indonesia untuk menjadi visioner dan berpikir ke depan akan banyak rintangannya, sebab masih banyak masyarakat yang berpikir jangka pendek. Maka muncul berbagai persoalan ketika orang-orang hanya berpikir pendek dengan pembangunan yang hanya diusahakan untuk kepentingan partai politik yang banyak menyerap aspirasi berdasarkan kepentingan tertentu, tetapi tidak berpikir bahwa Indonesia harus dipersiapkan menuju masa depan yang gemilang dengan menyiapkan infrastruktur, midset baru dengan lompatan pemikiran ke depan, perilaku orang orang terdidik yang menghargai waktu dan peraturan, disiplin dan bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan, kesadaran membuang sampah untuk kepentingan kesehatan dan keseimbangan ekosistem.
Oposisi tampaknya lebih berpikir pendek, dengan membabi buta beda, mungkin ada yang tidak berpikir bahwa diantara yang buruk-buruk masih ada sisi baik yang mesti diapresiasi. Bahkan saking menggebunya riset, sumber bacaan kredibel dan valid tidak sempat dibaca, yang dibaca hanya hal-hal buruk yang pernah didengar dan mungkin hanya rumor yang santer beredar di masyarakat, lebih menyukai berita viral yang belum tentu benar, tetapi sudah dianggap benar.
Sudut pandang pemikiran seseorang terutama yang datang dari parpol yang merasa tersakiti, dikhianati, seperti ditusuk dari belakang hingga tantrum dengan menyerang membabi buta. Sebagai pemerhati mungkin penulis salah memahami pemikiran petinggi parpol yang tampak begitu membenci seseorang yang menurut mereka dianggap pengkianat.Â
Para petinggi parpol merasa harus menghukum dengan membuat narasi-narasi sepihak untuk membuat "Sang Pengkianat" sebagai penjahat pelanggar konstitusi, mempermainkan institusi dengan cawe-cawe dan mengintervensi putusan lembaga hukum.
Namun pemikiran penulis bisa saja salah sebab jika murni berpikir dan berada di pihak netral merasa bahwa apa yang dirasakan parpol yang merasa terkhianati dan tersakiti itu wajar. Mereka pasti akan merasa tertusuk dari belakang oleh kader andalan yang akhirnya "mbalelo" dan tidak mendukung keputusan partai tempat bernaungnya.
Berbagai silang pendapat yang beredar di media massa, media online, You Tube, Twitter/X, Instagram, adalah cerminan masyarakat dari negara yang sedang berkembang. Sedang mencari bentuk sedang proses menuju negara maju tetapi belum disertai pemahaman baik dari masyarakat secara keseluruhan.
Untuk menjadi manusia beradab perlu kesadaran diri untuk tidak melanggar komitmen yang sudah disepakati bersama. Namun demi ambisi kekuasaan manusia seringkali melakukan segala cara hingga akhirnya masyarakat belum percaya sepenuhnya pada partai politik, dan elit kekuasaan, terutama birokrat yang rakus dan enteng melakukan pungutan.
Sudut pandang tiap orang berbeda makanya ketika ada rivalitas, perbedaan pendapat, perbedaan dalam memahami bahasa politik, perbedaan perilaku politik masyarakat masih bingung siapa sebenarnya yang bisa diikuti dan dipercaya jejaknya.
Masyarakat dibiarkan menunggu atau perlu revolusi di segala lini untuk mengubah mindset masyarakat terhadap politik, partai politik yang masih silang sengkarut.Â
Semoga semakin dewasa, sehingga kita bisa menyaksikan segala komponen masyarakat, partai politik, penguasa, legislatif bisa kompak mengawal demokrasi dan kemajuan bangsa, bukan dengan saling menghina dan mengungkapkan kebencian yang kontraproduktif.
Salam demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H