"Yang penting kamu sehat Le, kuat menjalani hidupnya yang berwarna."
"Iya, Bu."
Dalam nuraniku sebetulnya ingin menangis, Cinta orang tua memang benar-benar luar biasa, sebuah pembelajaran dan pengalaman hidup yang mesti diteladani. Ia tidak pernah meminta apa yang sudah dikeluarkan, malah kadang-kadang masih memberi walaupun beliau sendiri sebenarnya juga tidak mempunyai banyak uang. Kadang tidak tahu bahwa untuk membantu anaknya ia rela menggadaikan sawah dan ladangnya, kadang saking sayangnya pada anaknya ia rela kerja apa saja untuk bisa membantu kesulitan anaknya yang dirantau.
Ah, sebegitukah teganya anak sampai tua masih minta bantuan.
Hartoyo, tetanggaku pernah mengingatkanku untuk sering-sering pulang.
"Ibumu sudah tua, Pur, kamu nggak terpikir untuk pulang?"
"Pengin Har, tapi kamu tahu, aku punya anak dan istri, semuanya menggantungkan hidup dari pekerjaanku, Sedangkan gajiku pas-pasan untuk ukuran kota. Aku mesti gali lobang tutup lubang untuk membiayai kebutuhan keluarga, sementara istriku sendiri tidak mau kuajak pulang. Ini dilema bagiku Har."
"Aku, tahu perjuanganmu terhadap keluarga luar biasa, tapi kamu juga mesti ingat siapa yang melahirkanmu."
Aku hanya diam, aku melengos menatas awan-awan berarak mendung di langit, mataku berkaca-kaca. Bathinku sebetulnya menjerit, bibirku bergetar, tapi aku hanya diam, menatap kosong langit yang semakin gelap.
Di kamar saat istriku belanja ke pasar dan anak-anak sedang  menginap di rumah mertuaku. Aku rebahan, aku balik badan dan membenamkan kepalaku di bantal dan berteriak keras-keras. Aku merasa seperti Malin Kundang yang tidak berguna. Aku seperti anak ayam yang nekat pergi jauh, menjauhi induk ayam yang kebingungan mencari ke mana anaknya pergi. Induknya seperti marah, bingung, dan uring-uringan.
Setelah besar aku memang harus lepas, sebagai orang tua tanggungjawabku besar untuk membesarkan anak yang butuh biaya untuk sekolah dan mengarungi kehidupannya.Â